Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Wisatawan Lupa Adab: Pelanggaran Asusila di tempat-tempat Suci di Bali
23 Maret 2025 10:32 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Atiya Warda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di dalam kehidupan ini sebuah etika sangat diperlukan didalam kehidupan sehari-hari. Mengapa demikian, karena etika adalah suatu prinsip yang digunakan dalam mengatur perilaku manusia sesuai dengan nilai moral yang berlaku. Ketika seseorang dapat memahami etika dengan baik maka seseorang tersebut telah mampu memahami tindakan yang baik dan buruk dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain ia akan mampu menghormati suatu norma yang ada.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, Bali merupakan suatu pulau yang terkenal dengan destinasi wisata alam yang menawarkan keindahan alamnya namun juga sangat terkenal dengan kekayaan budaya serta tradisi yang masih dipegang teguh dengan kuat oleh masyarakatnya. Adapun dalam kehidupan masyarakat Bali memiliki beberapa aspek yang tak terpisahkan, yakni pura-pura di Bali, mata air suci, dan kawasan tertentu yang dianggap sakral oleh masyarakat Bali. Namun, semakin tingginya jumlah wisatawan yang berturut-turut datang dan berkunjung ke Bali menimbulkan sering terjadinya pelanggaran yang disengaja ataupun tidak disengaja terhadap kesucian tempat-tempat suci tersebut. Fenomena ini kemudian memunculkan beberapa pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana dan seperti apa sanksi adat yang diberikan bagi para wisatawan yang melanggar norma-norma tersebut, atau adakah sebuah sanksi yang diberikan kepada wisatawan yang melanggar norma tersebut.
ADVERTISEMENT
Hukum adat di Bali mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk didalam menjaga kesucian suatu tempat ibadah serta kawasan-kawasan yang dianggap sakral oleh masyarakat Bali. Masyarakat di bali memiliki konsepan kesucian yang berkaitan erat dengan ajaran agama Hindu serta nilai-nilai lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Beberapa tempat suci di Bali memiliki suatu aturan tersendiri yang harus dihormati siapa pun yang masuk ke tempat tersebut ataupun berada di sekitar tempat tersebut. Namun, sayangnya tidak semua dari wisatawan itu dapat memahami serta menghormati suatu aturan ini. maka akibat yang timbul dari ini yakni, terjadinya suatu pelanggaran yang disengaja maupun tidak disengaja terhadap tempat suci di Bali.
Beberapa kasus yang sering terjadi yaitu para wisatawan yang memasuki sebuah pura di Bali tanpa mengenakan pakaian yang sesuai. Seringkali para wisatawan juga memasuki sebuah pura dengan tanpa adanya suatu izin. Adapun beberapa diantara para wisatawan tersebut tertangkap kamera sedang melakukan suatu tindakan yang dianggap dapat mencemarkan sebuah kesucian dari pura, tindakan tersebt seperti berfoto dengan menggunakan gaya berfoto yang tidak pantas, berbicara dengan menggunakan nada yang tidak sopan, atau bahkan beberapa wisatawan memanjat bangunan suci yang seharusnya itu hanya dapat diakses oleh pemangku atau orang yang memiliki izin khusus. Selain itu, ada beberapa kasus lain yang sempat menjadi perhatian khusus yakni, adanya wisatawan yang mandi dengan telanjang di mata air suci, menurut orang Bali ini merupakan pelanggaran yang berat pada nilai-nilai kesucian pada tempat tersebut.
ADVERTISEMENT
Adapun didalam Hukum Adat di Bali menyebut tindakan-tindakan tersebut tergolong dalam “lutut”, yakni suatu perbuatan yang mengotori atau mencemari suatu kesucian tempat atau individu. Konsep ini juga memiliki keterkaitan yang erat dengan “desa kala patra” yang mana ini menekankan bahwasannya setiap Lokasi, waktu serta situasi mempunyai suatu aturan yang harus dihormati. Adanya pelanggaran terhadap prinsip tersebut dapat berakhir pada suatu sanksi adat yang bertujuan guna memulihkan Kembali suatu kesucian tempat yang secara langsung telah tercemar.
Sanksi yang ada didalam Hukum Adat di Bali memiliki suatu karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan hukum positif. Jika hukum negara lebih menekankan pada hukuman yang berupa denda atau pidana, maka hukum adat ini lebih fokus kepada pemulihan keseimbangan kosmis yang terganggu disebabkan oleh adanya pelanggaran. Oleh karenanya, para wisatawan yang telah mencemari kesucian dari tempat suci baik secara sengaja maupun tidak disengaja diwajibkan untuk menjalani sebuah upacara “guru piduka”, yang merupakan sebuah ritual guna memohon maaf kepada dewa serta roh leluhur yang dipercayai menjaga tempat tersebut. dengan demikian tujuan dari upacara ini tidak lain yakni guna memulihkan Kembali kesucian tempat yang telah ternodai dan juga mencegah adanya dampak negatif yang timbul bagi masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Selain upacara adat, para pelaku pelanggaran dapat juga dikenai sanksi sosial, berupa larangan memasuki kembali tempat suci serta ada sanksi adat yang lebih tegas, seperti “kasepakang” (pengucilan sosial). Namun, bagi para wisatawan sanksi seperti ini biasanya berupa adanya pembatasan akses serta adanya teguran tegas yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Fenomena ini dapat dianalisis dengan menggunakan suatu teori hukum adat integratif yang dikemukakan oleh Soepomo. Soepomo berpendapat bahwa hukum adat ini terikat erat dengan kehidupan sosial masyarakat serta memiliki peran dalam menjaga keseimbangan juga harmoni dalam suatu komunitas. Adanya suatu pelanggaran terhadap hukum adat, terutama yang berkaitan dengan kesucian tempat, tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran aturan, tetapi juga sebagai suatu gangguan terhadap keseimbangan spiritual dan juga sosial. Maka dari itu, sanksi adat tidak hanya yang bersifat menghukum saja,tetapi juga memiliki tujuan untuk memulihkan suatu keseimbangan yang telah terganggu.
ADVERTISEMENT
Selain itu teori hukum adat yang berasal dari Van Vallenhoven tentang lingkungan hukum adat juga sangat relevan dengan konteks yang saat ini dibahas. Van Vallenhoven ini berpendapat bahwa hukum adat itu akan selalu terhubung dengan suatu struktur sosial serta budaya masyarakat setempat. Di Bali, tempat suci ini tidak hanya berperan sebagai pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga menjadi suatu bagian dari tatanan sosial masyarakatnya. Maka dari itu, pelanggaran terhadap suatu tempat suci tersebut bukan hanya sekedar pelanggaran agama, melainkan juga tindakan yang dapat mengganggu harmoni sosial juga keseimbangan adat.
Pelanggaran terhadap keuciaan tempat suci oleh para wisatawan di Bali ini dapat juga dianalisis melalui sebuah teori hukum adat Karl Llewellyn dan E. Adamson Hoebel tentang hukum sebagai kebiasaan sosial. Maka menurut mereka hukum adat ini berperan sebagai alat yang mengontrol sosial yang berlandaskan kebiasaan dan norma yang berkembang dalam suatu komunitas. Di Bali, aturan yang mengenai kesucian tempat suci ini telah menjadi bagian dari tradisi dari masyarakat selama berabad-abad. Oleh karena itu, ketika wisatawan melanggar hal ini respon yang dilakukan masyarakat yakni dengan menerpakan kontrol sosial, seperti teguran, sanksi adat serta ritual pemulihan kesucian tempat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, Pelanggaran terhadap kesucian tempat suci di Bali oleh wisatawan merupakan permasalahan serius dalam hukum adat. Masyarakat Bali memiliki sistem hukum adat yang kokoh untuk menjaga kesucian tempat ibadah, dengan sanksi yang berfungsi mengembalikan keseimbangan spiritual dan sosial. Dengan memahami hukum adat serta nilai budaya yang berlaku, wisatawan dapat lebih menghormati tradisi setempat dan berkontribusi dalam menjaga harmoni antara pariwisata dan kearifan lokal di Bali. Untuk mengatasi masalah seperti ini, diperlukan edukasi wisatawan tentang norma adat Bali perlu ditingkatkan sebelum mereka berkunjung. Pemerintah, masyarakat adat, dan pengelola wisata harus memperkuat regulasi serta kesadaran budaya.