Mari Bicara Tentang Papua: Indonesia atau Merdeka?

Asti Tyas Nurhidayati
Sekretaris Komunitas Indonesia di Islandia. Tim Komunikasi, Hubungan Masyarakat dan Media, Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju yang kini eksis di 19 negara di Eropa. Transformasi dari gerakan Eropa Tetap Jokowi saat Pilpres 2019.
Konten dari Pengguna
15 Desember 2020 9:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asti Tyas Nurhidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Propinsi Papua dan Papua Barat di bagian paling Timur Indonesia, memperoleh Otonomi Khusus (Otsus) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 2001. Otsus dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan propinsi lain. Banyak kemajuan di berbagai bidang di Papua sebagai hasil Dana Otsus yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain terjadi banyak konflik di Papua. Bahkan ada sejumlah pihak yang menghendaki keluarnya Papua dari NKRI. Misalnya Benny Wenda, yang kini bermukim di Oxford, Inggris, menyatakan dirinya sebagai Presiden Papua Barat.
Let's Talk About Papua, memberikan informasi terkini, akurat dan seimbang tentang kondisi Papua, diselenggarakan oleh Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ).
Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ) menyelenggarakan diskusi online bertajuk ”Let’s Talk About Papua: Remain or Leave” pada Sabtu, 12 Desember 2020. PETJ menghimpun masyarakat Indonesia di 19 negara di Eropa untuk mengawal pemerintahan yang sah mewujudkan Indonesia Maju dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”PETJ mendukung upaya menyebarkan fakta nyata dan terpercaya, tentang pembangunan di Papua ke seluruh dunia,” kata Ari Manik, Ketua Umum PETJ saat membuka diskusi.
ADVERTISEMENT
Nara sumber pertama, Willem Frans Ansanay, tokoh adat Papua, Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Papua dan Papua Barat, menceritakan kembali sejarah panjang integrasi Papua. “Papua adalah bagian dari NKRI. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua telah dikukuhkan oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi 2504 (XXIV) sehingga memiliki kekuatan hukum internasional. Sebanyak 1026 orang mewakili berbagai suku di Papua. Sistem perwakilan yang dikenal dengan sistem Noken ini masih digunakan hingga saat ini dalam pilkada Bupati, Walikota dan Gubernur di Papua dan Papua Barat. Tidak ada alasan Pepera cacat hukum seperti yang didengungkan oleh mereka yang berseberangan,“ ujarnya. “Pembangunan di 29 kabupaten di Papua dan 13 kabupaten di Papua Barat berjalan bagus, baik pembangunan fisik maupun sumber daya manusia (SDM). Ini karena perhatian ekstra lebih yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui Otsus. Saya produk tahun 1963. Saya merasakan besar sekali kemajuan Papua saat ini,“ katanya.
ADVERTISEMENT
“Papua terdiri dari 250 etnis dengan beragam kemampuan SDM, sumber daya alam (SDA), kondisi geografis. Ini tantangan untuk menyelaraskan arah pembangunan dari Pemerintah Pusat, keinginan dari masyarakat Papua sendiri dan kondisi di lapangan. Papua, bagian Indonesia yang paling bontot, paling belakang, sehingga diperlukan lompatan budaya mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara di propinsi lain di Indonesia,“ Frans Ansanay menjelaskan. “Keseriusan Pemerintah dan Presiden Jokowi membangun tanah Papua diwujudkan dalam Evaluasi Undang-undang (UU) Otsus pasal 43 dan 76 yaitu menaikkan anggaran Dana Otsus dari 2% menjadi 2,5 %. Juga pasal 78 tentang pemekaran propinsi untuk mengakomodir sistem petuanan dan kesukuan di tanah Papua sehingga pembangunan dilaksanakan sesuai kondisi dan budaya Papua,“ tambahnya.
“Negara berkewajiban melindungi wilayah dan masyarakatnya. Bila negara melakukan aksi untuk melindungi batas wilayahnya, itu sah sesuai ilmu hukum. Negara juga harus melindungi hak asasi manusia (HAM) masyarakatnya. Jika ada gejolak, di negara manapun juga terjadi gejolak. Tidak ada pengaruh besar di Papua akan isu berkembang di luar tentang Papua Merdeka,“ tegasnya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, nara sumber kedua, Aleksander Mauri, tokoh agama di Jayawijaya, Papua, menyanggah hal tersebut. “Aspirasi Papua Merdeka ini tidak bisa disepelekan. Apalagi di kalangan masyarakat di pegunungan, di daerah terpencil di pedalaman yang kurang tersentuh kemajuan pembangunan saat ini. Saya tinggal di Wamena, melayani masyarakat menengah ke bawah di gereja. Bahayanya aspirasi Papua Merdeka ini sudah masuk ke denominasi, organisasi gereja. Sejumlah ketua denominasi menyatakan mendukung gerakan Papua Merdeka. Ini akibat kesenjangan. Orang asli Papua yang menjabat posisi penting tidak menjalankan program pembangunan secara benar. Ada barter politik. Ketika Pilkada keluar dana banyak, ketika menjabat harus bayar hutang, lalu korupsi. Bila hal ini tidak ditangani, meskipun Dana Otsus diperbesar, juga pemekaran propinsi, namun akar masalahnya tetap ada. Yang miskin tetap miskin. Yang kaya tambah kaya. Tetap ada tuntutan memisahkan diri dari NKRI. Evaluasi Otsus sangat penting,“ tegasnya. “Di sisi lain, sistem Noken juga berpotensi terjadi kecurangan. Itu yang saya amati saat menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayawijaya. Perlu dievaluasi supaya tidak ada dusta di antara kita,“ tambahnya.
