Konten dari Pengguna

Pengelolaan Air Tanah: Antara Pajak Daerah dan Kelestarian Lingkungan Jakarta

Atsiilah Nisriinaa
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
3 Februari 2025 6:54 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Atsiilah Nisriinaa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengelolaan Air Tanah (Sumber: Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengelolaan Air Tanah (Sumber: Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami penurunan tanah secara drastis selama beberapa tahun kebelakang. Menurut PAM Jaya, 90% wilayah Jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050. Salah satu pemicu terjadinya penurunan tanah secara drastis berasal dari aktivitas penyedotan air tanah untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penggunaan air tanah di daerah Jakarta dalam jumlah besar telah menimbulkan beberapa dampak yang negatif terhadap lingkungan seperti tanah ambles, penurunan muka tanah dan muka air tanah, serta intrusi laut. Pada tahun 2023, pemerintah Provinsi Jakarta mengeluarkan peraturan yang mengatur air tanah dan melarang penggunaannya di beberapa lokasi. Di lain sisi, pajak air tanah (PAT) merupakan salah satu objek pajak daerah yang dapat bermanfaat untuk menambah pendapatan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah Pasal 1 ayat 11 yang menyatakan bahwa “Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah”. Kemudian, dilanjutkan dengan pasal 12 yang berbunyi “Pengambilan dan/ atau Pemanfaatan Air Tanah adalah setiap kegiatan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan cara membuat bangunan penutup lainnya untuk dimanfaatkan airnyå dan/atau tujuan lain”. Dari fenomena tersebut, bagaimana keberlanjutan air tanah sebagai objek pajak daerah provinsi DKI Jakarta?
ADVERTISEMENT
Dampak Penggunaan Air Tanah terhadap Lingkungan
Salah satu masalah yang sering terjadi di Jakarta adalah keterbatasan akses air bersih yang mendorong kelompok komersial, industri, dan rumah tangga beralih ke air tanah untuk memenuhi kebutuhannya selama tiga dekade terakhir ini. Diketahui bahwa penggunaan air tanah berlebih memicu penurunan tanah. Hasil penelitian BKAT Kementerian ESDM pada tahun 2016 menemukan bahwa wilayah Jakarta khususnya utara mengalami penurunan dengan rata-rata paling tinggi berkisar 12 sentimeter tiap tahunnya. Selain itu, disebutkan bahwa 85% dari titik pemantauan seluruh Jakarta diketahui mengalami penurunan hingga 12 sentimeter dan sisanya hanya berkisar 5 sentimeter. Dari hal tersebut, biaya pengadaan air bersih, penurunan kualitas hidup masyarakat, dan munculnya risiko krisis banjir menghantui masyarakat DKI Jakarta karena masalah ini. Pemprov Jakarta bergerak untuk meminimalkan dampak masalah ini dengan penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 tentang Sasaran, Pengendalian Pengambilan serta Pemanfaatan Air Tanah. Selain itu, Kementerian ESDM juga memprioritaskan percepatan sarana prasarana penunjang distribusi air bersih bagi masyarakat Jakarta. Pada awal tahun 2025, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa pemerintah nantinya akan melakukan moratorium yaitu tidak akan mengeluarkan izin baru pengambilan/pemanfaatan air tanah di Jakarta, namun masyarakat yang sudah memiliki izin masih diizinkan untuk mengambil air tanah.
ADVERTISEMENT
Air Tanah Objek Pajak Daerah
Air tanah juga menjadi penyumbang bagi pendapatan pajak Provinsi DKI Jakarta. Menurut data dari Bapenda DKI Jakarta, pendapatan yang terkumpul dari pajak air tanah pada periode 2019 hingga Oktober 2023 berturut-turut adalah sebesar 125,13 miliar, 78,38 miliar, 55,86 miliar, 48,43 milar, dan 56,73 miliar. Dari data tersebut, realisasi pajak air tanah mengalami tren penurunan meski pada tahun 2023 mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun 2022. Tujuan dari pengenaan pajak ini adalah untuk mengatur eksploitasi penggunaan air tanah agar penggunaannya dilakukan secara bijak. Dari sinilah fungsi pajak sebagai regulerend berlaku karena pajak digunakan sebagai alat kebijakan yang dapat mengatur perilaku masyarakat demi tujuan tertentu, yaitu salah satunya untuk keberlanjutan sumber daya alam. Dengan dikeluarkannya larangan penggunaan air tanah di sebagian wilayah Jakarta per 1 Agustus 2023 yang dilandasi Pergub Nomor 93 Tahun 2021, maka akan ada potensi berkurangnya penerimaan daerah dari air tanah.
ADVERTISEMENT
Retribusi Air Permukaan untuk Penunjang Pajak Air Tanah
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, pemerintah provinsi dapat memungut pajak dari objek air permukaan. Akan tetapi, dengan diterbitkannya UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) pada tahun 2022, maka air permukaan tidak dapat dipungut pajaknya lagi oleh daerah. Meskipun demikian, peluang untuk mengumpulkan pendapatan dari air permukaan dapat difokuskan ke retribusi air permukaan. Menurut pasal 1 ayat 11 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024, retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dari definisi tersebut, pemprov berkesempatan untuk memungut retribusi dengan memberikan beberapa layanan tertentu terkait dengan air permukaan. Salah satu contoh yang sudah diterapkan oleh Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta adalah layanan penyelidikan, pengujian, dan pengukuran terkait air permukaan dengan tarif yang beragam. Selain itu, pemberian izin berupa surat izin pengambilan dan pemanfaatan air permukaan (SIPPA) dapat menjadi salah satu objek retribusi pemerintah provinsi. Pengenaan tarif retribusi dapat dikenakan pada saat pengajuan izin di awal ataupun ketika melakukan perpanjangan izin bagi orang pribadi maupun badan yang akan mengambil atau memanfaatkan air permukaan. Hal ini dikenakan karena pemerintah provinsi melalui dinas sumber daya air terkait juga mampu untuk memberikan layanan untuk objek yang diajukan perizinannya yaitu air permukaan.
