Kosmopolitanisme dalam Membumikan Gerakan Rahmatan Lil-Alamin

Asyraf al Faruqi Tuhulele
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat FISIP UMJ. Ketua Departeman Keilmuan dan Pemberdayaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UMJ.
Konten dari Pengguna
4 Juli 2021 5:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asyraf al Faruqi Tuhulele tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber-Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber-Pixabay
ADVERTISEMENT
Kebinekaan atau pluralitas adalah anugrah keberagaman isi alam serta refleksi makhluk atas lingkungan sekitarnya yang melahirkan keanekaragaman budaya, peradaban sampai agama. Kesadaran untuk menerima realitas keberagaman menjadi kebutuhan setiap manusia. Hal ini bertujuan untuk memberikan kebebasan manusia untuk hidup sesuai dengan pilihannya sendiri, sesuai dengan apa yang ia yakini dan menghargai pilihan orang lain. Agama merupakan salah satu fakta nyata keberagaman, sejarah panjang kehidupan manusia memunculkan kreativitas budaya sampai aktivitas spiritual. Di sana manusia menunjukkan kreativitas spritualnya bahwa mereka adalah makhluk spiritual (homo religious).
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negeri sejuta keberagaman, pluralitas di Indonesia sangat nampak adanya, mulai dari berbeda beda kesukuan, bahasa, warna kulit, sampai agama. Dalam hal ini ada misi besar yang harus diperjuangkan bersama agar bersatu padu layaknya warna warni pelangi yang indah karena perbedaan itu sendiri. Mayoritas menyayangi minoritas, yang minoritas menghargai yang mayoritas, serta paham dan tidak alergi terhadap perbedaan, sehingga menjadi negara dengan tingkat individu yang menjunjung tinggi toleransi tertinggi di dunia.
Sejak tahun 2015, fenomena yang berkaitan dengan intoleransi beragama sangat menguat dan terlihat dalam ruang berkehidupan sosial bermasyarakat setiap harinya. Praktik ini ditandai dengan narasi yang negative, baik di media massa maupun media sosial, mengenai sentiment primodial keagamaan, dll. Kontroversi beberapa buku pelajaran yang memuat praktik intoleran pun tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Contoh kasus intoleran ini setidaknya terdapat bukti dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP) yang disusun Mustahdi dan Mustakim, dan diterbitkan oleh Kemendikbud sendiri.
ADVERTISEMENT
Maka agama bukanlah sekumpulan doktrin yang kaku, simbolik, ataupun sekadar khayalan. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai. Itulah pemaknaan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal moralitas, perbuatan, serta praktik kehidupan sosial setiap umat beragama.
Membumikan Gerakan Rahmatan Lil-Alamin.
Berbicara bahwa Islam agama yang universal, sama saja dengan mengatakan bumi itu bulat. Tetapi, dapat disadari tidak banyak yang mengerti tentang universialisme islam itu sendiri, apalagi implikasinya terhadap bidang-bidang yang luas. Sama dengan tidak sadarnya banyak orang tentang hakikat kebulatan bumi itu sendiri, secara nyata maupun teori. Dalam sebuah ungkapan yang sering kita dengar adalah “Al-Islam shahih li kulli makan wa zaman” yang artinya Islam sesuai dengan setiap zaman dan tempatnya. Hal ini dibuktikan dengan pengamatan bahwasannya Islam paling banyak mengakomodir banyak ras dan kebangsaan, dengan hampir seluruh kawasan klimatologis dan geografis.
ADVERTISEMENT
Maka dalam masalah menyebarkan esensi keislaman secara langsung ataupun di media, kita harus selalu menghadirkan keindahan islam itu sendiri sebagai agama rahmat bagi seluruh umat manusia, menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan dan menghargai pluralitas di lingkungan sekitar, sehingga dalam pemaknaan islam sebagai agama keselamatan dan membawa sebuah misi perdamaian tercapai bukan hanya di lisan saja tetapi juga dalam aktivitas kehidupan.
