Implikasi Pengambilalihan Wilayah Informasi Penerbangan

Antonius Tri Novianto, ST, MM
Analis Pertahanan Negara Setditjen Kuathan Kemhan
Konten dari Pengguna
25 Juli 2022 20:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antonius Tri Novianto, ST, MM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Geografis Wilayah Indonesia
Letak geografis wilayah Indonesia yang sangat strategis telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat dipadati baik oleh lalu lintas laut maupun udara. Padatnya jalur perlintasan oleh sarana angkutan air dan udara dari banyak negara sering menimbulkan berbagai permasalahan yang menyangkut pelanggaran hukum, baik terhadap hukum nasional maupun internasional yang berpengaruh terhadap kewibawaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Implikasi serupa juga dirasakan oleh Indonesia sebagai akibat dari pendelegasian kewenangan pelayanan navigasi udara kepada negara-negara lain termasuk Singapura terhadap ruang udara Indonesia, khususnya di atas sebagian Provinsi Riau dan Kepulauan Riau sampai Natuna.
ADVERTISEMENT
Pendelegasian Pengelolaan Flight Information Region (FIR)
Latar belakang pendelegasian kewenangan ini adalah karena saat itu Indonesia belum memiliki kemampuan yang standar untuk memberikan pelayanan navigasi dari Riau sampai ke Natuna. Wilayah udara tersebut akhirnya masuk ke dalam FIR/Wilayah Informasi Penerbangan Singapura yang terdiri dari 3 sektor yaitu Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna. Sektor-sektor ini merupakan salah satu sektor dengan jalur penerbangan (airways) yang terpadat di regional Asia dan Pasific. Sektor tersebut dahulu dibentuk atas persetujuan bersama negara-negara yang tergabung dalam Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun 1946. Pada saat itu negara-negara ICAO menunjuk Inggris untuk melakukan pengelolaan FIR Natuna yang kemudian didelegasikan kepada Singapura setelah merdeka 1965.
ADVERTISEMENT
Pendelegasian pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau kepada Singapura dianggap sebagai sebuah kesalahan besar oleh sebagian masyarakat Indonesia. Beberapa pejabat negara juga menuntut agar pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau diambilalih oleh Indonesia. Tuntutan ini muncul setelah terjadinya beberapa insiden dimana pesawat yang ditumpangi oleh pejabat negara harus menunggu lama untuk mendapat ijin mendarat di Kepulauan Riau. Pada pertemuan Regional Air Navigation (RAN) Asia/Pasifik kedua yang diselenggarakan ICAO di Singapura pada bulan Januari 1983, Indonesia berusaha untuk meminta kembali pengelolaan ruang udara di atas Kepulauan Riau dari Singapura. Sayangnya, usulan tersebut ditolak dengan alasan Indonesia belum mampu mengelola kawasan udaranya. Saat itu kemampuan Indonesia bidang teknologi, sarana prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia belum mampu untuk menjangkau Kepulauan Riau dan Natuna.
ADVERTISEMENT
Impikasi dari semua itu tidak hanya menyebabkan kedaulatan Indonesia di wilayah udata tersebut terampas, tetapi dari aspek ekonomi, Indonesia telah dirugikan dari perolehan RANS (Route Air Navigation Service) Charge. Rute penerbangan yang dilewati oleh pesawat udara sesuai dengan RANS (Route Air Navigation Service) Charge, berkewajiban membayar pengunaan media udara untuk navigasi udara sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat. Hal ini sudah berlaku umum dalam dunia penerbangan internasional. Setiap penggunaan fasilitas jasa penerbangan dan pelayanan jasa terkait bandar udara sesuai ketentuan ICAO dikenakan tarif yang berlaku pada masing masing negara.
Untuk RANS Charge di FIR Singapura, berdasarkan analisis Amrizal Mansur bahwa berdasarkan data penerbangan tahun 2008 dan 2009 dapat disimpulkan bahwa potensi ekonomi pada FIR Singapura sangat besar, yaitu mencapai US $11.547.838 pada tahun 2008 dan US $9.919.114 pada tahun 2009 tidak dapat dinikmati oleh pemerintah Indonesia. Jika melihat prospek penerbangan yang semakin meningkat setiap tahun di kawasan tersebut maka dipastikan potensi ekonomi yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesia dalam mengembangkan fasilitas ke bandaraan di Indonesia juga semakin bertambah besar. Pendelegasian FIR kepada Singapura tentunya sangat merugikan Indonesia, salah satunya pendapatan Negara dari fee yang di bayarkan belum sepenuhnya digunakan untuk mendukung pelayanan navigasi udara di Kepulauan Riau. Dari pelayanan ketiga sektor A, B dan C hanya fee dari sektor A yang di bayarkan kepada Indonesia. Dilihat dari segi ekonomi hal ini merugikan Indonesia karena pesawat yang memasuki daerah tersebut sangat banyak dan seluruhnya dikendalikan oleh Singapura dengan kewajiban untuk membayar RANS Charge.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan (hankam), Indonesia telah dan akan terus berusaha untuk menarik kewenangan yang didelegasikan kepada Singapura tersebut. Salah satu contoh bentuknya yaitu protes Indonesia berkaitan dengan kesepakatan RI-Singapura soal Military Training Area (MTA). Perjanjian MTA antara Indonesia dengan Singapura selain terkait kewenangan juga terkait persoalan wilayah. Singapura tidak memiliki wilayah untuk latihan tempur, sehingga tercetuslah perjanjian MTA tersebut, yaitu Singapura sepakat dengan Indonesia untuk menyepakati wilayah latihan bersama khususnya di utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Perjanjian MTA terpaksa dihentikan secara sepihak oleh Indonesia pada 2003 karena Singapura ditengarai melakukan pelanggaran wilayah Indonesia lewat MTA tersebut, terlebih dengan melibatkan Amerika Serikat (AS) dan Australia dalam setiap latihan militer di wilayah NKRI. Pada tahun 2015, konflik wilayah antara Indonesia dengan negara tetangga kembali mencuat. Hal tersebut berkaitan dengan protesnya Singapura terhadap pesawat Indonesia yang melintasi wilayah Military Training Areas (MTA). Secara tidak langsung keberadaan MTA-1 dan MTA-2 telah mengganggu penerbangan di dalam negeri. Paling tidak kenyamanan terbang yang seharusnya dinikmati para penerbang Indonesia saat di wilayah udara negaranya sendiri menjadi terusik. Dengan alasan keselamatan penerbangan oleh Sigapura, maka Indonesia menjadi tidak berdaulat di wilayah udara Kepulauan Riau tersebut.
ADVERTISEMENT
Dukungan terpenting yang dibutuhkan oleh negara Indonesia dalam mempertahankan hak yuridis adalah dengan dukungan internasional untuk dapat mengakui semua aturan yang berlaku di Indonesia, terutama aturan yang berlaku secara universal, termasuk di dalamnya penegakan kedaulatan di udara. Konvensi Chicago 1944 menjunjung tinggi kedaulatan suatu negara dan menempatkannya pada pasal pertama yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atasnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ruang udara di atas wilayah NKRI adalah ruang udara penuh dan utuh yang selayaknya dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemiliknya.
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2009 Bab IV tentang Kedaulatan atas Wilayah Udara pada Pasal 5 juga menggariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Hal ini mengandung arti bahwa pemerintah Indonesia memiliki wewenang dan tanggungjawab mengatur ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara serta navigasi udara untuk kesejahteraan rakyat dan demi terjaganya martabat bangsa. Kewenangan untuk menjaga kedaulatan negara diperkuat di dalam Pasal 8 yang menyebutkan bahwa Indonesia harus menegur pesawat asing yang melintas di wilayah udara NKRI bahkan dapat menggunakan paksaan agar pesawat asing itu keluar dari wilayah NKRI.
ADVERTISEMENT
Ketegasan Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih pengelolaan navigasi (Flight Information Region/FIR) blok ABC yang selama ini dikelola oleh Singapura dan Malaysia perlu mendapat apresiasi dan dukungan dari semua pihak. Ketika Presiden Joko Widodo menggelar rapat pada tahun 2015 sampai dengan saat naskah ini ditulis belum ada pengambilalihan Flight Information Region (FIR) secara resmi dari Pemerintah Indonesia. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang juga sebagai Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) mengatakan bahwa ruang kendali udara penerbangan atau FIR di sekitar wilayah Kepulauan Riau dan Natuna masih menjadi persoalan antara Indonesia dan negara tetangga. Apabila diriviu lebih dalam, maka dari pengambilalihan ini akan banyak memberikan implikasi bagi Indonesia. Tulisan ini akan mencoba menganalisa implikasi pengambilalihan FIR oleh Pemerintah Indonesia terutama aspek Hankam dan Ekonomi.
