Eksistensi JBI Palsu dan Realitas Terabaikan Komunitas Tuli di Indonesia

Athoillah Farhan Abshor
Mahasiswa Aktif Program Studi Sarjana Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
11 Juni 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Athoillah Farhan Abshor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Interaksi menggunakan bahasa isyarat dengan gerak tangan (sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Interaksi menggunakan bahasa isyarat dengan gerak tangan (sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tuli seringkali dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda: klinis dan sosiokultural. Dari perspektif klinis, ketulian dianggap sebagai kondisi medis atau kecacatan yang memerlukan intervensi untuk memulihkan fungsi pendengaran (Junianto dkk., 2014). Namun, dari sudut pandang sosiokultural, Tuli adalah lebih dari sekadar kondisi fisik; ia membentuk identitas dan budayanya sendiri. Dalam komunitas ini, bahasa isyarat memainkan peran sentral sebagai alat komunikasi utama, sekaligus menjadi simbol identitas dan keberagaman budaya mereka (Gumelar dkk., 2018). Meski demikian, hak-hak dan kebutuhan komunitas Tuli sering kali diabaikan, menciptakan hambatan signifikan dalam akses informasi dan partisipasi penuh dalam masyarakat. Peristiwa terbaru mengenai dugaan adanya juru bahasa isyarat (JBI) palsu saat konferensi pers di Polda Jawa Barat menambah catatan kelam bagaimana hak-hak komunitas Tuli masih diabaikan.
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan adanya JBI palsu saat konferensi pers penangkapan Pegi atau Perong terkait kasus pembunuhan Vina Cirebon di Polda Jawa Barat telah memicu kehebohan dan sorotan tajam terhadap bagaimana hak-hak komunitas Tuli seringkali diabaikan. Dugaan ini pertama kali diungkap oleh Azis, seorang juru bahasa isyarat, melalui akun X @pikiping pada 29 Mei 2024.
Cuitan Aziz dalam Aplikasi X (sumber: x.com)
Azis menyatakan bahwa gerakan yang digunakan oleh JBI tersebut tidak sesuai dan tertinggal dari kalimat yang disampaikan pihak kepolisian. Keprihatinan ini juga disuarakan oleh Asosiasi Juru Bahasa Isyarat Indonesia (AJBII) yang menilai interpretasi yang dilakukan JBI tersebut aneh dan tidak jelas, sehingga komunitas Tuli tidak mendapatkan informasi yang akurat.
Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bagi komunitas Tuli, bahasa isyarat merupakan media utama untuk berkomunikasi dan mengekspresikan identitas mereka. Bahasa isyarat, seperti Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), melibatkan komunikasi manual melalui gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerak bibir (Susanti dkk., 2023). Ini adalah bahasa visual-gestural yang berbeda dari bahasa lisan yang bersifat oral-auditoris.
ADVERTISEMENT
Bahasa isyarat tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya komunitas Tuli. Menurut Rahmawati dkk. (2019), bahasa isyarat mencerminkan budaya Tuli secara keseluruhan, dengan ekspresi wajah dan gerakan tangan sebagai ciri khasnya. Mengabaikan pentingnya JBI yang kompeten sama dengan merendahkan identitas dan hak komunitas Tuli.
Insiden JBI palsu di Polda Jawa Barat mencerminkan bagaimana hak-hak komunitas Tuli seringkali dianggap sepele. Pemilihan JBI yang sembarangan menunjukkan kurangnya perhatian dan pemahaman terhadap pentingnya komunikasi yang akurat bagi komunitas Tuli. JBI bukan hanya penerjemah biasa; mereka adalah penghubung antara komunitas Tuli dan dunia luar, memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat dipahami dengan benar.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa masih banyak pihak yang tidak menyadari atau tidak peduli akan kebutuhan khusus komunitas Tuli. Pendidikan dan pelatihan untuk menjadi JBI tidak boleh dianggap remeh, karena kesalahan dalam interpretasi dapat mengakibatkan kesalahpahaman yang fatal.
