Konten dari Pengguna

Orang Jahat adalah Mereka yang Merasa Tak Mendapat Tempat

Atif Kasful Haq
Penulis dan Penerjemah Lepas - Alumnus Sekolah Vokasi, Universitas Sebelas Maret
30 Maret 2024 18:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atif Kasful Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perasaan tak mendapat tempat diilustrasikan dengan orang yang menyendiri, tak terlibat dengan interaksi sosial. Sumber foto: Antranias/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Perasaan tak mendapat tempat diilustrasikan dengan orang yang menyendiri, tak terlibat dengan interaksi sosial. Sumber foto: Antranias/Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah pembaca mendengar slogan "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti?" Slogan ini cukup populer kala itu, terutama pasca perilisan film Joker. Walau sebetulnya tak sekalipun film garapan Todd Phillip itu mencantumkan slogan tersebut, tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa kisah sang tokoh utama Arthur Fleck yang mendapat tekanan di hidupnya dan perlahan menjadi sosiopat tergambar lewatnya.
ADVERTISEMENT
Pun begitu, populernya slogan itu juga tak lepas dari banyak orang yang merasa terwakilkan olehnya.
Namun bila kita coba ulik lagi soal orang jahat yang lahir akibat kondisi tertentu, barangkali kita bisa temukan perspektif-perspektif lain. Dan dari sekian banyaknya perspektif itu, saya rasa salah satunya berbunyi “orang jahat adalah mereka yang merasa tak mendapat tempat”.

Kisah Gul’dan dan Takdir yang Tak Tertemukan di Kampung Halamannya

Ketika memikirkan tentang topik ini, ingatan saya secara langsung terlempar kepada sosok Gul’dan, salah satu tokoh antagonis pada alur cerita gim World of Warcraft.
Alkisah, Gul’dan muda adalah sosok yang cacat. Di kampung halamannya, ia kerap kali mendapat perisakan akibat kondisi fisik yang didapatnya. Hingga pada suatu titik, dia mendapat pengusiran dari kampung halamannya. Meski begitu, sebelum pergi, dia mendapat petuah dari seorang penyihir desa yang baik hati untuk menemui para elemen demi memenuhi panggilan takdir sejatinya.
ADVERTISEMENT
Gul’dan meninggalkan kampung halamannya dan selama berbulan-bulan dia hidup dalam kelaparan di tengah padang tandus tanpa kehidupan.
Pada akhirnya, dia tak kuasa lagi menahan penderitaan itu dan teringat akan petuah pencarian takdirnya.
Dicarilah tempat para elemen itu bersemayam dan Gul’dan bersiap menyerahkan segala jiwa dan raganya kepada para elemen. Akan tetapi, bukan belas kasih maupun rahmat yang dia terima, melainkan penolakan. Para elemen tak menerima dirinya.
Gul’dan frustasi dan dalam keadaan penuh kekecewaan itu, datanglah bisikan kegelapan dari raja Iblis Kil’jaeden yang menawarkan kekuatan kepadanya.
Gul’dan kembali ke kampung halamannya untuk menemukan penolakan kedua kalinya. Namun kali ini, dia tidak pulang untuk orang-orang yang dikenalnya sejak belia dan ia berteriak, berdeklarasi bahwa dirinya tidak pernah mempunyai kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Kisah selanjutnya adalah pembantaian besar-besaran yang dilanjutkan dengan perjalanan Gul’dan yang banyak berperan besar sebagai salah satu penjahat besar pada alur gim Warcraft itu sendiri.
Gul’dan adalah sosok jahat yang tak mendapat tempat di pihak yang baik dan kegelapan adalah tempatnya diterima.

