Konten dari Pengguna

Urgensi Kesantunan Berbahasa pada Anak

Asyani Rahayu Simatupang
Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Jurnalis di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Genta Andalas.
29 Agustus 2024 5:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyani Rahayu Simatupang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: iStock

Kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika.

ADVERTISEMENT
Bahasa memaparkan bias personal dan bagaimana bentuk kepribadian seseorang. Rumusan dari watak, karakter, etika, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari cara ia bertutur. Penggunaan bahasa yang sopan, santun, sistematis, simpatik, jelas, dan lugas dapat dijadikan landasan spekulasi terkait kondisi penutur yang paham etiket juga kesusilaan. Pengupayaan lingkungan yang sehat tutur kata dan tinggi adabnya merupakan sebuah urgensi destruktif terhadap realitas sosial sekarang ini. Anomali dan revolusi lingkungan sosial membawa serta konsekuensi-konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan masalah kode etik nilai dan filosofi moral. Dalam kondisi ini, konstruksi lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap perkembangan olah dan tutur kata, juga cara berbahasa anak. Kemampuan tutur bahasa anak akan berkembang melalui berbagai situasi seiring interaksinya dengan orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Moralitas merupakan sebuah produk yang dihasilkan dari konstruksi lingkungan. Anak-anak usia dini dalam proses perkembangan motoriknya, merepresentasikan moral berdasarkan afiliasi dan interaksi sosial dengan orang-orang dewasa. Anak-anak cenderung melakukan imitasi dalam proses kognisi mereka. Menyalin apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan mengandalkan kemampuan persepsi. Barida Muya, dalam jurnal Children Advisory Research and Education: Perkembangan Perilaku Anak melalui Imitasi (2016). Menyatakan bahwa imitasi merupakan proses pengembangan tingkah laku dengan meniru dari apa yang ditafsirkannya melalui observasi terkait suatu model yang menjadi objek observasinya. Oleh karena hal tersebut, lingkungan soaial menjadi wadah pembentukan moral dan karakter anak, dan orang dewasa adalah objek penentu arah perkembangannya.
Kesantunan. Foto:
Kesantunan berkaitan dengan budaya dan nilai yang bersifat relatif di suatu masyarakat. Sebuah tutur dapat dikatakan sopan, akan tetapi di tempat lain bisa saja dianggap menjadi tidak sopan. Sebaiknya kita harus paham dan bisa menempatkan diri dengan sadar dimana kita berkomunikasi. Bagi masyarakat suku Jawa misalnya, penggunaan kata ‘kau’ pada lawan bicara dianggap kurang sopan, namun dalam tutur kata suku Batak hal demikian dianggap lumrah.
ADVERTISEMENT

1. Perspektif Sosiokultural Vigotsky dalam Pemerolehan Pragmatik Kesopanan

Perspektif sosiokultural Vygotsky dalam pemerolehan pragmatik kesopanan mengacu pada teori perkembangan kognitif yang menekankan peran lingkungan sosial dalam pembentukan pemahaman dan penggunaan bahasa. Menurut Vygotsky, individu mengembangkan pemahaman mereka tentang bahasa dan konsep-konsep lainnya melalui interaksi dengan lingkungan sosial mereka, terutama dengan orang dewasa dan sesama teman sebaya.
Dalam konteks pemerolehan pragmatik kesopanan, perspektif Vygotsky menekankan bahwa anak-anak belajar tentang norma-norma dan aturan-aturan kesopanan melalui pengalaman sosial mereka. Mereka mengamati, meniru, dan berinteraksi dengan orang dewasa serta teman sebaya untuk memahami cara-cara yang diterima secara sosial dalam berkomunikasi. Berikut adalah beberapa aspek dari perspektif sosiokultural Vygotsky yang relevan dalam pemerolehan pragmatik kesopanan:
ADVERTISEMENT
A. Zona Proximal Pembangunan (ZPD): Vygotsky mengemukakan konsep ZPD, yang merupakan perbedaan antara apa yang seorang anak dapat lakukan secara mandiri dan apa yang dapat dicapainya dengan bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih terampil. Dalam konteks pemerolehan kesopanan, anak-anak mungkin memiliki kesadaran awal tentang norma kesopanan, tetapi mereka perlu bimbingan dan dorongan dari lingkungan sosial mereka untuk memahami dan menerapkan norma-norma tersebut dengan benar.
B. Peran Orang Dewasa dan Teman Sebaya: Vygotsky menekankan pentingnya interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya dalam proses pembelajaran. Anak-anak belajar tentang kesopanan dari contoh yang diberikan oleh orang dewasa di sekitar mereka dan melalui interaksi sosial dengan teman sebaya. Dengan melihat dan mengikuti model perilaku orang dewasa dan teman sebaya, anak-anak menginternalisasi norma-norma kesopanan dalam berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
C. Budaya sebagai Konteks Pembelajaran: Perspektif Vygotsky menyoroti peran budaya dalam pembentukan pemahaman dan penggunaan bahasa. Norma-norma kesopanan dapat bervariasi antar budaya, dan anak-anak belajar untuk memahami dan menghormati norma-norma ini melalui interaksi dengan anggota budaya mereka. Dalam lingkungan yang kaya dengan contoh dan kesempatan untuk berlatih, anak-anak dapat menginternalisasi prinsip-prinsip kesopanan yang relevan dengan budaya mereka.
Dengan mempertimbangkan perspektif sosiokultural Vygotsky dalam pemerolehan pragmatik kesopanan, penting untuk menyadari bahwa pembelajaran bahasa dan kesopanan merupakan proses yang terjadi melalui interaksi sosial yang terus-menerus. Lingkungan sosial yang mendukung dan kaya dengan contoh-contoh kesopanan memberikan kesempatan terbaik bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan bahasa dengan sopan.