ADVERTISEMENT
Implikasi Aspek Hankam (Security) dan Aspek Ekonomi Prosperity).
a. Aspek Pertahanan dan Keamanan.
NKRI harga mati. Kalimat ini sangat cocok untuk menggambarkan betapa pentingnya pengambilalihan FIR Singapura khususnya di kepulauan Natuna (Riau) sebagai wujud memperkokoh kedaulatan NKRI. Daerah kepulauan Natuna letaknya sangat strategis bagi jalur penerbangan udara, menyebabkan wilayah udara tersebut menjadi lintasan penerbangan bagi kepentingan berbagai negara di dunia. Seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta padatnya ruang udara nasional Indonesia sangat dimungkinkan menimbulkan kerawanan ancaman bagi pertahanan negara yang dapat mengganggu keutuhan wilayah kedaulatan negara.
Pengelolaan FIR Singapura di atas Kepulauan Riau oleh Singapura seringkali dipermasalahkan karena menyangkut masalah kedaulatan dan harga diri bangsa Indonesia. Amrizal Mansur (2010) menganggap bahwa pengelolaan ini termasuk sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan udara karena secara de jure, ruang udara tersebut milik Indonesia namun secara de facto justru dikuasai oleh Singapura. Walaupun Singapura selalu beralasan bahwa masalah pembagian FIR bukan merupakan permasalahan kedaulatan negara, namun realitanya pembagian FIR tersebut telah mengoyak kedaulatan penuh NKRI sebagai negara berdaulat. Terlepas dari ketentuan bahwa pembagian FIR ditentukan oleh ICAO, pengelolaan ruang udara seharusnya diserahkan kepada Indonesia sesuai dengan amanat pada Konvensi Chicago 1944 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa kedaulatan udara suatu negara menyesuaikan pada kedaulatan dibawahnya.
ADVERTISEMENT
Menteri Pertahanan dan Keamanan era Orde Baru, LB Moerdani merupakan salah satu pejabat negara yang sangat menolak pengelolaan Singapura, penolakan ini didasarkan pada pengalamannya ketika melakukan kunjungan ke Kepulauan Natuna. Pesawat TNI AU yang membawa Jenderal LB Moerdani sempat tidak diijinkan mendarat ke pangkalan udara Ranai, Natuna Besar (m.riaupos.co diunduh pada 10 Mei 2012). Entah siapa yang berada dalam posisi salah, mengingat tidak pernah ada penelitian lebih lanjut mengenai kejadian tersebut, namun insiden ini sangat memalukan bagi LB Moerdani. Seketika itu Moerdani langsung mengatakan, “Masak kita terbang di wilayah sendiri diatur oleh negara lain” lalu memerintahkan agar pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau diambil alih Indonesia (www.m.riau.co diunduh pada 10 Mei 2012).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi Presiden Soeharto memiliki pandangan berbeda terkait status pengelolaan FIR di Kepulauan Riau. Soeharto sangat mengerti bagaimana kondisi manajemen pengelolaan navigasi penerbangan sipil dan peralatan pendukung yang dimiliki Indonesia sehingga secara tidak langsung memilih untuk mendelegasikan FIR Kepulauan Riau kepada Singapura. Pandangan Soeharto ini dapat dilihat pada ratifikasi terhadap Perjanjian Pendelegasian FIR Kepulauan Riau antara Indonesia dan Singapura dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1996. Di sisi lain, kedekatan antara Soeharto dengan Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura saat itu juga berpengaruh terhadap masalah ini. Perdebatan mengenai masalah pengelolaan FIR ini sempat terhenti ketika Perjanjian pendelegasian FIR mulai diberlakukan. Sepanjang masa pemberlakuan perjanjian, dari tahun 1996 hingga 2001, hampir tidak pernah ada pembahasan mengenai masalah tersebut. Bahkan pada tahun 2003, dimana terdapat penyelenggaraan RAN keempat, tidak ditemukan adanya laporan mengenai pembahasan terkait pengambilalihan FIR Kepulauan Riau dari Singapura.
ADVERTISEMENT
Isu mengenai pengelolaan FIR Kepulauan Riau kembali muncul ketika Indonesia mengeluarkan sebuah Undang-undang (UU) No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam UU tersebut, Indonesia berencana untuk melakukan pengelolaan ruang udara secara mandiri. Indonesia menegaskan posisi kedaulatan udaranya melalui Pasal 5 yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara RI (nasional.kompas.com diunduh pada 9 Mei 2012).
Dalam Pasal 458 UU Nomor 1 Tahun 2009, Indonesia juga menegaskan bahwa wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU tersebut berlaku. UU No. 1 tahun 2009 mulai berlaku tanggal 12 Januari 2009, artinya pada tanggal 12 Januari 2024, ruang udara Kepulauan Riau harus beralih dari FIR Singapura menjadi FIR Jakarta dibawah ATC Bandara Soekarno Hatta (nasional.kompas.com diunduh pada 9 Mei 2012).
ADVERTISEMENT
Munculnya UU Nomor 1 Tahun 2009 membuat publik Indonesia kembali sadar bahwa ada sebagian kedaulatan udaranya yang masih dikelola oleh Singapura. Berbeda dengan masa Orde Baru dimana masalah FIR Kepulauan Riau hanya diketahui dan dibahas oleh pejabat negara, pada era reformasi masalah ini diketahui dan dibahas oleh semua orang. Tekanan politikpun menguat apalagi ketika mengetahui pesawat negara seperti pesawat TNI dan pesawat Presiden, yang hendak melintas Kepulauan Riau wajib lapor kepada Air Traffic System (ATS) Singapura. Tidak hanya lapor, setelah melewati wilayah tersebut, pesawat negara juga dipandu oleh ATC Singapura. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia (www.merdeka.com diunduh pada 16 Juli 2012).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam Laporan Kunjungan Spesifik Komisi I DPR RI ke Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV/Tanjung Pinang menganggap pendelegasian ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, pesawat tempur tidak dapat melakukan operasi dengan cepat karena harus meminta ijin dari otoritas penerbangan Singapura setiap kali hendak terbang. DPR menyarankan agar pengelolaan segera diambil alih sehingga TNI AU dapat bekerja secara maksimal dalam melindungi wilayah perbatasan dan siap apabila terjadi konfrontasi dengan Singapura dan Malaysia. Hal ini terulang pada saat TNI AU mengadakan latihan tempur bertajuk Angkasa Yuda 2013, mereka harus melaporkan kegiatan udara ke Singapura. Tujuannya agar lalu lintas pesawat-pesawat tempur Indonesia tidak bersinggungan dengan pesawat komersil yang diatur oleh Singapura.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran yang terjadi di Indonesia ini berbanding terbalik dengan Singapura. Publik Singapura tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah ancaman, hampir tidak ada literatur Singapura yang membahas masalah ruang udara Kepulauan Riau dari aspek politik. Penerbangan sipil Singapura lebih tertarik untuk mengkaji secara teknis dan ekonomi, Pemerintah Singapura juga bersikap sangat lunak terhadap masalah ini. Singapura bersedia untuk mengembalikan ruang udara Kepulauan Riau kepada Indonesia selama fasilitas Indonesia siap dan mampu untuk mengendalikan ruang udara di Kepulauan Riau (www.depdagri.go.id diunduh pada 8 Mei 2012).
Permasalahan FIR kembali muncul dalam pembahasan publik pada tahun 2015, ketika Singapura melakukan protes terhadap Indonesia terkait pesawat Indonesia yang melintasi wilayah Military Training Areas (MTA). Menurut penelitian M F Zulkarnain (2018) menunjukkan bahwa pemberian hak kepemilikan Flight Information Region kepada Singapura ternyata berpengaruh terhadap kedaulatan dan keamanan Indonesia. Dilihat dari faktor otoritas negara lain yang berada di atas teritori kedaulatan Indonesia dan masalah keamanan yang dilihat dari sejarah kerjasama militer kedua negara. Tantangan yang dihadapi Indonesia sendiri adalah kurangnya teknis pengelolaan akan FIR dan kelengkapan kekuatan militer Indonesia belum memadai, sehingga kebijakan pengaturan lalulintas udara atau Air Traffic System (ATS/ATC) diberikan kepada Singapura oleh International Civil Aviation Organizition (ICAO). Untuk itu, pemerintah Indonesia harus meninjau kembali perjanjian bilateral terhadap FIR dengan Singapura dan berusaha meningkatkan prosedur-prosedur terkait kualifikasi pengaturan ATS/ATC, demi keberhasilan pengambilalihan FIR untuk Indonesia. Permasalahan dan konflik akan terus muncul apabila pengambilalihan FIR tersebut belum tuntas.
ADVERTISEMENT
b. Aspek Ekonomi
Dari aspek ekonomi, ruang udara jelas merupakan salah satu sumber pendapatan negara selain minyak dan gas bumi, karena setiap penerbangan di atas wilayah Indonesia dikenakan pungutan, walaupun pungutan itu harus dikembalikan lagi ke pemerintah Indonesia untuk penyediaan fasilitas yang diperlukan untuk menjamin keselamatan penerbangan. Mengacu pada Pasal 6 Undang Undang Republik Indonesi Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan sangat jelas disebutkan bahwa penerbangan oleh pesawat asing yang rute penerbangannya melewati wilayah udara nasional Indonesia harus mendapat ijin dari pemerintah Indonesia, dan pemerintah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk membangun strategi pertahanan dan meningkatkan perekonomian nasional dengan memanfaatkan media udara. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan juga bahwa wilayah udara yang berupa ruang udara di atas perairan dan daratan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Perhubungan dibuat untuk mengoptimalkan penerimaan negara dalam menunjang pembangunan negara untuk kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
1) Tarif RANS Charge.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Perhubungan dibuat untuk mengoptimalkan penerimaan negara dalam menunjang pembangunan negara untuk kesejahteraan rakyat. Rute penerbangan yang dilewati oleh pesawat udara sesuai dengan RANS Charge, berkewajiban membayar pengunaan media udara untuk navigasi udara sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat. Hal ini sudah berlaku umum dalam dunia penerbangan internasional. Pada prinsipnya, setiap penggunaan fasilitas jasa penerbangan dan pelayanan jasa terkait bandar udara dikenakan tarif yang berlaku pada masing masing negara.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan pungutan atas pemanfaatan kekayaan yang dimiliki Negara atau pemanfaatan fasilitas/layanan yang di berikan/disediakan oleh Negara (user’s charge). Air Service Route Charge atau Tarif RANS Charge yang berlaku sejak Januari 2008 hingga saat ini adalah USD 0,55. Tarif tersebut dimaksudkan besaran Unit Rate per penerbangan. Untuk Unit Rate diberlakukan USD 0,55 berdasarkan PP Nomor 6 tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Perhubungan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 35 tahun 2009. Dengan melihat semakin bertambahnya kegiatan penerbangan setiap tahunnya dan besarnya tarif yang ditetapkan, maka jumlah keuntungan dari pelayanan navigasi udara pada sektor A,B dan C yang berada di atas Kepulauan Riau akan semakin besar, hal ini tentu akan menambah pendapatan Negara dalam menyediakan sarana dan prasarana navigasi udara serta untuk menambah pendapatan asli daerah setempat.
ADVERTISEMENT
2) Perhitungan RANS Charge.
Menurut data Dirjen Perhubungan Udara RI jumlah lalulintas penerbangan yang melintasi wilayah NKRI dari tahun ke tahun mengalami trend peningkatan. Data pada tahun 2009 jumlah pesawat yang melintas di wilayah kedaulatan NKRI sebanyak 345.158 pesawat, pada tahun 2010 sebanyak 473.984 pesawat, pada tahun 2011 sebanyak 527.440 pesawat, pada tahun 2012 sebanyak 514.006 pesawat, dan pada tahun 2013 sebanyak 556.799 pesawat. Dirjen Perhubungan Udara Indonesia dalam Cetak Biru Transportasi Udara 2005-2024 menyebutkan bahwa angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan perkembangan wilayah di Indonesia yang semakin menuntut pembukaan rute baru penerbangan. Jumlah pesawat yang take off dan landing ke dan dari Changi Airport di Singapura mencapai ±1300/hari. Walaupun kondisi saat ini sebagai akibat Pandemi Covid-19, dunia penerbangan sedang lesu bahkan jumlah penerbangan di kawasan tersebut turun drastis, namun kondisi tersebut tidak selamanya, sehingga diharapkan pada saat kondisi dunia penerbangan sudah pulih kembali, maka jumlah penerbangan juga semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut Kajian Amrizal Mansur, penerimaan fee yang diterima oleh pemerintah Singapura, sesuai dengan Rans Charges