Konten dari Pengguna

Saweran Dalam Tradisi Tedhak Siten: Ungkapan Rasa Syukur Atau Penghamburan Uang?

Atika Devi Oktaviona
Mahasiswi UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
16 Oktober 2024 7:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atika Devi Oktaviona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tedhak Siten adalah tradisi yang kaya makna dalam budaya Jawa, terutama di Pekalongan, yang merayakan momen penting ketika seorang anak mulai belajar berjalan atau saat sang anak menginjak usia tujuh bulan. Di dalam pelaksanaannya, salah satu elemen yang menarik perhatian adalah proses penyebaran uang (saweran). Namun, banyak yang bertanya-tanya, “Apakah tindakan ini merupakan ungkapan rasa syukur atau justru penghamburan uang? Artikel ini akan membahas berbagai aspek terkait saweran dalam tradisi Tedhak Siten.
Gambar diambil oleh Atika Devi Oktaviona
Sejarah dan Asal Usul Tedhak Siten
ADVERTISEMENT
Tedhak Siten sendiri merupakan budaya yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk bayi yang berusia tujuh bulan. Dalam bahasa Jawa “Tedhak” berarti “turun” sedangkan “Siten” artinya “tanah”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tedhak Siten berarti menapakkan kaki di atas tanah.
Sebagai sebuah tradisi, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali melaksanakan tradisi ini. Namun, Para leluhur menganggap bahwa Tedhak Siten merupakan simbol penghormatan kepada bumi tempat sang anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah dengan iringan doa dari orang tua dan para sesepuh. Tedhak Siten juga merupakan simbol pengharapan orang tua agar buah hatinya kelak siap dan sukses menjalani kehidupan yang penuh dengan ringan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Proses Pelaksanaan Tedhak Siten
Proses pelaksanaan Tedhak Siten melibatkan beberapa langkah sakral yang kaya makna dan simbolisme.
a. Persiapan Acara dan Perlengkapan
Sebelum pelaksanaan, keluarga akan mempersiapkan berbagai perlengkapan seperti, sesaji, tumpeng, tangga yang terbuat dari tebu dan pisang, kue tradisional, tampah, dan kurungan ayam. Jika di daerah Pekalongan kue tradisoinal yang dimaksud yakni kue cadil.
b. Ritual Naik Gunung dan Turun Gunung
Pada hari pelaksanaan, sang anak akan diajak naik dan turun gunung menggunakan tangga pisang dan tebu. Gunung yang dimaksud yakni berupa tumpeng nasi dan juga lauk pauk. Di dalam ritual ini melambangkan perjalanan hidup yang penuh tantangan, dimana anak belajar mengatasi rintangan untuk mencapai tujuannya hingga puncak.
ADVERTISEMENT
c. Pengambilan Barang di Atas Tampah
Setelah ritual naik dan turun gunung, sang anak akan diarahkan untuk mengambil berbagai barang yang diletakkan di atas tampah. Barang-barang tersebut biasanya berupa mainan, uang, perhiasan, hasil pertanian, cermin, alat tulis, dan makanan kecil. Dalam proses ini melambangkan bahwa barang yang dipilih merupakan gambaran masa depan si anak kelak.
d. Saweran
Setelah ritual pengambilan barang, momen saweran pun dimulai. Uang koin akan disebar di sekitar lokasi acara. Para tamu dan anak-anak akan berebut mengambil uang tersebut, menciptakan suasana ceria dan penuh kebahagiaan. Saweran di sini bukan hanya sekadar memberi, tetapi juga menjadi simbol berbagi rezeki dan harapan untuk masa depan anak. Uang yang diambil diharapkan dapat membawa berkah dan keberuntungan, serta menandakan dukungan komunitas terhadap pertumbuhan anak.
ADVERTISEMENT
Makna Saweran dalam Tradisi
Saweran dalam tradisi Tedhak Siten bisa ditafsirkan dari dua sudut pandang, yaitu:
Saweran dalam tradisi Tedhak Siten memiliki sejumlah kelebihan bagi beberapa masyarakat.
1. Sebagai Ungkapan Rasa Syukur
Saweran dianggap sebagai ungkapan terimakasih kepada Sang Pencipta atas kelahiran dan kesehatan buah hatinya.