2. Implementasi Kesantunan Berbahasa dari Perspektif Suku Jawa

Bahasa jawa memiliki ciri khas tersendiri yaitu kosakatanya. Sistem kesopanan, kehormatan, dan rasa hormat yang sampai saat ini masih ada sebagian besar belum dipelajari yaitu dengan fokus pada kosakata sopan bahasa jawa (Krama, Krama Andhap/ karma madya, dan Krama Inggil) (Krauße, 2018). Kosakata dalam bahasa jawa memiliki beberapa tingkatan yang disebut sebagai tata krama. Bahasa yang sopan dalam bahasa Jawa melalui konsep budaya, yaitu: tata krama, andhap asor, dan tanggap ing sasmito (Sukarno, 2018). Tata krama artinya pengaturan bahasa atau ucapan level. Tingkat bicara bahasa Jawa menjadi tiga tingkatan: tidak sopan yaitu ngoko, tengah sopan yaitu krama madya, dan yang paling sopan yaitu krama inggil. Tingkatan tersebut digunakan dengan memperhatikan konteks sosial seseorang. Pemilihan tingkat kebahasaan sangat dipengaruhi oleh konteks sosial (jarak sosial, usia, status atau kekuasaan sosial, dan ukuran pembebanan) (Sukarno, 2018). Ngoko biasanya digunakan untuk bahasa keakraban atau hubungan dekat antar teman sederajat (Jauhari & Purnanto, 2019; Wahyuningsih, 2019). Selain itu bahasa jawa ngoko juga bisa digunakan pada orang yang lebih muda. Basa krama madya dilakukan kepada teman sebaya yang mungkin belum akrab atau orang yang lebih tua tetapi tidak terpaut jauh umurnya. Basa Jawa krama inggil adalah bahasa dengan kosakata yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang tua sebagai tanda sopan dan keengganan kepada orang yang lebih tua (Yuliyani & Mukminin, 2020). Masyarakat Jawa selalu mengutamakan bentuk kesantunan tutur yang ada dibuat oleh tingkat derajat bicara (Suryadi & Riris, 2018). Budaya Jawa terdapat pilihan bahasa yang seringkali dipengaruhi oleh usia penerima, status, posisi, hubungan, kendala sosial dan jenis kelamin (Fitriah & Hidayat, 2018). Terdapat tingkatan tutur bahasa dan memungkinkan penuturnya memperlihatkan keakraban, penghormatan dan jenjang hierarki dengan sesama anggota masyarakat (Apriliani et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Sopan santun bukan merupakan hal yang instan untuk bisa didapatkan. Penanaman sopan santun membutuhkan waktu yang sangat lama, terlebih lagi pada karakter bahasa anak. Penanaman sikap sopan santun dalam berbahasa hendaknya diberikan pada saat anak berusia dini. Saat anak diberikan pendidikan karakter sejak dini maka selanjutnya anak akan mampu mengendalikan diri sendiri. Sesuai dengan mencari ilmu pada saat kecil seperti memahat di atas batu sedangkan mencari ilmu di waktu tua bagaikan mengukir diatas air (Surya, 2017). Saat membekali pembentukan karakter pada anak usia dini maka akan tertanam pada diri anak tersebut. Seperti halnya berbahasa pada anak, ketika bahasa jawa yang diajarkan sejak dini, maka anak akan bisa berbahasa jawa saat nanti dewasa. Bagi anak di usia dini hal tersebut merupakan masa perkembangan yang harus dibina dan dikembangkan agar mereka dapat memanfaatkan kemampuan bahasanya secara maksimal. Perkembangan bahasa memiliki dampak besar pada anak dan anak lingkungan, dan perlu diidentifikasi sedini mungkin (Visser-Bochane et al., 2020). Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial dan budaya anak.
ADVERTISEMENT