Konten dari Pengguna

Deindustrialisasi Prematur dan Trajektori Pembangunan Indonesia

Athar Hadiyan
Research Assistant at Institute for Advanced International Studies (INADIS)
14 Oktober 2023 16:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Athar Hadiyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bongkar Muat Peti Kemas sebagai Penanda Aktivitas Perekonomian Internasional (Credit: Unsplash/exdigy)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bongkar Muat Peti Kemas sebagai Penanda Aktivitas Perekonomian Internasional (Credit: Unsplash/exdigy)
ADVERTISEMENT
Di antara negara-negara berkembang, selalu ada kendala dalam pembangunan. Kendala tersebut dapat diatasi dengan strategi catching-up yang baik. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan substitusi impor dan proteksionis berupa subsidi dan persyaratan kandungan lokal.
ADVERTISEMENT
Strategi ini sering digunakan untuk membina industri prematur dalam negeri yang masih baru guna meningkatkan produktivitas dan daya saingnya secara global.
Argumen ini bukanlah hal baru, melainkan berakar pada aliran sejarah ekonomi yang dibawakan oleh Friedrich List dan Alexander Hamilton, kemudian diadopsi kembali oleh ekonom dan pemikir kontemporer developmentalis seperti Ha-Joon Chang.
Pada masa Orde Baru (1967-1998), wacana populer mengenai pembangunan adalah wacana yang dikarakterisasi dengan stabilitas ekonomi ala developmentalis yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan melindungi industri dalam negeri.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah Indonesia membatasi persaingan dalam negeri (Wie, 2012). Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan seperti ini rentan terhadap aktivitas pencarian rente seperti korupsi dan penggelapan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan-kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh para epistemis dan teknokrat seperti Nitisastro dan Habibie (Sulfikar, 2008). Namun persaingan wacana dan perpecahan di antara para teknokrat dan birokrat negara menyebabkan tidak adanya kejelasan strategi industri dan mengakibatkan rendahnya daya saing.
Salah satu kasus yang dapat diamati adalah persoalan tingkat persyaratan kandungan lokal pada masa Orde Baru. Pada tahun 1974, Soeharto memberlakukan "program penghapusan" yang bertujuan untuk secara bertahap meningkatkan konten yang diproduksi secara lokal di industri manufaktur.
Namun, program penghapusan ini, yang diberlakukan di bawah rezim substitusi impor, dihentikan pada tahun 1993 (Wie, 2012). Alasannya adalah program ini menyebabkan pertumbuhan output yang tidak efisien karena tidak memiliki lingkungan dalam negeri yang mendukung. Perubahan kebijakan yang cepat ini terjadi dikarenakan terdapat ketidakharmonisan antara pembuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
Krisis Keuangan Asia tahun 1998 memaksa pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi perekonomian untuk mendapatkan bantuan dari IMF. Reformasi yang bercorak neoliberal, ditandai dengan pembukaan investasi, deregulasi, dan privatisasi ini ‘membuka’ perekonomian Indonesia sehingga peran negara dalam perekonomian menjadi berkurang.
Konteks perekonomian pasca-Krisis 1998 dicirikan dengan terjadinya boom atau meningkatnya harga-harga komoditas pada awal 2000-an. Konteks boom komoditas global serta kebijakan ekonomi yang neoliberal inilah yang memberikan jalan untuk masuknya kembali rezim ekstraktif.
Rezim ekstraktif dicirikan dengan ekstraksi sumber daya alam dan mineral sebagai basis dari formasi tatanan ekonomi-politik suatu negara. Hal ini menyebabkan output manufaktur Indonesia menjadi turun drastis selama dekade 2000-an hingga awal 2010-an.
Seorang ekonom bernama Dani Rodrik menggagas istilah “deindustrialisasi prematur”—didasari oleh paradigma modernisasi untuk mengacu pada keadaan perekonomian ketika aktivitas perekonomian beralih dari produksi manufaktur sebelum perekonomian mencapai maturitas atau kematangan penuh.
ADVERTISEMENT
Rodrik menjelaskan mengapa deindustrialisasi model seperti ini seringkali terjadi pada negara-negara berkembang. Menurutnya, ketika negara-negara berkembang "membuka" diri untuk berdagang, sektor manufaktur mereka yang tidak memiliki keunggulan komparatif yang kuat di bidang tersebut menjadi pengimpor produk manufaktur (Rodrik, 2015).
Negara yang mengalami deindustrialisasi dicirikan dengan menurunnya nilai tambah perekonomian, sehingga pertumbuhan ekonomi yang terjadi tanpa peningkatan lapangan pekerjaan serta penurunan upah riil dalam sektor manufaktur.
Globalisasi dalam artian transformatif memberikan dampak transformatif terhadap jejaring produksi manufaktur yang awalnya bersifat domestik menjadi terinternasionalisasi.
Munculnya rantai pasok global menyebabkan negara-negara pengekspor sumber daya alam menjadi posisi terbawah dalam rantai pasok global. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi dapat menangkap nilai tambah yang masuk dalam perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada kasus yang telah disampaikan di atas, baik rezim ekonomi politik developmentalis ala Orde Baru maupun rezim ekonomi neoliberal pada masa awal Reformasi tidak berhasil membangun basis industri yang jelas untuk pembangunan ekonomi Indonesia.
Pada akhirnya, permasalahan yang sama kembali terulang: aktivitas rent-seeking oleh elite pebisnis dan konglomerat, minimnya strategi, koherensi dan koordinasi antara kementerian/lembaga terkait pembentukan kebijakan, minimnya keterkaitan antar industri khususnya dari sektor hulu sampai hilir, serta pasokan tenaga kerja yang tidak match dengan kebutuhan industri.
Berbagai permasalahan yang terjadi tampaknya terjadi dalam level politik sehingga untuk membenahi pembangunan ekonomi memiliki solusi yang cukup jelas, diperlukan pembangunan kapasitas institusional dalam level domestik yang memadai untuk menopang pembangunan secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT