Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Melawan Stigma COVID-19 di Makassar Melalui Pendekatan Kebudayaan
19 Juni 2020 21:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Aswin Anas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Eja Tompi Na Doang adalah kalimat dalam bahasa Makassar, yang jika dimaknai dalam bahasa Indonesia artinya “nantilah kalau sudah kena baru lihat akibatnya.”
ADVERTISEMENT
Merupakan sebuah stigma yang berkembang pada masyarakat di kota Makassar yang menganggap covid-19 tidak berbahaya. Kalimat tersebut Penulis dapatkan saat mendengarkan penjelasan pakar sosiologi hukum Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Musakkir, dalam sebuah Webinar yang membahas penegakan hukum Covid-19 dari perspektif sosiologi hukum. Hal tersebut dikategorikan sebagai salah satu faktor kultural yang menghambat penegakan hukum covid-19 di Makassar.
Kalimat itu sepertinya semakin senada jika melihat kondisi yang terjadi di Makassar hari ini. Data menunjukkan, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi provinsi ketiga tertinggi di Indonesia terhadap penambahan jumlah kasus positif covid-19, di mana Kota Makassar menjadi episentrum penyebaran. Hal ini terjadi karena tingginya tendensi terhadap stigma covid-19 di Makassar. Stigma dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang tertentu seringkali membuat penerima stigma menerima perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas, sehingga mereka merasa tertolak oleh lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Stigmatitasi Covid-19 yang terjadi di Kota Makassar terpotret dalam beberapa kondisi antara lain isu tetang covid-19 merupakan ladang bisnis bagi tenaga kesehatan yang berujung pada penolakan rapid test dibeberapa tempat, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP, dan pola perilaku masyarakat yang masih banyak tidak patuh terhadap protokol covid-19. Contohnya memakai masker, menjaga jarak, atau pun jujur terhadap kondisi kesehatan saat memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan, karena takut tidak dilayani jika terindikasi covid-19. Stigmatitasi ini juga bisa berujung pada tindak pidana jika dikaitkan dengan beberapa pasal dalam KUHP dan ketentuan perundang-undangan yang ada.
Stigmatisasi covid-19 di Kota Makassar terbentuk karena beberapa faktor. Pertama jika merujuk pada faktor kultural tentang kalimat eja tompi na doang bisa dikategorikan sebagai pemicu. Kedua, faktor kurangnya edukasi yang diperoleh oleh masyarkat terkait penanganan covid-19. Hal ini bisa terjadi karena dua hal, informasi yang tidak merata dan seimbang didapatkan oleh masyarakat, dan kurang massifnya sosialisasi dan edukasi yang diberikan kepada masyarakat. Diperlukan kajian mendalam tentunya untuk mencari gap antara kedua hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Faktor ketiga yang tidak kalah penting adalah komunikasi publik dan koordinasi pemerintah daerah dalam penanganan covid-19. Faktor komunikasi publik yang menjadi perhatian dan perdebatan ketika terjadi pergantian PJ Wali Kota dan mengeluarkan statement “Kalau aturan diikuti secara letter let, ya nanti kita mati semua”.
Hal ini mengundang kerut didahi mengingat statement tersebut bertolak belakang dengan fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Jika hukum itu sendiri mendapat “legitimasi” dari seorang pemimpin untuk kemudian “boleh dilanggar” maka sudah pasti akan terjadi ketidakteraturan dan ketaatan dalam masyarakatnya. Sayangnya, salah satu faktor keberhasilan penangan covid-19 yang dapat di contoh dari berbagi tempat adalah dalam hal kedisiplinan dan ketaatan mengikuti protokol. Hal ini tentu menjadi kontradiktif.
ADVERTISEMENT
Kemudian faktor koordinasi pemerintah daerah, yang di-amin-kan oleh Gubernur Sulawesi Selatan melalui statement¬ "Ada pergantian Pejabat Wali Kota, sehingga ada miss komunikasi dalam pengambilan kebijakan”. Hal ini tentunya bisa saja diatasi jika terjadi penguatan whole of government dalam lingkup pemerintah daerah sendiri, perkuat koordinasi dan check and balance secara internal. Apalagi mengingat PJ Wali Kota merupakan pejabat yang sebenarnya diusulkan oleh Gubernur. Sehingga sejatinya hal-hal seperti ini harusnya tidak perlu terjadi yang memiliki dampak terhadap penanganan covid-19 dan keselamatan rakyat banyak.
