Konten dari Pengguna

Bias Profesionalitas Jurnalis: Memahami Fenomena Amplop dalam Jurnalisme

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Jurnalis di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Genta Andalas.
28 Agustus 2024 18:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena Amplop dalam Jurnalisme. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Fenomena Amplop dalam Jurnalisme. Foto: iStock

“Fenomena Amplop merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik gratifikasi dalam dunia jurnalis, menerima insentif berupa uang atau lainnya dan memungkinkan adanya benturan kepentingan.”

ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai pers, Jimly Asshiddique, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik indonesia (MKRI) dalam acara yang digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (UTI) menyatakan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya (Trias Politika), yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Menurut Jimly, dalam negara hukum, salah satu ‘roh’ dari rule of law adalah profesionalisme. Sehingga agar dapat berjalan, demokrasi memerlukan prasyarat sosial, yakni kaum profesional yang menjadi jembatan (intermediate structure) antara masyarakat kelas bawah dengan kaum elit, dan salah satu kaum profesional kelas menengah ini adalah wartawan. Pernyataan tersebut sejalan dengan perspektif dari Ishwara (2011:3) wartawan memiliki kontrak sosial yang paralel. Maksudnya, jika wartawan bisa menjalankan tugasnya dengan baik, maka proses demokrasi akan terus berjalan.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers memiliki tanggung jawab untuk memelihara profesionalisme. Dalam prinsip kerjanya, wartawan ditegaskan menjaga independensi agar terlepas dari intervensi pihak luar. Sejalan dengan itu, ada banyak permasalahan yang menyangkut dunia kewartawanan, seperti sindroma amplop cokelat atau fenomena amplop.
Fenomena amplop telah lama menjamur hingga membudaya dan melukai martabat serta harga diri seorang jurnalis, juga mencelakai Kode Etik Wartawan. Tertuang dalam Poin ke 5 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan dewan pers (SK No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2020) yang menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan menyalahgunakan profesi.”
Wartawan sebagai salah satu ujung tombak penerbitan, menjadi penentu kualitas/berbobot tidaknya presensi mereka dalam pemberitaan di media massa. Fenomena amplop dikhawatirkan berubah menjadi karakter dan mempengaruhi netralitas dalam bekerja. Dalam penelitian skripsi yang disusun oleh Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Choirul Ulil Albab, diterangkan bahwa satu cara untuk "menjinakkan" wartawan ialah dengan memberikan amplop.
ADVERTISEMENT
Implementasinya bisa dirujuk dari pemprov Jawa Tengah yang memberikan anggaran amplop sebesar Rp 150.000,00/ wartawan saat meliput kegiatan pemprov Jateng. Namun setelah Ganjar Pranowo dilantik menjadi Gubernur, kebijakan amplop tersebut dihilangkan karena dikhawatirkan menghalangi independensi dan netralitas wartawan ketika membuat pemberitaan di Jawa Tengah.
Fenomena amplop merupakan polemik yang sejatinya menguji idealisme seorang wartawan. Hal ini justru menimbulkan dualisme dalam proses kewartawanan. Dikutip dari Investigasi.News, Isyanto (wartawan) berpendapat bahwa pemberian amplop kepada wartawan sah-sah saja selagi tidak diminta, karena menerima pemberian dari orang lain adalah ibadah, bentuk silaturahmi dari pihak lain dan tidak akan menggangu proses netralitas. Disamping itu, sebagian wartwan beranggapan hal tersebut bisa merendahkan profesinya, seolah harga diri dan profesionalisme mereka hanya sebatas amplop saja.
ADVERTISEMENT
Mengingat salah satu point dari 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel adalah, “Jurnalis memiliki kewajiban utama terhadap nuraninya.” Memukul jurnalis untuk terus menggantungkan independensi, profesionalitas, dan netralitas mereka pada hati nurani. Motif wartawan dalam menerima amplop beragam, mulai dari tidak enak menolak pemberian orang lain, menganggapnya sebagai reward, dan lain sebagainya. Naasnya, banyak wartawan yang mengesampingkan profesionalitas dan menempuh jalan yang sebenarnya tidak sesuai dengan nurani mereka, bersedia menerima “amplop” karena susahnya modal berputar dalam industri pers dan berdampak pada ketidaksejahteraan wartawan.
Pers dan profesionalitasnya, seharusnya dibayar setimpal untuk meminimalisir terjadinya kekacauan dalam roda dan proses kerja wartawan. Berdasarkan Survei Upah layak Jurnalis 2024 yang dirilis oleh Tempo.id (24/6/2024), Hasil Sigi Upah Layak Jurnalis 2024 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ditaksir Rp 8.334.542,00. Namun dalam survei ini, masih ada 13% responden mengaku perusahaan memotong gaji mereka tanpa sosialisasi karena kondisi finansial yang tak baik, sangat disayangkan karena pemotongan gaji bahkan hingga Rp 3.000.000,00.
Fenomena Wartawan Amplop. Foto: iStock
Kabar tersebut datang dari kru di media nasional CNN Indonesia. Selain itu, survei ini juga merekam jumlah pendapatan responden tiap bulan. Hasilnya, 79% responden mengaku mendapat upah sebesar 4 sampai 6 juta tiap bulan. 13% mendapat upah 2 sampai 4 juta tiap bulan, 4% dengan gaji 10 juta. 3% mendapat 1-2 juta tiap bulan dan 1% mendapat upah berdasarkan jumlah page views mereka.
ADVERTISEMENT
Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata masih banyak jurnalis yang memperoleh upah kurang layak dan tidak setimpal dengan pekerjaan mereka. Melatarbelakangi banyaknya fenomena amplop yang terjadi belakangan ini dan berakhir pada anggapan bahwa praktik “amplop” dikalangan wartawan adalah lumrah dan terasa biasa saja. Meskipun demikian, wartawan harus tetap menjaga citra baiknya.
Jangan sampai masyarakat menganggap profesi seorang wartawan adalah profesi yang diragukan. Kemerdekaan pers dan jurnalis seharusnya menjadi komitmen utama selayaknya apa yang Undang-Undang Dasar 1945 tegaskan dalam kalimat pertama pembukaan. Karena jika bukan dari gaji yang layak, wartawan harus bergantung hidup darimana lagi?
Penulis:
Asyani Rahayu Simatupang, Mahasiswi Konsentasi Jurnalistik, Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas.