Konten dari Pengguna

Bu, Sungguh Hebat Dirimu

Atilah Tia Abelta
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta, Program Studi Penerbitan (Jurnalistik)
15 Mei 2020 11:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atilah Tia Abelta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Pinterest
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Pinterest
ADVERTISEMENT
Wanita paling kuat dan paling sabar yang pernah aku kenal selama hidupku adalah ibu. Kasih sayang dan cintanya tidak dapat diukur, dihitung, apalagi digantikan dengan sesuatu yang berharga sekalipun.
ADVERTISEMENT
Ibu rela berada paling depan dan berkorban nyawa untuk melindungiku dari ancaman dan mara bahaya. Ia secara fisik boleh saja terlihat lemah, namun tidak pernah mengucap kata “lelah”. Pekerjaan rumah sebanyak dan seberat apa pun mampu ibu kerjakan dengan tangannya sendiri.
Setiap pagi ibu bangun lebih awal untuk melakukan aktivitas rumah tangga ketika semua orang masih terlelap di atas ranjang. Walau rasa kantuk masih menghinggapi tubuhnya, namun ia tetap melakukan pekerjaan rumah satu per satu dengan ikhlas tanpa merasa terbebani, seperti sebuah kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Namun, aku sebagai anak pernah melakukan kesalahan kepada ibu, kesalahan yang menurutku begitu fatal. Ibu meminta bantuanku untuk mengajarinya menggunakan telepon genggam (android). Aku mengajarinya dengan tidak sabaran hingga kata demi kata ku lontarkan dengan nada tinggi sembari mengajarinya bahkan kata “ah” terucap dari bibirku. Ia mungkin kesal, mungkin saja marah, tetapi tidak menunjukkannya di hadapanku.
ADVERTISEMENT
Pun ketika ibu sedang marah, bukan hanya emosi semata yang ia tunjukkan, melainkan rasa perhatian dan kasih sayang dibaliknya. Amarah ibu terjadi bukan tanpa sebab, melainkan karena kesalahan yang aku perbuat menjadi salah satu penyebabnya. Setega-teganya ibu memarahiku, tidak sampai ia melukai anaknya sendiri karena baginya anak adalah karunia terbesar yang dimiliki.
Betapa luar biasa hati seorang ibu, ia tak peduli banyaknya kata-kata dan perilaku sang anak yang sering melukai hatinya. Layaknya sebuah baja yang dipukul ribuan kali, hati ibu tetap kuat dan tegar, ia selalu memaafkan, tidak pernah membenci atau ingin membalas dendam. Ibu hanya menginginkan anaknya dalam keadaan sehat dan berhasil mencapai cita-cita.
ketika ibu harus menjalani operasi pengangkatan tumor di payudaranya, tak pernah ia mengeluh kesakitan, tak pernah juga merepotkan anaknya. Ia mengurus dirinya sendiri, mengendarai motor menuju rumah sakit. Batinku sangat hancur melihatnya harus terbaring di ranjang rumah sakit ditambah wajahnya yang pucat dan fisiknya yang masih lemah setelah menjalani operasi.
ADVERTISEMENT
Ibu, sungguh berdosanya aku yang sering membantah dan tidak menuruti apa katamu, aku juga lalai terhadap perintahmu. Namun, tidak pernah terucap di bibirku kata “maaf” setiap kali melakukan kesalahan hingga menyakiti hati ibu. Sejujurnya ingin sekali aku menyampaikan permintaan maaf kepadamu, namun rasanya sulit sekali. Entah karena aku yang terlalu gengsi atau malu untuk mengungkapkannya.
Setiap aku mengingat pengorbanan dan jasa ibu, air mataku ingin jatuh rasanya. Aku menyadari betapa mengecewakannya sikapku kepadamu. Maafkan aku yang sering membantah perkataanmu, yang belum sempat membahagiakanmu, yang kurang bersyukur atas anugerah dari Tuhan bahwa aku memiliki ibu yang luar biasa hebatnya.
Terima kasih ibu karena kekuatan cinta dan kasih sayangmu membuatku semangat menjalani hidup. Aku yakin dalam setiap doamu selalu terselip namaku di dalamnya. Akan kubalas jasa ibu walau tak mampu seutuhnya. Tetaplah sehat hingga ibu bisa merasakan hasil jerih payahku.
ADVERTISEMENT
(Atilah Tia Abelta/Politeknik Negeri Jakarta)