Kisah Lain dari Mereka yang Merasa Tak Mendapat Tempat

Drama penolakan Gul’dan adalah fiksi, tentu saja. Namun layaknya ungkapan Karlina Supelli bahwa “imajinasi ini (fiksi) membantu kita untuk memahami dunia yang begitu carut-marut”. Pun nyatanya di dunia non-fiksi kita ini saja, kita bisa temukan contoh yang serupa.
Yang paling tenar barangkali adalah cerita Hitler yang ditolak hingga dua kali ketika mendaftar kuliah seni. Adolf Hitler lantas tidak menemukan tempat di dunia para seniman dan bisa dikatakan menemukan paradigma ekstremnya di tempat lain.
ADVERTISEMENT
Contoh lain yang kini masih terjadi dan dapat kita temukan adalah fenomena “hikikomori”.
Hikikomori adalah fenomena yang tengah terjadi di Jepang, tentang orang-orang berusia awal dewasa yang menarik diri dari masyarakat dan mengurung diri mereka di rumah.
Fenomena ini telah terjadi dalam skala yang besar, serta telah menarik pihak pemerintah Jepang beserta Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan dengan menerbitkan pedoman tentang hikikomori pada tahun 2003 lalu.
Ada banyak faktor yang memengaruhi seorang individu melakukan hikikomori. Namun bila dilihat dari sebab-sebab seputar tekanan masyarakat; perasaan tak mampu bersaing di masyarakat; hingga ke perilaku isolasi itu sendiri, ada benang merah yang menunjukkan bahwa perasaan tak mendapat tempat di alur kehidupan masyarakat bisa jadi salah satu penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun diperkuat dengan penelitian dari Takahiro Kato bersama koleganya pada tahun 2019. Tertulis pada bagian yang mencoba mengupas ketersinggungan antara hikikomori dan faktor lain, ada dua hal yang setidaknya mewakilkan interaksi sosial itu sendiri: gangguan kecemasan sosial dan kondisi serupa yang disebabkan karena interaksi sosial. Lebih lanjut, disebutkan bahwa ada keyakinan lain juga bahwa bisa jadi perilaku isolasi itu sendiri adalah bentuk coping mechanism, pelarian atas interaksi dan tekanan sosial.
Tetapi Tidak Serta Merta Harus Menjadi Jahat
Saya percaya bahwa pada akhirnya fenomena ini pun mungkin pernah menimpa sebagian dari kita. Meskipun, saya yakin bahwa tidak ada dari kita yang berakhir seekstrem Gul’dan maupun Hitler (semoga saja). Bahkan bila perilaku hikikomori, maupun yang serupa, dijadikan contoh perilaku yang jahat juga rasanya masih relatif, meski sepertinya dengan kultur sosial kita yang kerap meneriakkan ungkapan semacam "ra srawung, rabimu suwung", hikikomori mungkin jadi kejahatan sosial absolut atas dasar konsensus masyarakat. Tetapi, itu persoalan lain.
ADVERTISEMENT
Yang tidak relatif adalah bagaimana hal ini memang seharusnya tidak terjadi. Sebab perasaan tak terkoneksi dengan orang lain adalah hal yang tak nyaman, bahkan cenderung menyakitkan, lebih-lebih bila itu adalah lingkungan yang awalnya kita pikir akan jadi tempat bernaung.
Dalam teori hierarki kebutuhan yang dicetuskan Maslow, dinyatakan bahwa sejatinya manusia memiliki sejumlah kebutuhan hidup yang antara lain adalah: fisiologis, rasa aman, penghargaan, aktualisasi diri, dan tak kalah penting adalah sosial.
Sosial sendiri dalam teori segitiga Maslow merujuk pada rasa kasih sayang, dalam konteks ini bisa kita sebut sebagai penerimaan, dari lingkungan sosial itu sendiri. Keyakinan akan penerimaan ini pula lah yang akan membuat seseorang merasa berharga, bahwa dirinya dibutuhkan oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Maka bila persepsi si individu itu sendiri merasa bahwa dirinya tidak diterima, dapat dikatakan bahwa akan ada perasaan kebutuhan hidupnya belum lengkap.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah soal kesadaran.
Apakah lingkungan kita sudah inklusif dan tidak memberi "sekat tinggi" kepada orang lain? Layaknya kasus hikikomori, "sekat tinggi" ini mungkin terwujud dalam bentuk tuntutan masyarakat atau memang ke artian yang lebih dekat secara literal seperti upaya pembatasan kepada individu tertentu dalam mendapat tempat.
Pun ini ditujukan kepada mereka merasa yang tak mendapat tempat. Apakah perasaan itu sudah sepenuhnya tepat? Bisa saja tidak. Selain itu, bisa saja ada kemungkinan lain seperti faktor psikologis semacam gangguan kecemasan berlebih yang sudah seharusnya tertangani dengan bantuan profesional.
ADVERTISEMENT
Andaipun memang perasaan itu tervalidasi, dan kemungkinan itu bisa saja ada mengingat kehidupan kadangkala bisa jadi kejam, mungkin "hijrah" adalah jalan terbaik. Pergi ke tempat atau orang lain dan carilah tempat yang lebih pantas.
Semoga saja itu jadi tempat terbaik dan yang baik.