Sumpah Pemuda, Setelah Sumpah lalu Apa?

Reh Atemalem
Perempuan, ibu, pejalan
Konten dari Pengguna
29 Oktober 2019 8:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reh Atemalem tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, pada tanggal yang sama jutaan pemuda siap-siap bikin ramai acara sumpah pemuda. Ada yang bikin panggung untuk menampilkan aneka pertunjukan budaya, entah itu tarian atau nyanyian. Ada yang bikin bazaar untuk jual-jual barang-barang dari berbagai suku. Ada juga yang memilih bikin acara diskusi ala-ala haluan kiri.
ADVERTISEMENT
Apapun ceritanya, apapun kegiatannya, niatnya sama. Satu nusa, satu bangsa.
Lalu, setelah acara ini berakhir, pemuda-pemuda harapan bangsa ini harus bagaimana agar sumpah yang dijeritkan 91 tahun lampau itu masih tampak gaungnya?
Perang melawan penjajah mungkin saja sudah berakhir, tapi kalau dibilang kita sudah berhenti perang, tentu salah. Perang masih merah, kalau dulu melawan penjajah yang jelas bentuknya, jelas warna kulitnya, jelas tujuannya; sekarang waktunya perang melawan barang yang tidak kelihatan. Menghancurkan dari dalam.
Apa perang yang kita hadapi sekarang?

PERANG MELAWAN HOAX

Berita bohong alias hoax, menurut saya, jadi musuh paling kuat. Tema hoax yang lalu-lalang di media sosial sangat beragam. Isu yang tak habis-habis, walau sudah dipatahkan berulang misalnya: Hoax di bidang kesehatan seperti tanaman pemakan daging manusia hingga daftar camilan yang mengandung babi. Hoax di bidang agama misalnya soal istri yang tidak izinkan suaminya poligami berarti bukan perempuan solehah atau soal kewajiban mendirikan negara khilafah.
ADVERTISEMENT
Hoax ini beredar dari satu smartphone ke smartphone lainnya dengan cepat. Tak terbatas ruang dan waktu. Orang Papua dan orang Aceh bisa menerima informasi pada saat bersamaan. Teknologi memang memudahkan. Tapi bayangkan bagaimana kalau ada informasi salah yang diterbangkan jauh. Lalu kabar itu bikin orang percaya, dan bikin orang bertindak hanya karena desas-desus yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Rusak semuanya.
Pemuda punya tanggung jawab mengingatkan lingkungannya, termasuk di dalamnya adalah keluarga, orang tua, teman-teman, rekan kerja, dan orang-orang tak dikenal yang suka ngomong ngawur di media sosial. Dulu, diam itu emas. Sekarang tak bisa begitu lagi.

PERANG MELAWAN RADIKALISME

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, radikalisme berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Perubahan, seperti hal-hal lain di dunia, adalah pasti. Caranya yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Berubah boleh saja, tapi lihat dulu cara dan tujuannya. Akan salah kalau jadi radikal karena tidak suka pada satu golongan, padahal golongan itu tidak punya salah apa-apa. Indonesia itu bukan hanya sukumu saja, bukan agamamu saja. Tak adil kalau kamu hanya mengizinkan golonganmu yang hidup dan atau memerintah.
Bendera raksasa di tebing Gunung Spikul. Dok: ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

PERANG MELAWAN BUDAYA INSTAN

Perang terakhir ini mewabah sekali, tak cuma pemuda, orang tua pun banyak yang kena. Semua instan. Proses cenderung dilewatkan karena apa-apa maunya langsung dapat. Tak mau capek, tak mau usaha. Tak mau kerja kalau gaji kurang dari sepuluh juta, padahal kebutuhan hidupnya saja tak sampai tiga juta. Tak mau jadi anak buah, maunya jadi bos.
Ya boleh saja kalau tak mau-tak mau ini membuat pikiran gerak dan memilih berwirausaha mandiri. Akan payah kalau ternyata paham itu malah bikin jadi pengangguran dan sakit kepala orang tua.
ADVERTISEMENT
---
Penjajahan belum lagi selesai. Pekerjaan rumah untuk pemuda masih banyak. Mulai perjuangan dari diri dan lingkungan terkecil baru meluas ke sekeliling.
Salam Sumpah Pemuda!
Reh Atemalem Menulis cerita perjalanan di: atemalem.com