Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Nikah Bathin ala Walid: Jalan Cinta atau Perangkap Sunyi bagi Perempuan
6 Mei 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Atika Agustina Tarik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di antara gemuruh modernitas dan formalitas kehidupan pernikahan, terdapat sebuah narasi spiritual yang mengendap dalam ruang sunyi: nikah bathin. Sebuah konsep yang menekankan pada ikatan batin dan ruhani antara dua insan, tanpa melibatkan negara atau bahkan institusi agama secara formal. Dalam perspektif Walid, tokoh spiritual dalam film Bidaah yang memandang cinta sebagai penyatuan jiwa. Namun, di balik keindahan bahasa batiniah yang ditawarkan, muncul sebuah pertanyaan kritis: apakah perempuan mendapatkan kebebasan dalam bentuk cinta ini, atau justru terjerat dalam perangkap sunyi yang tak terlihat?
ADVERTISEMENT
Walid dan Cinta yang Transendental
Walid, dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai representasi tokoh yang memaknai cinta sebagai pengalaman metafisis. Baginya, pertemuan dua jiwa bukanlah sesuatu yang membutuhkan pengakuan administratif. Nikah bathin adalah jalan cinta yang murni, tidak tercemar oleh tuntutan duniawi seperti mahar, wali, atau akta nikah. Ia percaya bahwa Tuhan melihat hati, bukan dokumen. Dalam pemikiran Walid, cinta adalah ibadah yang tak perlu diumumkan, cukup dijaga dalam kesunyian dan pengabdian batiniah. Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”. Adapun dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ
ADVERTISEMENT
“Umumkanlah pernikahan.” (HR. Ahmad 26: 53)
Namun ketika kita mengamati lebih dalam, ketidaksesuaian antara konsep nikah bathin ala Walid dengan syariat bukan hanya soal perbedaan sudut pandang spiritual dan hukum, melainkan juga soal bagaimana keberadaan perempuan diposisikan dalam relasi tersebut. Dalam pernikahan yang tidak diumumkan, tanpa wali, mahar, ataupun pencatatan, perempuan nyaris kehilangan segala bentuk perlindungan yang semestinya ia peroleh dari pernikahan dalam Islam. Cinta yang hanya hidup dalam kesunyian batin itu, bisa berubah menjadi bentuk penghapusan eksistensi perempuan secara sosial.
Dalam kerangka syariat Islam, keberadaan perempuan dalam pernikahan sangat diperhatikan, bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai subjek utuh yang memiliki hak-haknya secara lahir dan batin. Hadis Nabi yang memerintahkan agar pernikahan diumumkan bukanlah sekadar ritual simbolik, melainkan bentuk perlindungan terhadap hak-hak perempuan agar ia tidak menjadi “perempuan bayangan” yang disembunyikan dari ruang sosial. Dalam masyarakat, perempuan yang menikah secara diam-diam tidak diakui sebagai istri, dan karenanya mudah diabaikan, ditinggalkan, atau bahkan disangkal oleh pasangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika cinta hanya hidup dalam ruang batin, tanpa pengakuan lahiriah, maka perempuan menjadi entitas yang tidak dilihat. Ia ada, tapi tak diakui. Ia mencintai, tapi tidak dilindungi. Di sinilah letak kerentanannya. Perempuan sering kali dituntut untuk mencintai dalam kesunyian, mengikhlaskan segalanya demi narasi cinta suci, padahal yang ia butuhkan bukan hanya pengakuan dari Tuhan, tetapi juga dari masyarakat dan negara yang menjamin hak-haknya.
Keikhlasan atau Keterpaksaan dalam Nikah Bathin: Sebuah Paradoks
Dalam praktik nikah bathin, perempuan sering kali dihadapkan pada dilema antara keikhlasan dan keterpaksaan. Sebagian perempuan mungkin menerima kondisi ini dengan lapang dada, dengan anggapan bahwa cinta spiritual yang mereka jalani lebih suci dan tidak terikat oleh urusan duniawi. Mereka menganggap bahwa hubungan ini adalah bentuk pengorbanan untuk mencapai kedamaian batin dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua perempuan berada dalam posisi yang bebas memilih. Banyak dari mereka yang merasa terjebak dalam hubungan tersebut karena keterbatasan sosial atau ekonomi, rasa takut kehilangan pasangan, atau ketidakmampuan untuk menuntut hak-haknya secara hukum.
ADVERTISEMENT
Keikhlasan yang dipersepsikan sebagai bentuk pengorbanan dan ketulusan sering kali menjadi pembungkus dari kenyataan yang lebih pahit: ketidakadilan dan ketimpangan kekuasaan dalam hubungan tersebut. Tanpa adanya perlindungan hukum atau pengakuan sosial, perempuan dalam nikah bathin rentan terhadap ketidakpastian masa depan. Mereka tidak bisa menuntut nafkah, hak-hak keadilan, atau bahkan perlindungan jika hubungan berakhir sepihak. Dalam konteks ini, keikhlasan yang mereka tunjukkan bukanlah pilihan yang sepenuhnya bebas, tetapi lebih kepada bentuk keterpaksaan yang dibalut dengan narasi spiritual. Sebagai akibatnya, perempuan sering kali harus menanggung beban emosional dan psikologis yang berat, yang tidak dapat dilihat dari luar tetapi terus menggerogoti kesejahteraan mereka.
Antara Jalan Cinta dan Perangkap Sunyi
Nikah bathin, meskipun sering dilihat sebagai ikatan spiritual yang penuh makna, menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan di sisi hukum. Negara tidak mengakui nikah bathin sebagai pernikahan resmi, yang berarti perempuan yang terlibat dalam hubungan ini tidak memiliki status hukum sebagai istri. Tanpa adanya pengakuan hukum, perempuan tidak bisa menuntut hak-hak seperti nafkah, warisan, atau pengakuan anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut. Ini menjadikan perempuan tidak hanya kehilangan perlindungan hukum, tetapi juga menjadi sangat rentan dalam menghadapi kemungkinan perpisahan atau ketidakadilan dalam hubungan.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan sosial dan hukum muncul dengan jelas, terutama dalam masyarakat yang masih didominasi oleh norma patriarkal. Tanpa adanya jalan untuk menuntut hak atau mendapatkan perlindungan, perempuan dalam nikah bathin sering kali terjebak dalam hubungan yang tidak setara, di mana cinta dan pengorbanan mereka tidak diimbangi dengan keadilan sosial atau ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertanyakan apakah keputusan perempuan untuk terlibat dalam nikah bathin benar-benar didasarkan pada kebebasan memilih, atau apakah lebih banyak dipengaruhi oleh ketidaktahuan, tekanan sosial, atau ketimpangan relasi yang ada. Dalam konteks ini, kehadiran hukum yang memberikan perlindungan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap hubungan cinta dapat berjalan dalam ruang yang aman dan adil, bukan hanya di dunia spiritual, tetapi juga dalam tatanan sosial dan legal.
ADVERTISEMENT