Ketika Sastra Merengkuh Alam dan Perempuan

Astri Juliarahma Pangesti
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konten dari Pengguna
20 Mei 2022 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Astri Juliarahma Pangesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar salah satu novel berjudul "Perempuan Kopi". Sumber: Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar salah satu novel berjudul "Perempuan Kopi". Sumber: Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
Apa hubungan antara perempuan dan alam? Keduanya memiliki tujuan utama yang sama dalam hidup. Terlebih lagi, jika dilihat melalui lensa yang lebih tajam, keduanya sama-sama terpapar pada penindasan dan eksploitasi dalam sistem saat ini. Maria Mies dan Vandana Shiva menyebutnya sebagai "sistem kapitalis patriarki" di mana ekonomi pasar bebas yang berorientasi pada keuntungan terkait erat dengan penindasan terhadap perempuan dan alam.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara perempuan dan alam dalam konteks feminisme pertama kali muncul dalam karya Francoise d'Aubonne "Le Feminisme ou la Mort" (1974). Ia menjelaskan bahwa teori dan praktik feminis harus erat kaitannya dengan praktik ekologi dan sebaliknya, dan pemecahan masalah ekologi harus menggunakan perspektif dan pendekatan feminis.
Pandangan bahwa perempuan dan alam saling terkait erat bukanlah hal yang tiba-tiba. Ia lahir dari berbagai realitas di bidang ini, menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terkena dampak kerusakan alam, terutama di pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan alam sebagai faktor produksi. Salah satu contohnya adalah gerakan Chipko, yang diprakarsai oleh perempuan di Uttarakhand pada tahun 1973, yang menentang keberadaan perusahaan penebangan asing di desa mereka.
ADVERTISEMENT
Sastra yang berperan penting dalam menganalisis fenomena sosial, politik, budaya, dan ekologi di sekitar kita, dapat memandu kita mengungkap kisah para konservasionis ini. Ini salah satu cara yang bisa dilakukan. Dari sekian banyak karya sastra yang berbicara tentang perempuan, hanya sedikit yang mengangkat hubungan antara perempuan dan alam. Salah satunya adalah cerpen “Perempuan Kopi” karya Dewi Nova. Cerpen ini bercerita tentang perjuangan ibu di desa kabupaten. Penentangan terhadap perusahaan penebangan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dan perkebunan kopi. Singkat cerita, perusahaan bekerja tidak hanya dengan pemerintah tetapi juga dengan gereja setempat, semakin memperumit perjuangan penduduk setempat.
Para ibu menghadapi perjuangan yang lebih besar ketika polisi menangkap dan membunuh seorang pria desa yang dengan keras menolak untuk menebang kebun kopi. Di satu sisi, mereka mengalami kesedihan yang mendalam. Namun di sisi lain, mereka perlu memenuhi kebutuhan keluarganya dari kebun kopi mereka, meski jumlahnya terus menurun setiap hari akibat pemotongan yang terus dilakukan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Ketika perusahaan ingin menyingkirkan perkebunan kopi, para ibu muncul ke depan tanpa kesedihan. Ketegangan pun tak terhindarkan setelah salah satu pemuda di desa itu mengonfrontasi perusahaan. Para perempuan desa juga membentuk "pagar" yang menjauhkan mereka dalam bentuk deeskalasi. Kegigihan sang ibu terlihat dalam kutipan berikut.
Beberapa perempuan dan Frans segera berlari membuat pagar di antara dua kelompok ini.
“Tembak tubuh kami, kalau kalian lahir dari belahan batu!” teriak perempuan yang memagari para petani.” (Nova, 2012:66).
Kisah perjuangan ibu dalam Mangarai, cerpen Dewi Nova NTT, lebih dari sekadar kisah heroik, yang seringkali terbatas pada penokohan beberapa orang, dalam kerangka feminis yang berbeda dari sudut pandang pengarang. juga seorang wanita. Dalam cerpen "Perempu Ankopi", setelah perusahaan datang, ibu-ibu saling membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dari kutipan tersebut, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana dampak eksploitasi alam terhadap perempuan yang tinggal di sekitarnya. Sebagai penyedia makanan untuk keluarganya, perempuan menjadi yang paling berdampak ketika alam yang menjadi sumber pangan rusak. Peristiwa seperti inilah yang kemudian mendorong Irewa dan perempuan lainnya untuk berjuang menjaga kelestarian alam sebab disanalah mereka menyandarkan kebutuhan hidup mereka, begitu pun sebaliknya.
Selain Dewi Nova, Roman "Isinga" karya Dorothea Rosa Herliany juga memiliki karya sastra "ekofeminis". Novel tersebut berbicara tentang kehidupan dan pengalaman fisik seorang perempuan Papua yang sekaligus harus menghadapi budaya patriarki dan eksploitasi alam desa melalui tokoh “Irewa”. Dipaksa menikahi pria yang tidak dicintai ayahnya, Ireva harus menghadapi tanah longsor yang sering terjadi di desa karena aktivitas manusia di sekitar Pegunungan Megafu yang merusak alam.
ADVERTISEMENT
Mencermati dua contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana sastra “ekofeminis” bisa mengungkap cerita-cerita “tersembunyi” yang selama ini ambigu di mata kita. Kisah wanita yang sangat dekat dengan "rahim" yang melahirkan manusia dan alam semesta. Selain itu, setiap kalimat yang terdapat dalam kedua karya sastra tersebut erat kaitannya dengan pengalaman fisik kedua penulis sebagai perempuan yang lahir dan besar di Indonesia.
Bekerja dengan nuansa ekofeminis, sastra sekali lagi menunjukkan kekuatannya sebagai pengungkap sejati, mengungkap penderitaan manusia dan perjuangan yang mengiringinya. Itu tidak membawa kita ke hitam atau putih, benar atau salah. Namun, ia menyajikan kepada kita makna baik dan jahat bagi kesejahteraan dan penderitaan manusia, dan melalui pendekatan ekofeminis mengungkapkan penderitaan yang dialami perempuan dan alam serta perjuangan yang saling mendukung.
ADVERTISEMENT