2. Simbol Berkah dan Harapan
Uang yang diberikan diharapkan membawa berkah dan keberuntungan bagi anak di masa depan.
3. Tradisi dan Budaya
Saweran juga merupakan bagian dari pelestarian budaya dan tradisi yang sudah ada sejak lama, menegaskan identitas sosial masyarakat.
Di sisi lain, saweran juga membawa beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan.
1. Pemborosan
Banyak yang berpendapat bahwa saweran bisa menjadi ajang pemborosan, terutama jika diadakan dengan meriah.
ADVERTISEMENT
2. Anggapan Sombong dan Tidak Sopan
Terdapat anggapan bahwa saweran yang berlebihan bisa dipandang sebagai tindakan sombong atau tidak menghargai kesederhanaan. Pelaksanaan saweran dengan cara melemparkan uang juga dianggap tidak sopan karena uang tersebut tidak diberi dengan cara yang baik.
3. FOMO (Fear of Missing Out)
Tekanan sosial untuk mengikuti tradisi saweran dapat membuat orang merasa harus mengeluarkan uang lebih dari yang seharusnya. Serta mereka akan merasa menjadi perbincangan orang sekitar jika dalam tradisi Tedhak Siten tersebut tidak ada prosesi saweran. Hal tersebut membuat mereka yang merayakan merasa saweran adalah hal wajib.
Pandangan Umum
Dalam masyarakat, pandangan terhadap saweran dalam tradisi Tedhak Siten sangat bervariasi, tergantung pada generasi dan pengalaman hidup masing-masing individu.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak orang tua, khususnya lansia, saweran sering kali dianggap sebagai penghamburan uang. Mereka berpendapat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk saweran bisa menjadi beban, terutama bagi keluarga yang tidak mampu ataupun mereka yang sudah tidak lagi mampu lagi untuk mencari uang dikarenakan kondisi fisiknya. Dalam pandangan mereka, uang yang digunakan untuk saweran seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak atau investasi untuk masa depan anak. Lansia sering kali memiliki pengalaman hidup yang membuat mereka lebih menghargai kesederhanaan. Oleh karena itu, mereka cenderung menyarankan alternatif yang lebih bermanfaat daripada mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk saweran yang mungkin hanya bersifat simbolis.
Anak muda sering kali memiliki pandangan yang lebih beragam mengenai saweran dalam tradisi Tedhak Siten. Bagi mereka, saweran bisa dilihat sebagai bentuk perayaan dan ungkapan kebahagiaan. Mereka cenderung memahami pentingnya tradisi dan nilai sosial di balik saweran, melihatnya sebagai cara untuk mempererat hubungan dengan keluarga dan komunitas.
ADVERTISEMENT
Alternatif untuk Saweran
Agar saweran dalam tradisi Tedhak Siten tetap memiliki makna yang positif, kita dapat mengganti hal tersebut dengan menggunakan uang yang disawer untuk kegiatan sosial, seperti menyumbang ke panti asuhan, atau menabung untuk masa depan anak. Atau juga bisa dari pihak keluarga menyisihkan sebagian uang untuk amal atau untuk Pendidikan sang anak, karena dengan cara ini, mereka bisa berbagi kebahagiaan sekaligus memberikan manfaat kepada yang membutuhkan, menciptakan makna yang lebih dalam dari tradisi.
Kesimpulan
Saweran dalam tradisi Tedhak Siten memiliki makna yang kaya, melambangkan rasa syukur dan harapan bagi masa depan anak. Bagi saya, saweran adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dalam tradisi Tedhak Siten. Momen ini memberikan kesempatan bagi keluarga dan kerabat untuk berbagi kebahagiaan dan harapan untuk masa depan anak. Namun, saya juga percaya bahwa penting untuk tidak memaksakan diri jika dana tidak mencukupi.
ADVERTISEMENT
Menghadiri atau merayakan acara seperti ini seharusnya tidak menjadi beban finansial. Lebih baik mengutamakan makna dari kebersamaan dan doa yang tulus daripada berfokus pada jumlah uang yang dikeluarkan. Dengan cara ini, kita tetap bisa menghormati tradisi tanpa merasa tertekan secara ekonomi. Tradisi seharusnya membawa kebahagiaan, bukan beban, dan setiap keluarga harus menemukan cara yang sesuai dengan keadaan mereka.