Konten dari Pengguna

Pondok Pesantren Modern dan Tradisional, Terkesan Sama tapi Wajib Dibedakan

Atif Kasful Haq
Penulis dan Penerjemah Lepas - Alumnus Sekolah Vokasi, Universitas Sebelas Maret
20 Mei 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atif Kasful Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Santri pondok pesantren tengah mengikuti kegiatan pendidikan. Sumber foto: Muhammad Adil/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Santri pondok pesantren tengah mengikuti kegiatan pendidikan. Sumber foto: Muhammad Adil/Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Saya merupakan seorang santri di pondok pesantren”, kata-kata itu tertanam dalam kepala saya selama tiga tahun dan kerap kali menjadi jawaban bila berhadapan dengan pertanyaan seputar status pendidikan.
ADVERTISEMENT
Namun, kata-kata yang seharusnya kemudian bertransformasi menjadi “sudah pernah menjadi santri” ketika tiga tahun itu telah usai, justru berangsur kehilangan pegangan. Kalau ditanya kenapa, jawabannya adalah karena saya akhirnya sadar bahwa selama ini saya tidak benar-benar ada di lingkungan pondok pesantren yang dipahami orang-orang. Lebih tepatnya, saya waktu itu berada di lingkungan islamic boarding school alias pesantren khalaf atau sebut saja pondok modern, sedangkan banyak yang mengira saya berada di pesantren salaf (tidak untuk disamakan dengan istilah salafi) alias tradisional.
Perbedaan ini acapkali diremehkan dan orang-orang banyak menggeneralisir bahwa pokoknya semua lingkungan pendidikan yang pakai sistem 24 jam aktivitas Islami, ada ustaz, ada ngaji = pondok. Toh, bukannya output nya sama-sama anak soleh yang bisa ngaji? Welah, kok ya seenak jidat membuat indeks kelayakan sebutan pesantren seenteng ini. Percayalah, justru kami para so-called santri yang akhirnya sering hah-hoh-hah-hoh karena generalisasi ini.
ADVERTISEMENT
Menggali Definisi
Dalam dunia lembaga pendidikan Indonesia ada dua perbedaan jenis sekolah konvensional, yakni: swasta dan negeri. Keduanya memiliki sejumlah perbedaan, dari kepemilikan sekolah swasta yang dimiliki perorangan atau yayasan, alih-alih pemerintah; dana sekolah negeri yang lebih banyak bertumpu dari pemerintah, sedangkan sekolah swasta kerap identik dengan pungutan biaya pendidikan atau bantuan dari yayasan terkait; dan tentu pada perkara pengajaran sekolah swasta yang banyak dinilai lebih dinamis dibanding sekolah negeri.
Namun apa pun itu, tumpuan materi antar keduanya sebenarnya sama, mata pelajaran dasar seperti matematika; bahasa; maupun ilmu alam. Oleh sebab itu, bila murid swasta dan negeri dipertemukan, keduanya masih bisa saling nyambung.
Hal ini yang lebih sulit ditemui antara santri pondok tradisional, modern, mau pun versi ketiganya yang lebih diplomatis: konvergensi tradisional dan modern. Sebab antara ke(dua)tiganya punya perbedaan yang amatlah banyak, bahkan hingga level prinsipil.
ADVERTISEMENT
Mari kita mulai dari pesantren modern. Biasanya lembaga ini punya sasaran untuk membuat santrinya menjadi unggul baik dalam mata pelajaran umum dan pendidikan agama, dalam kata lain untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Namun, dengan fokus yang terlalu luas, tentu akan ada yang dikorbankan dan itu adalah pendidikan agama.
Mengorbankan di sini bukan berarti tanpa pengajaran ilmu agama. Hanya saja, pendekatan yang dilakukan pada akhirnya tidak begitu “menggali hingga ke akar”. Memang ada upaya untuk melakukan pengkajian pada alquran dan hadis, selaku pedoman bagi umat Islam, tapi praktek di dalamnya cenderung lebih banyak berpatokan pada terjemahan kosa kata bahasa arab. Beberapa juga ada yang turut mengulas tafsir, tapi tidak semuanya. Sisanya yang lain kerap kali sebatas bergantung pada buku-buku mata pelajaran agama.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pesantren tradisional? Dari pengalaman pribadi dan sebuah obrolan dengan kolega yang sudah kenal betul dengan dunia pesantren salaf, dapat dikatakan bahwa sudah barang tentu pesantren tradisional menjadikan materi agama sebagai fokus utama. Berbagai lini dari alquran, hadis, hingga bahasa Arab pun coba digali, dibarengi dengan sumber langsung dari kitab-kitab yang telah melalui perantara keilmuan para sayyid, syekh, maupun para sahabat nabi dengan memaknai tiap lafal arab di dalamnya. Berbagai praktek maupun istilah dalam ruang lingkup pendidikan agama Islam juga banyak ditemui disini, sebut saja pengajaran tarekat, selawat, bancakan, semakan, suluk, dan lain-lain. Pendidikan konvensional pun tidak menjadi “sajian utama” di dalamnya dan proses menimba ilmu cenderung tak dibatasi oleh jenjang waktu tertentu, bahkan bisa hingga seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Satu lagi yakni tipe ketiga, konvergensi, yang coba memadukan antara pondok modern dan tradisional. Beberapa unsur-unsur yang melekat pada pondok tradisional bisa ditemukan di dalamnya, meski tak begitu saklek. Bersama dengan itu, juga ada kecenderungan untuk mengikuti kurikulum yang lebih modern.
