Menyiasati Naik Turun Emosi saat Hamil Muda

Konten dari Pengguna
10 September 2018 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atik Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Atik Mutaqqin dan Si Kecil (Foto: Atik Mutaqqin)
zoom-in-whitePerbesar
Atik Mutaqqin dan Si Kecil (Foto: Atik Mutaqqin)
ADVERTISEMENT
Saya Atik Muttaqin, tahun ini saya berumur 31 tahun pada 29 September mendatang. Saat ini saya menjalani peran saya sebagai ibu rumah tangga sambil menjadi mom blogger. Bagi saya menulis merupakan terapi batin bagi saya ditengah kesibukan dunia domestik yang tiada henti.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya saya menikah di usia yang sudah cukup senja untuk ukuran gadis yang tinggal di daerah kampung. Saya menikah di usia 28 tahun. Usia yang cukup matang bagi seorang perempuan untuk menikah.
Namun ternyata kematangan usia, tak menentukan kesiapan menjadi seorang ibu. Menikah di Desember tahun 2014, dan dinyatakan hamil di bulan Maret tahun 2015. Kegagetan demi kekagetan muncul pasca menikah, termasuk kekagetan bahwa saya hamil setelah 3 bulan menikah tersebut.
Pada Maret 2015 saya dinyatakan hamil oleh dokter kandungan saya, padahal baru saja saya mendapatkan letter of acceptance (surat penerimaan) dari kampus impian saya. Saya begitu kaget, antara bahagia dan sedih.
Bagaimana tidak, sebelum berkenalan dengan suami dan melanjutkan ke jenjang pernikahan dalam tempo 3 bulan setelah kenal, saya mengajukan syarat untuk sekolah lagi sebelum punya anak. Syarat itu disetujui oleh calon suami kala itu. Hingga pada akhirnya kami diberi amanah anak begitu cepat setelah menikah. Kaget bahagia sedih kecewa semua jadi satu. Hal ini tentu berefek pada kondisi emosi saya.
ADVERTISEMENT
Terjangkit syndrom PPDL
Ilustrasi Ibu hamil depresi (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu hamil depresi (Foto: Thinkstock)
Akibat perasaan semacam ketidaksiapan menjadi ibu, ditambah bayang bayang kerepotan yang akan saya hadapi dan mimpi untuk sekolah lagi yang rasanya kandas ditengah jalan, membuat saya terjangkit depresi bahkan sebelum saya melahirkan.
Saya tidak bisa tidur, selalu mual muntah tiap dimasuki makanan. Saya benar benar stress. Ditambah dengan saya yang resign dari pekerjaan saya sehingga rasa kesepian dan depresi semakin tinggi saya rasakan. Suami yang kebetulan dinas di luar Jawa juga menambah beban depresi saya karena tidak setiap hari saya bisa bertemu dan berkeluh kesah dengannya.
Keluarga mengupayakan segala cara, termasuk mendatangkan psikolog, psikiater, hingga ustaz ke rumah untuk terapi saya. Kalau banyak dikenal dengan syndrom postpartum depression loneliness, maka saya tidak hanya mengalami postpartum (setelah melahirkan), bahkan sebelum melahirkan (prapartum) saya sudah stress duluan.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri mengistilahkan dengan syndrom pra and postpartum depression loneliness. Ini murni sebutan saya sendiri yang menggambarkan betapa emosi saya sangat tidak stabil kala itu.
Saya kemudian menjadi takut bertemu orang dan ketika bertemu orang, saya berbicara meracau dan mengeluh tiada henti. Saya begitu saja mogok kerja dan takut ke kantor hingga akhirnya saya berhenti bekerja.
Sampai manajer kantor datang ke rumah. Pikiran saya kalut dan kacau, saya benar benar mengalami stress berkepanjangan hingga berujung pada depresi akut. Lebih parah lagi karena di Jawa banyak sekali pamali untuk orang hamil, sehingga saya merasa makin stress dirumah.
Saat itu, dipikiran saya hanyalah ingin sekolah dulu baru jadi ibu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Saat itu, saya benar benar takut menjadi ibu.