dapat dihitung berdasarkan jumlah penerbangan yang melewati rute di wilayah Kepri tersebut. Berdasarkan data-data yang didapat dari Satrad 212 Natuna dan Satrad 213 Tanjung Pinang, jumlah penerbangan yang melewati wilayah udara Indonesia dalam FIR Singapura rata rata lebih kurang 2500 penerbangan selama satu bulan. Menurut Kepala Seksi Tarif Pelayanan Jasa Angkutan Udara Direktorat Angkutan Udara Kementerian Perhubungan: ”Seluruh wilayah udara Indonesia yang dilewati oleh pesawat asing adalah termasuk rute internasional yang dipungut charges, kecuali sektor A pada FIR Singapura yang dipungut oleh pemerintah Singapura dan kemudian diserahkan ke Pemerintah Indonesia”. Sedangkan Sektor B dan C menurutnya dan ditambah keterangan Zainul Harahap yang merupakan staf pada Direktorat Navigasi Penerbangan adalah wilayah udara dan kedaulatan Indonesia yang masih bebas tanpa charges karena masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia. Untuk menghitung RANS Charge yang berlaku pada penerbangan internasional di Indonesia saat ini berdasarkan kepada Peraturan Menteri Perhubungan No: KM 26 tahun 2010 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas penumpang Pelayanan kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia tahun 2007 dan Peraturan Direktur Jenderal perhubungan Udara No: SKEP/58/VI/2005. Perhitungan Rans Charges menurut Peraturan Menteri perhubungan adalah sebagai berikut: Biaya Jasa Pelayanan Navigasi Penerbangan pada jumlah rute unit per tahun adalah perkalian Faktor jarak dengan Faktor Berat dan Jumlah Frekwensi penerbangan per tahun atau dengan rumus: Rute Unit = Faktor jarak x Faktor Berat x Jumlah frekwensi per tahun (2 x penerbangan atau 1x pp = 1 frekwensi/F). Biaya jasa pelayanan navigasi penerbangan per tahun adalah Jumlah Rute Unit per tahun x Tarif per Rute Unit.
ADVERTISEMENT
Dari hasil perhitungan RANS Charge tersebut, Amrizal Mansur membuat simulasi perhitungan RANS Charge pada tahun 2008 dan 2009. Potensi ekonomi pada FIR Singapura cukup besar yaitu mencapai US $11.547.838,. pada tahun 2008 dan US $9.919.114,. pada tahun 2009 (gabungan Sektor A, B dan C). Jika Singapura telah menikmati wilayah udara tersebut sejak tahun 1946 dan melihat prospek penerbangan yang semakin meningkat setiap tahunnya maka kerugian bidang ekonomi tentunya semakin bertambah besar. Undang Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 memang mengisyaratkan bahwa Indonesia akan mengambil alih penguasaann ATC di daerah tersebut dalam kurun waktu 15 tahun sejak UU tersebut ditandatangani. Hal ini tentu akan menambah kehilangan yang lebih banyak jika tidak diupayakan dari sekarang. Adapun Sektor B dan C sampai saat ini masih dianggap pemerintah Indonesia tanpa charges karena claim pihak Malaysia yang menginginkan FIR tersebut tetap dikuasai oleh Singapura, walaupun pada kenyataannya kedua negara tersebut baik Singapura maupun Malaysia mengakui FIR tersebut sebagai wilayah kedaulatan udara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1) Pelayanan navigasi udara di perbatasan melalui pengambilalihan FIR Singapura akan memberikan kontribusi terhadap pertahanan dan keamanan di ruang udara nasional serta akan membawa manfaat bagi kepentingan negara yaitu sebagai sarana transportasi maupun komunikasi, pemersatu sumber daya nasional, juga sebagai media pertahanan dan keamanan.
2) Potensi ekonomi pada FIR Singapura cukup besar, sehingga pengambilalihan FIR Singapura diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dalam menunjang pembangunan negara untuk kesejahteraan rakyat, khususnya dari penerimaan RANS Charge.
Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1) Indonesia telah mengambil keputusan politik yang tegas agar FIR Singapura dan FIR Malaysia dapat dialihkan menjadi FIR Jakarta, sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
2) Perlu kesiapan infrastruktur dan sarana prasarana dengan teknologi yang mumpuni serta SDM yang profesional dan handal dalam rangka pengambilalihan FIR Kepulauan Riau maupun Natuna.