Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sejarah & Kultural Yogyakarta: Menilik Pura Pakualaman hingga Penjara Wirogunan
11 Desember 2023 13:16 WIB
Tulisan dari Asti Azhari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk lalu lintas dan terik matahari yang menyengat, saya mencoba pengalaman baru menjelajahi wilayah sekitar Pakualaman. Meskipun teriknya matahari Jogja terasa cukup intens, semangat untuk mengeksplorasi tempat-tempat bersejarah dan budaya tak terbendung. Kendaraan yang melintas di sekitar saya membentuk latar belakang kehidupan sehari-hari kota, memberikan nuansa kehidupan perkotaan yang riuh namun memikat. Tanggal 4 November lalu, saya menjalani petualangan menyenangkan bersama Jogja Good Guide, salah satu penyelenggara walking tour yang ada di Yogyakarta. Kali ini, destinasi kami adalah Rute Pakualaman, sebuah perjalanan mengasyikkan mengintip sejarah dan keunikan seputar Pura Pakualaman dan daerah sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Pura Pakualaman
Perjalanan saya dimulai mulai dari titik kumpul di depan gerbang megah Pura Pakualaman. Bersama dengan enam pengunjung lain dari berbagai daerah, kami siap memulai walking tour ini pada pukul 16.15. Suasana disana cukup hidup, terutama pemandu yang sangat bersemangat menceritakan sejarah pura di depan gerbang yang cukup dekat dengan jalan raya. Dan, jujur saja, dengan kebisingan sekitar, sepertinya saya ketinggalan beberapa fakta sejarah karena pendengaran saya kurang mendukung, hahaha! Meski sedikit teralihkan oleh keramaian, tapi santai saja, petualangan ini tetap menyenangkan.
Sayang sekali rombongan Jogja Good Guide tak dapat melangkah ke dalam Pura Pakualaman karena estimasi waktu yang tergolong singkat, sehingga kami hanya mengamati dari luar, walaupun begitu keindahan Pura Pakualam dari jarak pandang yang jauh tetap memberikan keindahan arsitektur jawanya yang kental. Semoga suatu hari nanti saya bisa memiliki kesempatan untuk menjelajahi keelokan yang tersimpan di dalam kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagi yang belum pernah ke Pura Pakualaman. Pura Pakualam ini didirikan pada tahun 1812 Masehi oleh BPH. Natakusuma, yang kelak dikenal sebagai KGPAA Pakualam I. Dengan arsitektur yang memesona, di desain oleh Tumenggung Sasrabahu, kompleks ini menyatu dalam tembok keliling seluas 5,4 hektar, menciptakan harmoni bangunan yang begitu memukau.
Masjid Besar Pakualaman
Setelah atraksi pertama Pura Pakualaman dikunjungi, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Pakualaman, tempat yang tak kalah unik dengan keindahan arsitektur yang mencerminkan akulturasi 3 budaya yaitu : Jawa, Islam, dan Hindu. Terdapat motif sulur-suluran dan bunga di atap masjid, menggambarkan keindahan dan makna kehidupan yang terus berkembang. Tak hanya mengeksplorasi keagungan masjid, kami juga sempat berfoto di sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu kendaraan motor. Di balik sederhananya gang tersebut, tercipta momen keceriaan yang tak terlupakan bagi kami peserta walking tour.
Jamu Tradisional Ginggang
Hanya beberapa langkah dari Masjid Pakualaman, kami singgah di Warung Jamu Ginggang, destinasi legendaris yang tak boleh dilewatkan jika mengunjungi Yogyakarta.