ADVERTISEMENT
Support keluarga begitu berarti
Ibu hamil dan suami. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu hamil dan suami. (Foto: Thinkstock)
Saat hamil dan kondisi emosi saya yang tidak stabil, support keluarga terutama suami sangatlah penting. Suami kemudian sebulan sekali pulang ke Jawa untuk support saya. Keluarga juga makin dekat dan memberi dukungan luar biasa.
Saya yang malas sekali makan karena selalu muntah, selalu dibuatkan bubur dengan telaten oleh ibu saya. Kakak saya pun selalu membawakan susu Anmum Materna rasa coklat bagi saya untuk memberi asupan gizi pada saya dan adik bayi.
Suami juga selalu membelikan makanan dan minuman yang saya inginkan termasuk membelikan es krim agar berat badan saya dan adik bayi bertambah kala itu. Bahkan mertua rutin membelikan buah-buahan untuk saya.
Selain itu, saya juga diterapi oleh psikiater dengan menggambar dan mewarnai, diajak mengobrol setiap hari, melepaskan emosi, latihan pernafasan dengan menarik dan membuang nafas perlahan, hingga diajak jalan-jalan sejenak untuk menghilangkan rasa tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Memang saat stress menghadapi perubahan emosi saat hamil kita harus menemukan support system yang baik, agar emosi kita terkendali.
Belajar dari masa lalu
Ilustrasi ibu hamil yoga.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu hamil yoga. (Foto: Thinkstock)
Alhamdulillah kini saya hamil anak kedua. Usia kandungan saya saat ini memasuki 8 minggu. Usia yang masih sangat muda. Memasuki trimester pertama ini, saya tidak mau seperti dulu lagi yang sampai depresi.
Saya harus membuat diri saya enjoy dengan kehamilan ini dan merasa bahagia. Meletakkan mimpi mimpi saya sejenak, menerima dengan sepenuh hati amanah serta peran baru ini, menikmati setiap detik proses kehamilan yang saya jalani, menyibukkan diri ikut kegiatan sosial maupun komunitas, dan lebih banyak menulis untuk menyalurkan hobi guna menjaga kewarasan. Kini, saya mencoba untuk lebih positif dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Saat diperiksa oleh dokter kandungan, beliau menyarankan saya untuk minum vitamin, asam folat, rutin minum susu hamil dan menjaga kesehatan jiwa dan raga. Kini, saya lebih aktif untuk menekuni hobi saya, yakni menulis, berorganisasi, dan aktif di kegiatan sosial.
Bagi saya, menulis dan berkegiatan sosial adalah sarana aktualisasi diri dan healing theraphy yang ampuh bagi saya pribadi. Menulis khususnya, tak hanya membuat lega, tapi juga bisa menambah penghasilan saya sembari tetap bisa momong anak dengan baik di rumah.
Suami memang menyuruh saya untuk tidak bekerja di ranah publik sementara waktu, agar saya bisa fokus mengurus anak dan suami. Dengan menjadi mom blogger, suami merasa rela, sayapun bahagia. Menulis dan berkegiatan sosial bagi saya menjadi cara ampuh untuk mensiasati gejolak emosi yang mudah berubah di trimester awal ini.
ADVERTISEMENT
Cara siasati perubahan emosi di kala hamil muda
Ibu hamil.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu hamil. (Foto: Thinkstock)
Selain menulis, ada beberapa cara untuk menyiasati perubahan emosi yang kini juga saya lakukan, di antaranya:
Mengisi waktu luang dengan hal yang menyenangkan. Misalnya, menanam bunga, ikut kegiatan volunteer, ikut lomba menulis, mengambil peran yang sesuai dalam sebuah organisasi, dan lain lain.
Itu tadi bunda cerita saya mengenai perubahan emosi saat saya hamil dulu dan kini. Story ini berdasarkan pada pengalaman pribadi saya, bunda bisa konsultasikan ke dokter untuk keterangan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Buat bunda yang lain, yang merasakan perubahan emosi yang luar biasa, jangan segan ya untuk menemui dan berkonsultasi dengan dokter atau ahlinya. Jangan pendam sendiri perasaan tidak nyaman itu, agar diri bunda dan adik bayi sehat lahir dan batin.
Story ini berdasarkan pengalaman pribadi Ibu, konsultasikan ke dokter untuk keterangan lebih lanjut.