ADVERTISEMENT
Strategi Optimalisasi Pajak Air Tanah di tengah Kebijakan Baru Penggunaan Air Tanah
Larangan penggunaan air tanah pada daerah-daerah yang sudah memiliki akses ke pipa PAM dan moratorium penerbitan izin baru penggunaan air tanah adalah kebijakan yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta untuk meminimalkan penurunan tanah. Meskipun demikian, bukan berarti potensi pajak air tanah tersebut berkurang seluruhnya. Masih ada celah perbaikan untuk mengoptimalisasi pendapatan pajak air tanah yang dapat dipungut oleh Pemprov DKI Jakarta. Salah satu masalah yang terjadi terkait pungutan ini adalah ditemukannya penyimpangan kewajiban seperti ketidakpatuhan dalam pembayaran pajak air tanah tepat waktu, pengalihan pemanfaatan air tanah yang sebelumnya untuk rumah tangga menjadi tempat usaha, dan banyaknya sumur atau pengeboran air tanah ilegal yang dibangun. Dari masalah-masalah tersebut, tempat pengambilan air tanah ilegal dapat menjadi fokus penyelesaian utama karena pemanfaatan sumber daya secara berlebihan, tidak berizin, dan tidak berkontribusi dalam pungutan pajak air tanah sesuai peraturan daerah.
ADVERTISEMENT
Strategi pertama adalah pemerintah provinsi perlu melakukan integrasi data antara OPD terkait seperti dinas sumber daya air dengan dinas penanaman modal perizinan terpadu untuk pendataan dan pengadministrasian izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang lebih akurat. Karena adanya kebijakan moratorium izin pemanfaatan air tanah, maka ketidaksesuaian jumlah sumur air tanah di lapangan dan yang tercatat memiliki izin di data pemerintahan mengindikasikan bahwa selisih tersebut adalah sumur ilegal yang perlu ditindaklanjuti dengan penutupan atau penertiban.
Kedua, perbandingan kebutuhan dan pemakaian air tanah menjadi salah satu solusi untuk menemukan potensi penggunaan air tanah ilegal. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh pengamat kebijakan publik, Budi Siswanto, bahwa hanya sekitar 200 gedung tinggi di Jakarta yang memiliki izin pengelolaan air bersih dari 3000 sampai 4000 gedung tinggi yang ada di tengah kebutuhan penggunaan air tanah yang cukup tinggi. Pemerintah provinsi dapat mengumpulkan data proyeksi kebutuhan air tanah dengan data jumlah dan komposisi pemakaian air seluruh sektor di wilayah Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengawasi dan membatasi penggunaan air tanah. Selain itu, strategi ini dapat menjadi alat untuk menemukan adanya indikasi ketidakwajaran penggunaan yang berlebihan ataupun yang berbeda jauh dengan proyeksi kebutuhan air.
ADVERTISEMENT
Terakhir, perlu adanya evaluasi untuk tahun-tahun mendatang terkait tarif pungutan pajak air tanah, kebijakan zona bebas air tanah sebagai wilayah yang dilarang untuk menggunakan air tanah, moratorium penerbitan izin, dan hasil penurunan tanah di wilayah Jakarta. Hasil evaluasi ini yang nantinya akan dapat digunakan untuk melihat dan memperbaiki bagaimana pajak menjalankan fungsinya sebagai regulerend dan budgetair. Dari fungsi tersebut, diharapkan pajak air tanah dapat menjadi salah satu sumber PAD yang memiliki tren positif di masa yang akan datang sekaligus mengatur agar pemakaian air tanah menjadi lebih bijak, tercatat akurat, dan mendukung kelestarian serta keberlanjutan.
Air tanah sebagai salah satu objek pajak daerah DKI Jakarta memang menjadi salah satu pemicu penurunan tanah. Hal ini menyebabkan pemerintah provinsi terkait mengeluarkan beberapa aturan seperti larangan penggunaan air tanah di beberapa wilayah dan pengendalian lainnya. Kebijakan tersebut sedikit banyak dapat berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk membiayai fungsi pemerintahan. Realisasi pajak air tanah berdasarkan data Bapenda DKI Jakarta selama 5 tahun terakhir hingga Oktober 2023 mengalami tren penurunan. Sebagai alternatif, Pemprov DKI Jakarta dapat memanfaatkan serta meningkatkan layanan untuk retribusi air permukaan melalui izin pemanfaatan dan layanan pengelolaan sumber daya air agar menunjang pendapatan provinsi karena potensi pajak air tanah yang berkurang. Selain itu, optimalisasi pajak air tanah dapat berlaku dengan meningkatkan pengawasan terhadap sumur atau pengambilan air tanah ilegal, analisis data kepatuhan wajib pajak, dan evaluasi kebijakan secara berkala. Dengan demikian, pajak air tanah diharapkan dapat semakin baik dalam menjalankan fungsinya sebagai fungsi budgetair untuk meningkatkan pendapatan daerah dan fungsi regulerend untuk mengatur perilaku masyarakat demi menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya air.
ADVERTISEMENT