New Normal, “New”-nya Kredit: Semakin Diperketat?

Konten dari Pengguna
25 Juni 2020 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Athfi Nadia Permatasari Devi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Gambar  dari Finance Management Book
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Gambar dari Finance Management Book
ADVERTISEMENT
Oleh
Athfi Nadia
Mahasiswa PKN STAN
ADVERTISEMENT
Berakhirnya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi tanda bahwa tatanan new normal mulai diterapkan. Pada tanggal 4 Juni 2020 sejak diterapkannya kebijakan tersebut, beberapa aktivitas masyarakat sudah mulai kembali berjalan, begitupun aktivitas ekonomi, terlihat sektor industri mulai kembali menjalankan aktivitas bisnisnya, seperti saat ini beberapa restoran, toko, cafe bahkan mall yang pada masa PSBB operasinya diperketat sekarang sudah mulai diperlonggar dan tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, lalu apakah sektor perbankan juga memasuki fase new normal?
Seperti yang telah diketahui, pandemi covid-19 menjadikan perekonomian lesu, tidak hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia dengan dampaknya yang menyebakan krisis global. Pandemi memaksa masyarakat untuk melakukan aktivitasnya di rumah saja dan membatasi aktivitas di luar bahkan bekerja dilakukan dari rumah atau yang dikenal istilah trend-nya sebagai work from home, hal tersebut berdampak pada produktivitas pekerja terhadap kontribusi pada perusahaan, output perusahaan menjadi turun, yang berakhir dengan perusahaan tersebut melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawannya, bahkan dampak terburuk adalah banyak perusahaan bangkrut dan menutup usahanya. Hal tersebut memberikan efek berantai bagi perekonomian dalam masyarakat, pemutusan kerja menjadikan pendapatan masyarakat turun begitupun dengan daya konsumsi yang berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Hal itu tentunya juga memberikan pengaruh terhadap sektor perbankan, terdapat risiko yang dihadapi perbankan, karena dampak covid-19 mengakibatkan banyak aktivitas ekonomi debitur melemah, begitupun debitur UMKM, diantaranya risiko kredit macet, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi tersebut, OJK bersama Industri Jasa Keuangan mendukung kebijakan pemerintah dalam meringankan beban debitur yang terdampak covid-19 melalui restrukturisasi kredit atau keringanan pembayaran kredit. Seperti yang telah ditegaskan dalam PJOK No. 11/PJOK 03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercylical. Kebijakan tersebut dengan tujuan memberikan stimulus bagi debitur yang terdampak dengan memberikan keringanan dalam pembayaran kredit, sehingga tidak terjadi Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet secara massif yang akan berdampak pada kesehatan bank itu sendiri. Di samping itu, bank masih dapat memperoleh pemasukan kredit, dimana ini penting agar bank tetap dapat menjalankan fungsi intermediraninya dan memenuhi Capital Adequacy Ratio yang dipersyaratkan sehingga tidak mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuanagan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, Namun, persoalannya hal tersebut hanya akan membantu bank dalam jangka pendek. Kredit NPL masih akan tetap meningkat secara subtansial dalam jangka panjang karena makin luasnya lingkup yang terdampak pandemi, serta kebijakan restrukturasi tersebut menyebabkan profitabilitas dan likuiditas bank menurun, ini terlihat pada Credit at Risk (CAR), pada bulan pertama sebesar 11,4 persen dan meningkat ke level 14,8 persen, bahkan pada bulan April mendekati 15 persen dan cenderung akan meningkat untuk waktu kedepan selama pandemi masih belum berakhir serta kualitas aset kian melemah.
ADVERTISEMENT
Pada fase penerapan new normal saat ini, bank yang pada dasarnya melakukan kegiatan bisnis sebagai intermediator funding dan lending tetap mengamati dan memperhitungkan kondisi riil. Gejolak risk-return bisnis akibat pandemi Covid-19 telah dirasakan sejak awal 2020, sedangkan aktivitas bank dalam mengelola bisnis, layanan dan operasional serta peran sebagai konsultan finansial nasabah harus dapat terus berjalan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Seperti kondisi sekarang, restrukturisasi kredit pun sudah berjalan 30% dari total kredit, tercatat pula pada OJK saat ini terdapat 5,94 juta debitur dengan nilai restrukturisasi sebesar Rp 609,07 T, kondisi ini akan mempengaruhi kinerja bank pada kuartal kedua dan ketiga, untuk itu bank harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Bank juga harus memperhatikan arus kas serta profitabilitas supaya lebih tinggi dari cost yang dikeluarkan, jika tidak modal bank akan tergerus.
ADVERTISEMENT
Diharapkan juga agar bank-bank yang masih bertahan saat ini, tidak akan mengalami apa yang terjadi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank ber-aset kecil yang lebih merasakan dampak akibat adanya pelonggaran kredit tersebut, bahkan dua tahun terakhir sebelum covid 19 terjadi pertumbuhan perbankan cenderung melambat, terutama pada BPR, kondisi ini akan lebih jauh ke bawah ketika pandemi semakin merebak. Ini karena BPR dan bank-bank ber-aset kecil memiliki keterbatasan dalam mendiversifikasi asetnya sementara masalah likuiditas terus menekan akibat tidak ada pemasukan utama berupa angsuran kredit dan nasabah yang menyimpan cenderung mengambil dananya, ditambah pula adanya risiko kredit berupa moral hazzard, dimana nasabah yang sebenarnya tidak terdampak enggan untuk membayar kredit akibat adanya kebijakan relaksasi tersebut, seperti yang disampaikan LPS, wabah covid-19 menjadikan banyak status BPR gagal dan apabila kerugian menyangkut BPR, kerugiannya cukup berat, Capital Adequacy Ratio bisa sampai minus 200 persen hingga 300 persen
ADVERTISEMENT
Untuk menghadapi dampak negatif dari relaksasi kredit pada bank perkeditan dan bank-bank kecit tersebut, pemerintah perlu memberikan konsep perlindungan dengan mendorong aturan lebih lanjut terkait kompensasi atas menjalankan kebijakan stimulus pemerintah. Disamping itu, new normal yang menjadikan aktivitas ekonomi mulai kembali walaupun pada kenyataanya belum sepenuhnya normal dan membaik seperti sebelum pandemi terjadi , dan hal tersebut berlaku pula pada aktivitas perbankan. Saat ini, beberapa bank utamanya bank-bank besar perlu mulai menigkatkan kinerja dan fungsinya dalam menghadapi fase new normal dengan mulai mengalihkan pada layanan berbasis digital untuk meningatkan performa dalam menunjang aktivitas funding-lending bank, apalagi melihat NPL yang diprediksikan terus meningkat selama masih berlangsungnya wabah covid, maka untuk menjaga ketahanan likuiditas sebaiknya bank tidak terlalu eskpansif menyalurkan kredit dengan menjaga prinsip kehati-hatian, memperhatikan cost dan profitabilitas bank, karena apabila bank gagal maka secara tidak langsung stabilitas ekonomi pun akan ikut terdampak karenanya.
ADVERTISEMENT