Setidaknya ada dua wacana yang baik dan bisa dilakukan untuk meredam dan mencegah konflik dalam perbedaan keyakinan. Pertama, mengubah pola pikir umat terhadap pandangan keagamaan dari citranya yang impersonal menuju kepada personal. Dari sesuatu yang hanya saja bersifat simbolistik menjadi subtantif. Karena pada hakikatnya agama bukan saja berkutat pada hal-hal yang bersifat ritual saja tapi lebih daripada itu agama juga mengajarkan nilai-nilai keluhuran, kemanusiaan, keadilan, kedamaian dan kasih sayang. Kedua, meluaskan ruang dialog antar umat beragama, yang bukan hanya saja ditingkat elite masyarakat tetapi juga ditingkat akar rumput, wacana ini merupakan satu hal yang masih sangat asing di lingkungan kita saat ini, dari sini akan muncul diskusi tentang masalah apapun soal keseharian sampai masalah kebangsaan, tidak berbicara lagi soal ‘kami’ tetapi sudah tentang ‘kita’ membangun bersama dan membawa perubahan.
ADVERTISEMENT
Menurut Buya Syafi’I Maarif, umat islam tidak perlu lagi mempertentangkan soal Islam, Indonesia, dan Kemanusiaan. Seharusnya tiga hal ini diimplementasikan dalam satu tarikan napas, jadi Islam orang Indonesia adalah Islam yang ramah, Inklusif, dan memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan negara dan kemanusiaan.
Muhammadiyah dan Islam Kosmopolitan.
Karakter ke-Islaman Muhammadiyah sering teridentifikasi dengan kata Islam berkemajuan atau bisa dikatakan dengan “Islam Kosmopolitan”, narasi ini muncul pada Mukhtamar PP Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta. Kosmopolitanisme berarti kesadaran bahwa kita adalah bagian dari penduduk bumi yang memiliki rasa kemanusiaan yang solid serta universal dan tanggung jawab yang luas tanpa adanya pembeda yang menonjol seperti ras, agama, geografis dan konvensional.
Dalam hal globalisasi saat ini, Muhammadiyah turut dan terus berdialog dalam menata peradaban dunia. Islam berkemajuan yang diusung harus berwawasan global, tidak terbatas dengan negara bangsa. Tidak hanya menjadi penerima peradaban saja tetapi juga menularkan peradaban, inilah wujud dari upaya gerakan membumikan gerakan Islam yang rahmat bagi segenap alam. Dimanapun, kita adalah masyarakat dunia tidak terbatas dengan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu Kosmopolitan Islam Berkemajuan versi Muhammadiyah akan mengalami perubahan yang sangat dahsyat dan ini menjadi tantangan Muhammadiyah dan masyarakat secara umum untuk bergerak menyeleraskan gerakan pembaharuan islam yang berkemajuan, siap berdiskusi dan andil dengan pluralitas peradaban. Amin Abdullah menyatakan “Islam berkemajuan adalah Islam yang berada di tengah perputaran arus globalisasi dalam praksis, globalisasi dalam hal perubahan sosial dan aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar teori dalam menyikapi globalisasi”.
Maka dari sini penekanan dalam hal bermedia sosial dengan ramah, berpendidikan dengan dengan toleran adalah dua hal penting yang harus diperhatikan. Karena pada hakikatnya lingkungan dan proses pembelajaran yang ada di sekolah sangat membentuk pola pikir setiap individu masyarakat dunia hari ini.
ADVERTISEMENT
Reaktualisasi misi Islam di abad 21 ini mungkin sangat amat berbeda dengan sebelumnya dan bisa jadi keuntungan kita bersama dalam menyebarkan misi Islam sesungguhnya. Perangkat seperti artificial intelligence dan kecepatan media sosial dalam menyebarkan informasi sangatlah menguntungkan bagi mereka yang memiliki akar pemikiran tentang keberagaman dan bisa menjadi masalah jika akar keberagaman itu belum terbentuk dan terprovokasi dengan informasi yang menyesatkan.
Pada akhirnya kita harus sadar, penanaman soal keberagaman harus di dukung oleh beberapa perangkat. Yang pertama, dengan mengubah pola pikir yang dimulai dari sekolah dan lingkungan yang ada, secara nyata ataupun media. Yang kedua, dengan memperbanyak dialog dengan berbagai banyak prespektif, ras, agama, dll. Untuk menguatkan pola pikir tentang perbedaan dan kesadaran bersama bahwa Islam di desain sebagai Agama kasih sayang untuk segenap alam, bukan hanya kepada segenap kaum muslimin saja “Rahmatan Lil-Alamin” bukan hanya sekadar “Rahmatan Lil-Muslimin”.
ADVERTISEMENT
Penulis: Asyraf al Faruqi
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UMJ, Ketua Umum IMM FISIP UMJ.