Konten dari Pengguna

Berkontemplasi pada Guru-guru yang Tidak Ada di Sekolah

Atif Kasful Haq
Penulis dan Penerjemah Lepas - Alumnus Sekolah Vokasi, Universitas Sebelas Maret
27 November 2024 7:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atif Kasful Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pavel Danilyuk/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pavel Danilyuk/Pexels
ADVERTISEMENT
Izinkan saya memulai tulisan ini dengan sebuah disclaimer bahwa tak ada niatan mendiskreditkan guru-guru di institusi pendidikan. Adapun pemilihan diksi di dan pembahasan lebih ditujukan sebagai upaya untuk menggambarkan realitas sebagian sisi kehidupan tentang sosok-sosok guru di luar sekolah dan kontemplasi pribadi terhadapnya. Dan, saya tak memungkiri bahwa ada banyak guru sekolah yang juga sukses mewujudkan relasi ideal yang hendak saya bahas di bawah.
ADVERTISEMENT
Ya, yang saya maksud di sini adalah pada kisah sebagian kita yang kemudian justru menemukan sosok-sosok guru di luar pendidikan formal. Seorang teman saya misalnya yang lebih banyak merujuk Cak Nun sebagai guru baginya, lainnya terkadang menunjuk sosok-sosok ustaz atau anggota keluarga di rumah, dan saya sendiri kerap merasa bahwa Pak Fahrudin Faiz adalah sosok paling ideal untuk disebut sebagai guru; walau pengajar Ngaji Filsafat itu mungkin tak tahu menahu tentang saya ini sendiri.
Apakah ini wajar? Saya rasa sangat-sangat wajar, dan justru akan bagus ketika semangat belajar itu justru baru dipantik oleh guru yang ada di luar sekolah itu. Toh, belajar itu sepanjang hayat, dan sudah seharusnya tak terbatas pada tempat.
ADVERTISEMENT

Yang Jadi Pertanyaan

Meski wajar, saya merasa bahwa ini juga menimbulkan pertanyaan seputar relasi antar murid dan guru yang berjalan selama ini di institusi pendidikan. Yakni, jika lantas keseriusan belajar itu baru ada saat dipertemukan oleh guru-guru di luar itu, apakah layak bahwa hubungan selama di sekolah disebut sebagai guru dan murid?
Pun, pertanyaan ini makin menguat di benak saya di momen hari guru ini. Sebutlah salah seorang kawan saya membuat sebuah video TikTok yang kemudian mengulas perayaan “selamat hari guru”. Bahkan menurutnya, kado-kado dan ucapan itu tak ada gunanya ketika perilaku murid di kelas tak mencerminkan perilaku pembelajar; alias lebih banyak tidak memperhatikan pelajaran dari guru, bolos, menyepelekan guru, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Nah, apakah ungkapan si kawan itu tepat? Saya bisa setuju, walau tak sampai tega untuk kemudian melarang hadiah dan ucapan yang telanjur beredar itu. Toh, dalam banyak hal kita memang sekadar seremonial bukan? Ucapan hari guru itu pun bisa saja lebih tepat diterjemahkan ke perilaku FOMO dibanding ungkapan tulus dari hati. Meski sekali lagi, bukan berarti saya melarang kalau mau merayakan 25 November kemarin.

Relasi yang Lebih Sehat

Alur kontemplasi ini pada akhirnya membuat saya berkesimpulan bahwa memang kita perlu melakukan asesmen ulang terhadap relasi guru dan murid pada sistem pendidikan formal selama ini.
Kebetulan juga, belakangan ini kita cukup banyak mempertanyakan tentang kemungkinan relasi yang lebih sehat dari berbagai relasi yang telah eksis di kehidupan kita, sebutlah: orang tua dan anak atau suami dan istri. Jadi, memang sepertinya relasi guru dan murid ini juga sudah waktunya untuk turut ditinjau ulang agar menemukan bentuk paling yang paling baik.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana idealnya? Jawabannya tentu akan banyak dan bervariasi sebetulnya.
Dalam jawaban pribadi, saya sangat suka untuk mengaitkan bahwa idealnya guru dalam kelas adalah mereka yang dapat beretorika dengan baik. Aspek ini penting agar pengajaran di dalam kelas bisa tersampaikan secara optimal. Dalam rangka mencapainya, menurut Aristoteles, ada tiga aspek yang bisa diperhatikan dalam menyampaikan retorika yakni: "ethos", "patos", dan "logos".
Ethos adalah etika dalam berkomunikasi, suatu pengajaran akan efektif ketika guru memiliki kredibilitas dalam dirinya, seorang guru tentu tidak akan didengarkan bila dirinya tak bisa digugu dan ditiru. Logos adalah logika, dalam penafsiran saya: logos ini adalah landasan pemahaman terhadap apa yang hendak disampaikan sehingga penyampaiannya bisa berjalan dengan baik. Dan, Patos yang bisa diterjemahkan sebagai aspek emosi dan dalam ruang kelas ia adalah aspek yang berperan dalam membuat penyampaian jadi lebih meyakinkan karena mampu mempengaruhi sisi emosional para pendengarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks guru-guru di luar sekolah itu, saya pikir teori retorika Aristoteles ini berjalan secara betul pada diri mereka. Bahkan, sekalipun tiga hal tadi lebih menekankan pada aspek komunikasinya, tapi teori ini juga menyatakan bahwa fondasi bicara itu juga dibangun oleh karakter si pendidik. Sebagai contoh, teman saya yang memutuskan mengikuti Cak Nun, memulainya dari pembacaan esai-esai yang ditulis oleh tokoh bernama asli Emha Ainun Nadjib itu, ini selaras pada aspek ethos sebagai kredibilitas pengajarnya.
Bagaimana dengan murid? Nah, murid juga sudah seharusnya dituntut untuk bersikap selayaknya pembelajar (lebih-lebih bagi mereka yang menyandang status “maha” di depannya). Memang benar bahwa murid bukanlah kerbau, tapi ruang kelas juga bukan arena tinju, di mana siswa datang semata untuk berduel keilmuan dengan sang guru. Maka, pembelajar yang ideal adalah mereka yang kemudian memberikan ruang dalam diri untuk menerima pengajaran.
ADVERTISEMENT
Pembelajar yang baik pun sudah seharusnya tidak bersikap apatis. Bila memang tidak ditemukan ilmu dari kehadiran seorang guru di kelas, maka bersikaplah proaktif dalam belajar. Tujuan ruang kelas sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan itu harus dikejar, bukan hanya ditunggu untuk disuapi saja.
Lagi-lagi, ini pula yang saya temukan dalam relasi antar guru dan murid yang kemudian bertumbuh di luar sekolah. Mereka yang mengikut Cak Nun, akan secara aktif bersedia mengikuti maiyah-maiyah, entah itu daring atau secara real time dan kemudian menghadirinya secara serius. Dalam kasus saya, Ngaji Filsafat yang berdurasi 1-2 jam itu juga rela saya dengarkan betul-betul sampai selesai, bahkan seringkali dibarengi dengan mencatat hingga berhalaman-halaman.
Kontemplasi sederhana ini mungkin akan saya tutup dengan mengatakan bahwa pada akhirnya relasi yang sehat antara guru dan murid itu tidak terdefinisi oleh dinding ruang kelas atau nama suatu institusi. Guru adalah pembawa lentera dalam kegelapan dan murid adalah mereka yang berjalan di belakangnya. Pada akhirnya, bukankah pendidikan adalah perjalanan untuk saling menerangi?
ADVERTISEMENT