ADVERTISEMENT
Penting untuk menekankan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan JBI palsu. Masyarakat perlu didorong untuk selalu mencari sumber informasi yang sah dan terpercaya. Pemerintah dan lembaga terkait harus lebih berhati-hati dalam memilih JBI, memastikan bahwa mereka memiliki kualifikasi yang memadai. Hal ini sangat penting untuk mencegah misinformasi dan memastikan bahwa komunitas Tuli mendapatkan hak mereka untuk mengakses informasi secara tepat dan akurat.
Komunitas Tuli memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya untuk mendapatkan informasi yang benar. Ketika hak-hak ini diabaikan, mereka menjadi rentan terhadap kesalahpahaman dan ketidakadilan. Dalam konteks ini, kasus JBI palsu di Polda Jawa Barat adalah contoh nyata bagaimana ketidakadilan tersebut masih terjadi. Ini adalah tanda bahwa kita sebagai masyarakat masih perlu bekerja keras untuk memastikan inklusivitas dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan bahasa.
ADVERTISEMENT
Keberadaan JBI palsu ini mengungkapkan kenyataan menyedihkan yang kerap dihadapi oleh komunitas Tuli. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan ketidakpedulian sistematis terhadap hak-hak mereka. Ketika sarana komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan malah berfungsi sebagai penghalang, kita harus merenungkan seberapa jauh kita telah mengabaikan hak asasi sesama kita. Mengupayakan keadilan dan hak asasi manusia tidak cukup hanya dalam retorika, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Sudah saatnya kita berhenti menutup mata dan telinga, serta mulai memberikan perhatian yang semestinya kepada mereka yang telah terlalu lama diabaikan. Memastikan bahwa hak-hak komunitas Tuli dihormati dan dipenuhi adalah tanggung jawab bersama, dan kita harus berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan untuk semua kalangan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Aziz. [@pikiping]. 2024, mei 29. Selain keraguan masyarakat atas tertangkapnya pegi atau perong, juga ada keraguan di kemampuan Juru Bahasa Isyarat yg sedang menjurubahasakan di laporan kepolisian - Polda Jawa Barat. Oknum Juru Bahasa Isyarat Palsu tampil di sana. [screenshot IGS AJBII]. [X]. diakses melalui https://x.com/pikiping/status/1795735325874229266?t=34kJR0Dr6WEWprd8GCNV4w&s=19
Gumelar, G., Hafiar, H., & Subekti, P. (2018). BAHASA ISYARAT INDONESIA SEBAGAI BUDAYA TULI MELALUI PEMAKNAAN ANGGOTA GERAKAN UNTUK KESEJAHTERAAN TUNA RUNGU. INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi, 48(1), 65-78. http://dx.doi.org/10.21831/informasi.v48i1.17727
Junianto, H., Maya, M., & Jimmy, R. (2014). GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA DI TEMPAT HIBURAN MALAM DI KOTA MANADO. Jurnal e-Biomedik (eBM), 2(1), 32-34. https://media.neliti.com/media/publications/67571-ID-gangguan-pendengaran-pada-pekerja-di-tem.pdf
Rahmawati, A., Hanny, H., & Siti, K. (2019). POLA KOMUNIKASI KAUM TULI DALAM MEDIA BARU. Jurnal Ilmu Komunikasi KAREBA, 8(2), 231-246. https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/acintya/article/view/5111
ADVERTISEMENT
Susanti, K. N., Asran, D. S., & Prakoso, P. I. (Juni). MULTIPLE EXPOSURE DAN DIGITAL IMAGING SEBAGAI METODE PEMBUATAN PHOTOBOOK BAHASA ISYARAT. Jurnal Penelitian Seni Budaya Asintya, 15(1), 94-101. https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/acintya/article/view/5111