ADVERTISEMENT
Nara sumber ketiga, Marinus Yaung, pengamat sosial politik, dosen Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, menjabarkan pendekatan penanganan konflik Papua. “Pemerintah Indonesia menangani konflik di masa lalu dan mempercepat pembangunan di Papua melalui pendekatan Otsus. Bagus. Sayangnya tidak didukung dengan aturan operasional, peraturan pelaksanaan, Perdasus, sehingga pelaksanaan Otsus tidak maksimal. Akibatnya timbul suara kritis menghendaki Papua keluar dari Indonesia,” katanya. “Bukan hanya salah Pemerintah Pusat, namun juga Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat. Sebagus apapun kebijakan, jika di tangan orang yang salah, akan membawa malapetaka. Di tangan mereka yang tidak punya kompetensi, tidak mampu mengelola dengan baik, tak akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua secara maksimal. Terjadi penyimpangan kekuasaan dimana sumber daya hanya untuk kepentingan individu, keluarga, kelompoknya,” Marinus Yaung menjelaskan.
ADVERTISEMENT
“Pendekatan militer dan keamanan yang dipakai di masa Orde Baru masih dilanjutkan hingga saat ini. Memang ada masalah keamanan yang mengakibatkan korban jiwa di Papua, misalnya akibat aksi tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) ataupun Tentara Papua Barat yang dibentuk oleh Benny Wenda. Mereka ini ada yang tujuannya Papua Merdeka, ada juga yang tujuannya ekonomi. Demiliterisasi bisa terjadi sesuai aturan. Ketika ekskalasi konflik, ketegangan senjata makin menurun, militer bisa ditarik dari Papua. Mereka yang tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengangkat senjata, harus meletakkan senjata. Ini aturan negara hukum. Pendekatan keamanan di Papua jangan sampai mengambil korban jiwa tokoh agama, perempuan dan anak Papua. Ini akan memperbesar perlawanan dan konflik Papua karena mereka juru damai. Pendeta, perempuan, ditembak, dibunuh artinya negara tidak berusaha Papua damai.“ kata Marinus.
ADVERTISEMENT
“Pendekatan politik membangun wilayah otonomi baru di Papua mampu menggandeng mereka yang dulunya berseberangan dengan Pemerintah, berteriak Papua Merdeka, kini jadi pejabat di daerahnya,“ ujar Marius. “Diplomasi ekonomi dan perdagangan dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah Papua di luar wilayah Indonesia. Ibaratnya, apinya di Papua, asapnya di Pasifik dan Eropa. Harus dipadamkan api dan asapnya juga. Misalnya kerusuhan di Jayapura yang lalu, itu sponsornya dari Pasifik dan Eropa,” tambahnya.
Marius Yaung memiliki kesan mendalam terhadap Presiden Jokowi. “Saya bertemu dua kali dengan beliau. Ketika bicara tentang Papua, dia pakai hati. Mertuanya guru di Papua di tahun 1950an. Mertuanya cerita tentang orang Papua. Jokowi pahami itu. Dia tidak bisa mengembalikan nyawa korban jiwa di Papua. Belum bisa menyeret pelaku kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh oknum militer. Namun dia wujudkan dengan membangun Papua dan Papua Barat, membangun dari pinggiran, Program Nawacita. Di era Jokowi ini, ada program perekrutan 1000 putra putri terbaik Papua untuk ditempatkan di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Banyak orang Papua yang bekerja di kementerian, lembaga pemerintah di Jakarta,“ kata Marius. “Jokowi melakukan berbagai terobosan untuk menangani empat akar masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pertama, perbedaan persepsi sejarah integrasi Papua. Kedua, pelanggaran HAM di Papua. Ketiga, kegagalan pembangunan. Keempat, marginalisasi dan diskriminasi orang Papua. Pembangunan di Papua telah kita rasakan. Apakah Jokowi melupakan pelanggaran HAM dan perbedaan persepsi integrasi Papua? Tidak. Tahun 2016, saya terlibat dalam tim penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Tantangannya luar biasa besar. Kepentingan kemanusiaan dan kedaulatan negara harus diletakkan di atas kepentingan kelompok. Jangan sampai menuntut keadilan, ujungnya negara bubar,“ tandas Marius.
ADVERTISEMENT
Marius Yaung mengusulkan kontribusi masyarakat Indonesia di luar negeri dalam memfasilitasi dialog dengan mereka yang berseberangan terhadap Pemerintah. “Pertama, undang mereka dalam acara Natal masyarakat Indonesia di Eropa. Ajak dialog Benny Wenda, Octovianus Mote. Masyarakat sipil lebih diterima daripada Pemerintah. Pemerintah dianggap musuh sebelum berdamai. Adat Papua seperti itu. Minta maaf atas kekerasan yang mereka alami di masa lalu saat Operasi Militer Koteka tahun 1977 di pegunungan tengah Papua. Perlu jiwa besar untuk menjembatani luka hati ini. Kedua, buka Papuan Corner di Oxford misalnya bekerja sama dengan Uncen untuk menyampaikan fakta, informasi benar tentang Papua. Ketiga, berkontribusi pada pendidikan dan kesehatan masyarakat Papua, khususnya di daerah konflik. Masalah Papua tidak akan selesai dengan bicara dan berdoa. Perlu tindakan, aksi nyata,“ tegas Marius.
ADVERTISEMENT
Shandy Adiguna dan Enggi Holt, diaspora Indonesia di London, Inggris, sebagai moderator menutup sarasehan dengan menekankan tujuan webinar untuk memberikan informasi terkini, akurat dan seimbang tentang kondisi Papua. Webinar ini merupakan yang keempat dari seri Let’s Talk About Papua setiap bulan dimulai pada September 2020.