Konten dari Pengguna

Mempertahankan Konstitusi Butuh Lebih dari Sekadar Kemarahan

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
29 Mei 2024 15:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock

Krisis Demokrasi Kian Memenjara

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem pemerintahan yang dianggap tidak ideal seringkali menyerobot meja perbincangan di tengah krisis demokrasi yang sedang dihadapi masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan seputar demokrasi, apakah negara kita menjamin kebebasan berekspresi? Bagaimana dominasi penguasa? Atau bahkan seberapa sakral supremasi mengatasi disharmonisasi yang kian memenjara?
ADVERTISEMENT
Well, sepertinya ada banyak sekali kecemasan yang menyeruak masuk dalam ruang pikir perihal konstitusi. Apabila pertanyaan ini bergulir demikian meruncing, tanpa ada jawaban nyata dari pemerintah, dapat dimungkinkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara makin menguat dan kematian demokrasi bisa terjadi secara langsung dan nyata bagi semua orang.
Sebagaimana Affan Gaffar melihat demokrasi secara normatif, suatu negara dikatakan demokratis jika mengupayakan perwujudan demokrasi yang ideal. Hal tersebut mengacu pada pandangan Abraham Lincoln, government of the people, by the people, and for the people. Di mana dalam sistem pemerintahan, kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa; kekuasaan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Secara historis, perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme merupakan bagian dari perjuangan demokrasi, menjadi catatan rentang waktu segigih apa rakyat memerdekakan masa otoriterian di bawah pimpinan penjajah. Di samping itu, eskalasi demokratisasi dewasa ini begitu cepat. Kolaborasi antara demokrasi dan globalisasi melahirkan benturan pada roda organisasi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Kemerosotan demokrasi yang disebabkan oleh arogansi kekuasaan juga memberikan pengaruh signifikan munculnya pengabaian hak-hak asasi dalam masyarakat. Dua pakar hukum Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, yang perspektif keduanya mengenai kehancuran konstitusi dan matinya demokrasi dituangkan dalam satu buku “How Democracies Die, What History Reveals About Our Future”, bahwasanya demokrasi akan mati karena pengkhianatan pemangku jabatan. Penulis juga memaparkan bagaimana praktik demokrasi mengalami kehancuran dan berubah menjadi bentuk pemerintahan lain yang mengerikan.
Jalan kematian demokrasi dibuktikan oleh erosi konstitusi demokrasi Peru di bawah genggaman presiden tiran Alberto Fujimori. Demi menarik simpati, Fujimori memanfaatkan kejemuan publik terhadap hasil konstitusi partai lama serta kemarahan rakyat atas konflik dan krisis yang berkepanjangan. Fujimori tampil sebagai representasi pemimpin populis dengan suara mayoritas.
ADVERTISEMENT
Setelah kemenangannya, pemanfaatan kekuasaan yang berujung pada praktik anti demokrasi dan kelumpuhan konstitusi tidak dapat dihindari. Fujimori memutuskan untuk membubarkan kongres karena tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari sana. Ia juga menyatakan konstitusi negara itu tidak berlaku lagi.
Legitimasi publik seolah tidak punya pengaruh, ia menyerukan profokasi pembantaian demi menjalankan operasi anti-terorisme. Indikator tersebut membuktikan bahwa Alberto Fujimori merupakan kelompok ekstrimis yang meningkatkan polarisasi masyarakat dan seenaknya memainkan peraturan demi membatasi konstitusi.
Dalam konstelasi politik Indonesia, pemerintah sedapat mungkin memfilter tahap pilih pemangku jabatan melalui pemilihan umum. Masyarakat diperbolehkan mengamati bakal pemangku jabatan dengan leluasa, demi menghindari terpilihnya ekstrimis atau demagog secara legal.
Namun hal tersebut tidak dapat menghindari kemenangan mereka yang sekadar populer dan penuh intrik, mengendalikan sebagian besar media dan mengerahkan banyak perangkat pemerintahan untuk mendukungnya. Melalui film dokumenter yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Film Dirty Vote hadir untuk menyampaikan berbagai desain kecurangan pemilihan yang menjerumus pada konfrontasi dari sudut pandang pakar hukum tata negara di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Film ini merinci bagaimana politisi berbalik memanipulasi perekrutnya (rakyat) demi kepentingan pribadi. Rakyat tidak sepenuhnya punya kuasa atas suara politiknya. Penyalahgunaan kekuasaan yang terlihat nyata untuk menjaring suara justru merusak tatanan demokrasi.
Ini adalah bagimana demokrasi sekarang mati. Menolak konstitusi ideal dari demokrasi merupakan bentuk otokratis. Calon pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk meraih bangku kekuasaan berpotensi otoriter dan bukan tidak memungkinkan berubah menjadi ekstrimis jika telah memegang kekuasaan yang cukup.
Levitsky dan Jiblat kemudian merumuskan alternatif mencegah matinya demokrasi dengan “Pagar Demokrasi”, berbentuk konstitusi dan kode etik bersama. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional terjadi. Dua kode etik yang berlaku universal dalam penegakan demokrasi adalah toleransi dan pengendalian diri.
ADVERTISEMENT
Toleransi menjadi ruang setara dalam konteks hak dan kewajiban politis yang disesuaikan dengan aturan konstitusional. Selanjutnya adalah pengendalian diri untuk tidak melegalkan cara kotor untuk kepentingan pribadi.
Levitsky dan Ziblatt menyebutnya dengan istilah institutional forbearance, yaitu ketika para pemangku jabatan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya sebagai bentuk peminimalisiran matinya demokrasi dan rusaknya konstitusi.