Beda Isi, Perlakuan Sama
Yang jadi masalah kemudian ada pada interaksi di lingkungan luar. Orang-orang bisa salah persepsi akibat generalisasi ini.
Misal, ketika di satu waktu saya pernah ditanya oleh salah seorang kerabat, “sudah tamat kitab apa saja kamu?”. Dengan pengalaman membaca kitab kuning nyaris nol, saya pun tidak bisa memberi jawaban seperti yang diharapkan.
Contoh lain yang lebih parah adalah ketika angkatan saya sewaktu lulus dari pondok sempat diberi pembekalan agar bisa berdakwah di masyarakat. Dengan pengetahuan dunia luar yang sempit, banyak dari kami sempat berusaha tampil ala-ala pemuda hijrah yang paham agama. Tahu-tahu pertanyaan agama di luar sana sana malah begitu rumit dan akhirnya saya justru malu sendiri karena seringkali tidak bisa menjawab.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang mungkin bisa dijadikan irisan antara santri pesantren modern dan tradisional adalah perihal pengajaran alquran. Sebodoh-bodohnya santri di pesantren, seharusnya mereka bisa membaca baris huruf hijaiyah berharokat dan didorong untuk banyak membaca alquran serta menghafalkan doa serta mengamalkan kehidupan wajib sehari-hari seorang muslim. Selain itu, saya pikir keduanya juga akan menemui kemiripan dalam pengalaman khas sehari-hari di lingkungan 24/7 itu.
Namun kembali lagi, tetap saja ada satu-dua hal yang berbeda yang perlu diidentifikasi. Seperti meskipun kami mengerti cara baca alquran, tetap ada beberapa istilah; cara baca; atau pilihan doa yang membuat kami kembali hah-hoh-hah-hoh. Sebagai contoh, saya diajarkan bahwa bahasa arab dari membaca alquran itu adalah "tilawah", ternyata begitu sampai di luar, istilah yang lebih populer adalah "tadarus", sementara tilawah sendiri lebih merujuk pada cara baca dengan lagu.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, teman saya yang merupakan santri pesantren tradisional diminta untuk membaca al-ma’tsurat yang merupakan kumpulan doa rangkuman Hasan Al-Banna, tokoh Ikhwanul Muslimin yang lebih akrab di kalangan pesantren modern berbasis islam terpadu. Begitu dibaca, dia pun sedikit terbata-bata karena tidak begitu hafal.
Belum lagi pada masalah praktek fiqih yang tiap pesantren tentu memiliki preferensinya tersendiri, kalau belum mengerti masalah khilafiyah, si santri hanya akan mampu bergumam “di pondok tidak begitu”.
Penting untuk Tahu
“Mau kumasukan ke pondok biar jadi anak yang soleh,” ujar kerabat saya dengan tawa setelahnya.
Dialog di atas disampaikan pada Idul Fitri kemarin dan barangkali itu adalah anekdot semata. Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa lebih banyak orang di luar sana yang menjadikannya sebagai keseriusan.
ADVERTISEMENT
Saya rasa pada akhirnya yang saya sampaikan pada tulisan ini penting diketahui, lebih-lebih kepada para orang tua yang masih berpikir seperti itu. Dibanding menjadikan niat memasukkan pondok sebagai upaya oportunis untuk diri sendiri, lebih baik untuk mengembalikannya kepada hakikat sebuah lembaga pembelajaran: wadah mencari ilmu bagi si anak itu sendiri.
Dan tentunya wadah mencari ilmu itu memiliki kecocokannya tersendiri. Tinggal sesuaikan, di antara modern; tradisional; dan yang campuran, manakah paling cocok buat si calon santri?