Konten dari Pengguna

Hukum Operasi Keperawanan Bagi Wanita

Muhammad Ubaidillah Al Atsari
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
29 November 2022 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ubaidillah Al Atsari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan setelah berhubungan badan. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan setelah berhubungan badan. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam budaya arab, keperawanan menjadi simbol kehormatan dan kesucian bagi seorang wanita. Mereka menganggap keperawanan ditandai dengan utuhnya selaput dara hingga memasuki dunia pernikahan.
ADVERTISEMENT
Para ulama fikih kontemporer menganalogikan hal ini dengan ritqu ghisyya al bikarah. Analogi ini secara spesifik mengulas selaput dara perempuan. Soal definisi keperawanan, sebenarnya tidak bisa disamakan dengan utuhnya selaput dara wanita. Seorang wanita masih bisa disebut perawan meski selaput daranya rusak, tentu selama perempuan tersebut belum bersetubuh dengan seorang pria.
Sebelum masuk ke pembahasan fikih, perlu dijelaskan tujuan dan dampak dari operasi keperawanan tersebut. Tujuannya untuk menutupi aib perempuan dan keluarganya. Kemudian juga untuk mencegah timbulnya prasangka buruk dari calon suami dan keluarganya, sebab bisa kita lihat persoalan keperawanan perempuan bisa berujung pada keharmonisan yang dapat merusak sebuah rumah tangga. Kebanyakan masyarakat kita telah menganggap seorang perempuan telah berzina, padahal mungkin saja selaput dara perempuan itu rusak karena penyakit, olahraga, maupun kecelakaan yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
Dari sisi negatif, bisa saja tindakan operasi ini menjadi motif penipuan. Yang akan dilakukan oleh wanita pelacur dengan mudahnya disebut perawan karena melakukan operasi keperawanan ini. Pastinya, tindakan ini telah membohongi calon suami dan keluarganya. Hal ini dikhawatirkan terjadinya zina, dengan harapan wanita pelacur bisa kembali perawan dengan melakukan operasi ini.
Teknis pelaksanaan operasi keperawanan, tentu akan membuka aurat wanita. Hal ini justru bertentangan dengan syariat, kecuali dalam keadaan darurat seperti akan melahirkan dan tujuan pengobatan. Melihat dari dampak baik dan buruk operasi keperawanan wanita ini, para ulama berbeda pendapat soal kebolehan wanita untuk melakukan operasi selaput dara.
Syekh Muhammad Shalih dalam kajiannya yakni qadhaya fiqhiyah mu'ashirah mengelompokkan ada 2 pendapat ulama dalam menjawab kasus ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak atas wanita yang melakukan operasi ini. Bahkan, jika rusaknya selaput dara karena wanita tersebut seorang pelacur. Beliau lebih mengedepankan dampak buruk dari operasi perbaikan selaput dara ini. Hal ini sesuai kaidah fikih bahwa, "Mencegah keburukan harus didahulukan daripada meraih kebaikan". Operasi semacam ini juga membuka peluang bagi para gadis remaja untuk melakukan zina, karena dengan mudahnya dirinya beranggapan bahwa selaput daranya masih bisa diperbaiki.
Sedangkan pendapat kedua, para ulama memperbolehkan operasi ini dengan pengecualian yang kuat. Misalkan, seorang wanita yang rusak selaput daranya karena kecelakaan, olahraga berat atau mengalami kecelakaan. Bagi wanita pelacur, ulama tetap mengharamkan dirinya untuk melakukan operasi ini. Bahkan, ulama Hanafi membolehkan wanita yang dahulunya khilaf karena melakukan zina, dengan pertimbangan dirinya telah bertaubat dari dosanya.
ADVERTISEMENT
Dengan operasi pemulihan selaput dara, seorang wanita yang memang perawan dapat bebas dari prasangka buruk dari calon suami dan keluarganya. Hal ini berlandaskan pada Quran surat Al Hujurat ayat 12.

Ulama kontemporer menilai pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Perkara membuka aurat wanita ketika akan operasi, hal ini diperbolehkan. Sesuai kaidah, "Sesuatu yang disyariatkan akan menjadikan wasilahnya ikut menjadi disyariatkan". Dengan demikian, kasus operasi selaput dara ini bisa kita lihat dari segi hukumnya adalah boleh, maka wasilah seperti teknis operasi juga diperbolehkan. Namun, para ulama menegaskan dalam operasi tersebut harus dilakukan oleh dokter wanita.