Namun terlepas dari faktor yang datang dari pemerintah daerah itu sendiri, sudah ada niat baik dari Pemerintah Kota Makassar dalam penanganan covid-19. PJ Wali Kota Makassar telah mengeluarkan pernyataan ke media bahwa mulai tanggal 20 Juni akan ada sanksi merujuk pada Perwali Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Protokol Kesehatan di Kota Makassar. Hal ini patut disyukuri tanpa perlu memperdebatkan kenapa baru hari ini ada indikasi ketegasan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota, karena nasi sudah menjadi bubur. Pun begitu tetap harus diperhatikan cara penanggulangan seperti apa yang akan lebih efektif. Apakah dengan cara-cara represif dengan tegas dalam menerapkan aturan-aturan yang ada, atau melalui cara persuasif yang lebih humanis, atau cara lain yang sekiranya memiliki efektifitas yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pendekatan Represif dalam Melawan Stigma Covid-19
Upaya represif merupakan suatu tindakan yang dilakukan setelah terjadi penyimpangan sosial yang bertujuan untuk mengembalikan kehidupan sosial yang terganggu karena adanya penyimpangan sosial dengan cara menjatuhkan sanksi yang sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Stigmatisasi yang terbentuk memiliki dampak terhadap perbuatan masyarakat menyikapi covid-19. Perbuatan-perbuatan itu pun memiliki potensi dikategorikan sebagai kejahatan jika dikaitkan kepada ketentuan perundang-undangan. Kapolri telah mengeluarkan Maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Isi maklumat tersebut yang menjadi pedoman aparat kepolisian dalam melakukan upaya represif terhadap tindakan melanggar ketentuan undang-undang yang berujung pada perbuatan pidana.
Dalam konteks stigmatisasi covid-19 di Kota Makassar, beberapa perbuatan yang berpotensi dijerat ketentuan pidana yakni perbuatan pengambilan paksa Jenazah Covid-19 yang bisa dijerat Pasal 211-214 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kekuasaan Umum, penyebaran berita bohong/hoaks berpotensi dijerat Pasal 28 Ayat 1 UU ITE, atau bahkan dijerat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengenai perbuatan yang digolongkan menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
ADVERTISEMENT
Fungsi utama hukum pidana menurut aliran modern yang di pelopori oleh Von Lizt, Prins dan Van Hamel salah satunya menyatakan bahwa, pidana merupakan suatu alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi tindakan-tindakan preventif.
Payung hukum yang memiliki konsekuensi pidana jika dilanggar sejatinya dijadikan alat pencegahan kepada masyarakat berupa tindakan edukatif. Agar masyarakat memiliki pengetahuan bahwa tindakan-tindakan tersebut memilki konsekuensi pidana jika dilanggar. Maka sejatinya, upaya utama yang harus dilakukan adalah upaya-upaya pencegahan. Jika upaya pencegahan sudah maksimal dilakukan, maka mengedepakan upaya represif sebagai wujud penegakan hukum dapat ditempuh, dengan tetap objektif dan tidak mencederai hak-hak masyarakat sipil. Didalam hukum pidana pun dikenal istilah ultimum remidium yang berarti penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Melawan Stigma Covid-19 melalui Upaya Persuasif Berbasis Nilai Budaya
Upaya persuasif merupakan bentuk pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara membujuk, secara damai, dan tanpa paksaan, untuk mengarahkan individu atau masyarakat agar mematuhi nilai - nilai dan norma yang berlaku. Merujuk terhadap faktor penyebab terjadinya stigmatisasi masyarakat terhadap covid-19 di Makassar, maka upaya persuasifnya pun dapat dilakukan melalui pendekatan sesuai dengan faktor pemicunya. Yakni upaya persuasif melalui pendekatan kultural, edukatif, dan komunikatif.