Di sini, pengunjung dapat menikmati jamu langsung di tempat. Cukup pilih dari beragam menu jamu yang tersedia atau berbagi keluhan kesehatan dengan penjualnya. Mereka memiliki racikan tersendiri untuk masalah-masalah seperti perut kembung, masuk angin, flu, dan sakit perut. Berdiri sejak tahun 1950, warung jamu ini menjadi pelopor dalam industri jamu di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut pemandu sejarah Warung Jamu Ginggang dimulai pada tahun 1930 oleh Bilowo, seorang abdi dalem Pura Pakualaman. Awalnya, ia membuat jamu untuk Kanjeng Sinuwun Paku Alam VII. Dengan seizin dari Paku Alam VII, Bilowo memulai usaha berdagang jamu. Nama "Ginggang" sendiri diberikan oleh Sri Paku Alaman VI, dengan harapan bahwa warung jamu ini selalu menciptakan kerukunan di kalangan warga. Selanjutnya, kami memesan beberapa minuman yang tertera pada menu yang ditawarkan. Harga jamu dan minuman di sini tergolong ramah dikantong, kisaran harga disini mulai dari Rp. 6000 sampai Rp. 25.000. Harga tersebut tentunya akan berubah sewaktu -waktu.
Suasana tradisional dan cita rasa jamu yang autentik membuat kunjungan ke warung ini terasa seperti membawa perjalanan kami ke tahun 1950-an.
ADVERTISEMENT
Museum Sasmitaloka
Sesudah memesan jamu, kami beralih ke depan Museum Sasmitaloka, yang terdapat monumen patung Jenderal Sudirman sedang menunggangi kuda. Nah, bagi yang belum mengetahui filosofi dari patung kuda yang mengangkat kaki satu, disini dijelaskan bahwa artinya pahlawan tersebut gugur karena sakit saat peperangan masih berlangsung.
Di sebelah kanan dan kiri monumen terdapat Meriam AT kaliber 37mm yang pernah dipergunakan dalam pertempuran Palagan Ambarawa. Selain itu di sisi selatan terdapat relief perjalanan Jenderal Soedirman ketika perang gerilya.
Menuju Lapas II Wirogunan
Saat matahari mulai terbenam, kami melanjutkan perjalanan diiringi oleh suasana sore dan gemerlap sunset Yogyakarta. Destinasi kami berikutnya yaitu bangunan belakang Lapas II Wirogunan. Di sisi utara, bersebelahan langsung dengan pemukiman warga, terhampar gambar-gambar grafiti yang menyajikan kolaborasi seniman. Hamparan grafiti ini bukan sekedar karya seni yang ditampilkan kepada masyarakat umum, tetapi dilakukan untuk mengubah stigma masyarakat tentang dinding penjara yang dikenal seram dapat diubah menjadi tempat menyalurkan ide dan pikiran kreatif.
ADVERTISEMENT
Grafiti-gambar tersebut menjadi bentuk kolaborasi, menyuarakan pesan bahwa penjara bukan hanya tempat hukuman, melainkan juga ruang yang humanis bagi semua orang. Pemerintah Yogyakarta memberikan wadah untuk seniman mengekspresikan kreativitasnya, melukiskan dinding sebagai kanvas nyata. Lokasinya yang berdekatan dengan kampung warga dapat menambah daya tarik, dan menciptakan objek wisata unik di tengah kehidupan sehari-hari. Kemudian, kami menjelajahi depan Lapas juga, di mana terdapat tempat pemesanan bakpia. Sayangnya, kami sudah terlambat untuk mencicipi bakpia khas lapas yang katanya sungguh lezat. Bakpia Mbah Wiro 378 namanya. Nama Mbah Wiro sendiri diambil dari nama daerah Wirogunan, sedangkan Angka 378, sebuah simbol dari pasal penipuan.
Kunjungan ke depan lapas sekaligus mengakhiri perjalanan kami pada rute pakualaman, selanjutnya kami kembali lagi ke titik kumpul di depan bangunan Pura Pakualaman. Tentunya, petualangan yang dibersamai oleh Jogja Good Guide sangat berkesan, banyak sekali pengetahuan baru tentang daerah Yogyakarta, terkhususnya pada daerah Pakualaman. Bagi yang sedang menikmati liburan di Yogyakarta dan berminat merasakan konsep walking tour, dapat menemukan informasi lengkap tentang Jogja Good Guide pada laman Instagramnya: https://www.instagram.com/joggoodguide/ .
ADVERTISEMENT