Konten dari Pengguna

Efektivitas Delik Pers dalam Praktik Jurnalistik

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
15 September 2024 17:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Delik Pers. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Delik Pers. Foto: iStock

“Delik pers pada umumnya merupakan opini atau pernyataan yang dilarang untuk diungkapkan di media massa karena bersifat pidana.”

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Delik pers merupakan isu krusial yang memadukan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hukum dalam masyarakat. Dalam konteks hukum Indonesia, delik pers sering kali menimbulkan perdebatan yang mendalam mengenai batasan-batasan yang harus diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara hak kebebasan pers dan hak-hak individu. Dengan adanya dua kerangka hukum utama—Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—perdebatan ini semakin kompleks, mengingat kedua undang-undang tersebut mengatur aspek-aspek berbeda dari delik pers dalam era digital yang serba cepat ini.
ADVERTISEMENT
Pemahaman yang mendalam mengenai pengaturan ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebebasan pers tidak disalahgunakan, sementara pada saat yang sama, hak-hak individu tetap terlindungi dari potensi penyalahgunaan informasi dan berita.
Dalam konteks hukum di Indonesia, delik pers sering kali melibatkan dua kategori penting: delik aduan dan delik biasa. Delik aduan dan delik biasa memiliki perbedaan mendasar dalam hal penanganan hukum dan proses peradilannya. Keduanya berperan dalam pengaturan kebebasan pers dan perlindungan hak-hak individu. Delik aduan, atau delik yang hanya dapat diproses hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, adalah salah satu kategori yang diatur dalam KUHP.
Menurut Pasal 310 KUHP, delik aduan mencakup fitnah dan pencemaran nama baik. Dalam kasus ini, proses hukum hanya akan dimulai jika korban mengajukan pengaduan. Hal ini berbeda dengan delik biasa yang dapat diproses hukum meskipun tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, UU ITE, yang lebih baru dan seringkali digunakan dalam konteks digital, juga mengatur beberapa jenis delik pers. UU ITE mencakup pengaturan mengenai pencemaran nama baik dan fitnah dalam dunia maya. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, misalnya, mengatur mengenai larangan penyebaran informasi yang dapat merugikan kehormatan seseorang.
Berbeda dengan KUHP, UU ITE lebih fokus pada pelanggaran yang terjadi di platform digital, seperti media sosial. Perbedaan antara delik aduan dan delik biasa dapat memengaruhi cara penanganan kasus-kasus delik pers. Delik aduan memerlukan inisiatif dari korban untuk memulai proses hukum, sedangkan delik biasa dapat diproses tanpa adanya pengaduan. Ini berarti bahwa dalam kasus-kasus delik aduan, kebebasan pers lebih dilindungi hingga ada pengaduan, sementara dalam delik biasa, tindakan yang dianggap merugikan dapat langsung diinvestigasi oleh pihak berwenang.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus delik pers dalam kategori delik aduan di Indonesia melibatkan Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Majalah Tempo. Pada tahun 2015, Sudirman Said mengajukan pengaduan terhadap Majalah Tempo setelah majalah tersebut menerbitkan artikel yang dianggapnya mencemarkan nama baiknya.
Artikel tersebut menuduh Sudirman Said terlibat dalam praktik korupsi tanpa bukti yang jelas. Pengaduan ini, yang berdasarkan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, memicu proses hukum terhadap majalah tersebut. Dalam pengadilan, Majalah Tempo diharuskan untuk meminta maaf dan melakukan koreksi atas artikel yang dianggap mencemarkan nama baik Sudirman Said. Kasus ini menunjukkan bagaimana delik aduan dapat mempengaruhi hubungan antara pejabat publik dan media, serta pentingnya akurasi dalam pemberitaan untuk melindungi reputasi individu.
Foto: iStock
Sebagai contoh kasus, dalam sebuah studi oleh Nurhadi (2022), disebutkan bahwa kasus pencemaran nama baik yang melibatkan media cetak dan digital sering kali menimbulkan perdebatan mengenai penerapan KUHP dan UU ITE. Kasus ini sering melibatkan isu delik aduan ketika individu merasa namanya dicemarkan dan mengajukan tuntutan hukum berdasarkan Pasal 310 KUHP atau Pasal 27 UU ITE.
ADVERTISEMENT
Contoh lain adalah kasus yang melibatkan berita bohong atau hoaks di media sosial. Dalam kasus ini, pelanggaran sering kali dikategorikan sebagai delik biasa di bawah UU ITE, seperti dalam kasus yang melibatkan penyebaran informasi palsu yang merugikan individu atau kelompok. Pihak berwenang dapat bertindak tanpa harus menunggu pengaduan jika informasi yang disebarkan jelas melanggar ketentuan hukum.
Menurut jurnal oleh Ramadhan (2021), perbedaan dalam penanganan delik aduan dan delik biasa mempengaruhi hak kebebasan pers. Dalam kasus delik aduan, pers dapat lebih bebas dalam menyebarluaskan informasi tanpa takut dihadapi tuntutan hukum, sementara dalam delik biasa, ada risiko hukum yang lebih tinggi yang mungkin mempengaruhi cara berita disajikan.
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun delik aduan menawarkan perlindungan lebih besar terhadap kebebasan pers, hal ini juga berarti bahwa korban pencemaran nama baik harus aktif untuk memulai proses hukum. Hal ini bisa menjadi hambatan bagi mereka yang mungkin tidak memiliki akses atau pengetahuan tentang cara mengajukan pengaduan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, delik biasa yang diatur dalam UU ITE memberikan kekuatan lebih kepada pihak berwenang untuk mengambil tindakan preventif terhadap pelanggaran yang merugikan tanpa harus menunggu pengaduan. Ini sangat relevan di era digital di mana informasi menyebar dengan sangat cepat.
Pada tahun 2020, Hadi Pranoto, seorang pemilik saluran YouTube dan influencer media sosial, mengunggah video yang menyebarkan informasi tidak akurat mengenai pengobatan COVID-19. Video tersebut mengklaim bahwa Hadi memiliki ramuan herbal yang bisa menyembuhkan COVID-19, serta menyebarkan berbagai klaim medis yang tidak berdasarkan pada bukti ilmiah. Konten ini menarik perhatian publik dan disebarkan secara luas melalui media sosial. Informasi yang disebarkan tidak hanya menyesatkan tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dengan memberikan klaim medis yang tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Kasus ini termasuk dalam kategori delik biasa di bawah UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), khususnya Pasal 28 ayat (1) yang mengatur tentang penyebaran informasi hoaks yang dapat menyebabkan keresahan masyarakat. Pihak berwenang, dalam hal ini Kepolisian, memulai penyelidikan dan proses hukum tanpa memerlukan pengaduan dari pihak tertentu karena dampak luas dari penyebaran informasi tersebut. Hadi Pranoto kemudian dijerat dengan hukum berdasarkan UU ITE.
Pengadilan memutuskan bahwa tindakan Hadi telah melanggar ketentuan mengenai penyebaran informasi yang dapat menyebabkan keresahan dan berpotensi menyesatkan publik. Hadi Pranoto dikenakan sanksi hukum dan diwajibkan untuk menarik video tersebut serta melakukan klarifikasi kepada publik.
Kasus ini mencerminkan bagaimana delik biasa diatur dalam UU ITE untuk menangani pelanggaran di ranah digital, khususnya terkait dengan penyebaran informasi yang merugikan masyarakat. Berbeda dengan delik aduan, kasus ini ditangani secara langsung oleh pihak berwenang karena dampaknya yang luas dan potensinya untuk menimbulkan bahaya publik. Kasus ini juga menunjukkan peran penting regulasi hukum dalam era digital untuk menjaga keakuratan informasi dan melindungi masyarakat dari hoaks dan informasi menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, pengaturan delik pers dalam KUHP dan UU ITE menggambarkan bagaimana hukum di Indonesia mencoba menyeimbangkan antara perlindungan terhadap hak individu dan kebebasan pers. Delik aduan dan delik biasa menawarkan pendekatan yang berbeda dalam penanganan kasus, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penting bagi praktisi hukum dan masyarakat umum untuk memahami perbedaan ini agar dapat melindungi hak-hak hukum dengan efektif sambil menjaga kebebasan pers yang sehat.