Sulawesi Selatan memiliki budaya sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi yang memiliki arti saling memanusiakan, saling mengingatkan dan saling menghargai. Konteks Sipakatau atau saling memanusiakan pendekatannya dapat diberikan untuk menangkal isu covid-19 sebagai lahan bisnis tenaga kesehatan. Bahwa mari kita menghapus stigma tersebut jika datang asumsi terhadap teori-teori konspirasi yang belum jelas dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para tenaga kesehatan bertugas atas nama tanggung jawab profesi dan kemanusiaan, jangan kita gerus dan kerdilkan perjuangan mereka dengan isu yang tidak manusiawi. Namun mari kita gunakan semangat kebudayaan untuk berkolaborasi keluar dari wabah ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian konteks sipakainge atau saling mengingatkan, dapat diterapkan dalam hal kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan payung hukum aturan yang ada di Indonesia. Mari saling mengingatkan untuk tetap memakai masker, menjaga jarak, dan patuh terhadap protokol kesehatan dan aturan hukum yang ada. Terakhir konteks sipakalebbi atau saling menghargai. Pendekatan saling menghargai sesama manusia, tidak mendiskreditkan profesi atau orang tertentu karena wabah ini bukan semata-mata persoalan hukum, yang jika dilanggar bisa dijerat sesuai ketentuan yang ada. Namun wabah ini merupakan persoalan global yang sama-sama yang harus optimis kita hadapi dengan pendekatan kultural yang hidup sebagai karakter kedaerahan kita.
Faktor edukasi pun menjadi penting, untuk menyebarluaskan narasi positif terhadap wabah covid-19 ini. Mengedukasi diri sendiri untuk tidak berpegang pada opini utuh yang lahir dari wawasan sepotong-sepotong sebagai sumber lahirnya berita bohong. Mari menelaah informasi dari berbagai sumber, mengecek kebenaran dari sumber informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan menggunakan sosial media sebagai alat interaksi sosial untuk bersosialisasi tanpa gagap sosial dengan konspirasi.
ADVERTISEMENT
Tanggungjawab edukasi ini bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi bagi semua orang yang punya kapabilitas untuk mengedukasi warga yang kurang tersentuh edukasi terkait covid-19. Bisa dengan cara apa pun, melalui media apa pun. Termasuk bagi para bakal calon wali kota Makassar yang akan berkontestasi di Pilkada 2020. Jika ingin tampil ke publik, maka memberikan edukasi yang massif dan terstruktur kepada masyarakat Makassar terkait covid-19 bisa menjadi jalan menuju kontestasi politik untuk memenangkan hati rakyat.
Seruan Penulis untuk mengedukasi warga kota Makassar secara khusus dan masyarakat umum adalah bahwa, keselamatan jiwa kita hari ini bukan terletak pada pemerintah. Tetapi keselamatan jiwa kita tergantung pada seberapa disiplin kita terhadap protokol kesehatan. Mari mulai dari 3 hal sederhana, pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Mari waspada terhadap penularan covid-19 tetapi jangan sampai takut. Karena ketakutan bisa berujung pada kepanikan yang bisa saja memperkeruh situasi di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Terakhir upaya melalui upaya komunikasi publik yang lebih baik. Pemerintah daerah harus memperbaiki pola komunikasi publik baik secara lisan, tulisan, maupun tindakan. Memberi contoh terhadap ketegasan, contoh terhadap perilaku, dan contoh terhadap tindakan. Semoga tidak lagi warga Makassar mendengar ada yang tertular covid-19 karena ada pejabat yang membuat acara kumpul-kumpul atau karena legitimasi boleh melanggar aturan. Nasi yang sudah jadi bubur mari kita taburi ayam suir saja untuk kita santap sebagai pelajaran tanpa harus mengulang kesalahan.
Orang Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut ulung, dan tidak ada pelaut ulung yang lahir di ombak yang tenang. Jika covid-19 adalah ombak yang mengguncang kapal yang sedang berlayar ini, maka mari kita lawan dengan karakter kuat orang Sulawesi Selatan, untuk membuktikan kita mampu melalui cobaan ombak ini dengan pendekatan kebudayaan yang kita miliki. Salamaki Tapada Salama.
ADVERTISEMENT
Andi Muhammad Aswin Anas
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin