Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penyiaran dan Perebutan Kekuasaan di Indonesia
20 November 2024 9:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyiaran dan Perebutan Kekuasaan di Indonesia: Antara Independensi Media, Regulasi, dan Kepentingan Politik
ADVERTISEMENT
Penyiaran di Indonesia telah menjadi salah satu elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam membentuk opini publik dan memberikan akses informasi. Namun, independensi media kerap dipertanyakan, terutama ketika pemilik media juga terlibat aktif dalam politik dan memiliki berbagai kepentingan. Media sering kali menjadi alat propaganda bagi para aktor politik untuk menyampaikan pesan, memengaruhi persepsi publik, dan memperkuat dukungan.
ADVERTISEMENT
Penyiaran juga digunakan untuk memobilisasi dukungan saat kampanye pemilu atau isu-isu politik tertentu. Salah satu contoh mencolok adalah Surya Paloh, pemilik MetroTV sekaligus Ketua Umum Partai Nasional Demokrat. Posisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa media digunakan sebagai alat untuk mempromosikan agenda politik tertentu, sehingga menyimpang dari fungsi utamanya sebagai penyedia informasi yang obyektif dan netral.
Dalam konteks ini, keberadaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi krusial. Undang-undang ini menegaskan pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi yang memberikan akses informasi kepada masyarakat secara bebas dan bertanggung jawab. Namun, kelemahan utama dari regulasi ini adalah tidak adanya pengaturan eksplisit mengenai konflik kepentingan antara kepemilikan media dan aktivitas politik.
Hal ini membuat celah hukum yang memungkinkan politisasi media. Ketika pemberitaan cendereung berpihak pada kepentingan tertentu, fungsi media sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) terancam tergantikan oleh perannya sebagai alat propaganda. MetroTV, misalnya, sering menjadi sorotan karena pemberitaannya dianggap cenderung memihak NasDem. Hal ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan media untuk kepentingan politik, yang bertentangan dengan prinsip independensi dan keberimbangan informasi sebagaimana diamanatkan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
ADVERTISEMENT
P3SPS yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertujuan memastikan bahwa semua lembaga penyiaran mematuhi standar etika jurnalistik dan menegakkan keberimbangan informasi. Namun, pelaksanaan P3SPS menghadapi tantangan besar, terutama ketika media milik tokoh politik terlibat. Dalam kasus tertentu, KPI dinilai tidak cukup tegas dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh media berpengaruh. Hal ini memperlihatkan dilema yang dihadapi KPI: menjaga independensi media sekaligus berhadapan dengan tekanan politik dari pihak-pihak berkepentingan.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menambah dimensi baru terhadap perdebatan ini. RUU Penyiaran bertujuan untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan teknologi, termasuk migrasi dari analog ke digital. Namun, beberapa pasal dalam RUU ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kontrol berlebih oleh pemerintah terhadap media.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perbedaan antara siaran nasional dan lokal juga menjadi salah satu tantangan dalam menjaga keberimbangan penyiaran. Media nasional seperti MetroTV, RCTI, dan TVOne memiliki jangkauan luas yang memungkinkan mereka membentuk opini publik secara nasional. Namun, pengaruh ini sering kali digunakan untuk mengarahkan narasi tertentu yang sesuai dengan kepentingan pemiliknya.
Berbeda dengan media nasional, siaran lokal lebih fokus pada isu-isu daerah, yang sering kali lebih relevan bagi masyarakat setempat. Meski cenderung lebih netral, siaran lokal menghadapi kendala berupa keterbatasan sumber daya finansial dan infrastruktur, yang membuat daya saing mereka rendah dibandingkan dengan media nasional.
ADVERTISEMENT
Selain media swasta, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik memiliki peran yang unik. TVRI diharapkan menjadi media independen yang melayani kepentingan masyarakat secara luas tanpa pengaruh politik atau kepentingan komersial. Namun, realitanya, TVRI sering terjebak dalam tekanan politik, terutama dalam pengangkatan dan pemberhentian pimpinan lembaganya.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Media and Power in Indonesia menunjukkan bahwa tekanan birokrasi terhadap TVRI membuat lembaga ini sulit mempertahankan independensinya. Selain itu, TVRI juga menghadapi tantangan besar dalam bersaing dengan media swasta yang lebih agresif dalam hal inovasi dan strategi komersial.
Masalah penyiaran di Indonesia menunjukkan bahwa regulasi yang ada, termasuk Undang-Undang Pers dan P3SPS, belum sepenuhnya mampu menangani konflik kepentingan antara politik dan media. Dalam kondisi ini, KPI menghadapi beban berat untuk memastikan netralitas penyiaran, meskipun sering kali kurang memiliki wewenang atau dukungan yang cukup untuk menjalankan tugasnya secara efektif.
ADVERTISEMENT
Melihat dinamika ini, reformasi regulasi melalui RUU Penyiaran seharusnya menjadi peluang untuk memperkuat independensi media dan membatasi potensi penyalahgunaan oleh pemilik media yang terlibat dalam politik. Selain itu, penguatan peran KPI dan pemberdayaan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik menjadi langkah penting untuk menciptakan ekosistem penyiaran yang sehat dan mendukung demokrasi. Dengan demikian, penyiaran di Indonesia dapat kembali pada fungsi utamanya: menyediakan informasi yang netral, akurat, dan relevan bagi masyarakat.