Konten dari Pengguna

Simbolisme Pernikahan Adat Jawa Sebagai Ritual

Audi Alya Zuhry
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2021 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22 Desember 2024 10:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Audi Alya Zuhry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pernikahan Jawa adalah upacara yang penting secara budaya dan kaya akan simbol. Ada beberapa upacara yang menyampaikan makna mendalam, baik secara harfiah maupun simbolis, dalam pernikahan tradisional Jawa. Teori semiotika Roland Barthes dan Benny Hoed dapat digunakan untuk mengkaji makna dari ritual-ritual seperti injak telur, jual beli cendol, siraman, dan lain sebagainya untuk menyelami simbol-simbol budaya yang dibawanya. Semiotik menurut Barthes, yaitu memaknai bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem tersetruktur dari tanda. Sedangkan menurut Hoed, semiotik adalah ilmu yang berfokus pada bagaimana tanda berfungsi dalam budaya dan masyarakat, serta bagaimana makna dibangun melalui penggunaan tanda-tanda dalam komunikasi.
ADVERTISEMENT
Teori Simbol dan Makna Roland Barthes
1. Menginjak Telur dalam Pernikahan Adat Jawa
ADVERTISEMENT
2. Menjual Cendol dalam Pernikahan Adat Jawa
ADVERTISEMENT
3. Siraman dalam Pernikahan Adat Jawa
ADVERTISEMENT
Teori Simbol dan Makna Benny Hoed
1. Menginjak Telur dalam Pernikahan Adat Jawa
Hoed berfokus pada bagaimana simbol ini mengungkapkan ide tentang peran gender dan peran sosial. Dalam masyarakat Jawa, pengantin pria biasanya yang pertama menginjak telur, yang bisa dilihat sebagai simbol dari kekuatan dan kewibawaan laki-laki dalam memulai perjalanan pernikahan. Bagi perempuan, telur yang diinjak berarti ketahanan dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan rumah tangga yang penuh tantangan.
2. Menjual Cendol dalam Pernikahan Adat Jawa
Hoed dapat memandang tradisi ini sebagai manifestasi dari sistem sosial dalam budaya Jawa. Jualan cendol dalam konteks ini bukan hanya tentang membagikan makanan, tetapi tentang mempererat hubungan sosial antara keluarga pengantin dan masyarakat. Hal ini mengingatkan pada konsep prihatin dalam budaya Jawa, di mana kebersamaan dan kerjasama sangat dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
3. Siraman dalam Pernikahan Adat Jawa
Hoed memperkenalkan konsep bahwa budaya Jawa sering memiliki struktur yang mendalam dan memiliki makna sosial yang kompleks. Siraman bukan hanya sekedar tindakan pembersihan, tetapi juga mencerminkan nilai gotong royong dan penghormatan terhadap leluhur. Siraman adalah ritual untuk menghormati yang lebih tua, seperti orang tua pengantin, yang berperan dalam menjaga hubungan sosial antar generasi.
Melalui pendekatan semiotika Benny Hoed dan Roland Barthes, terlihat jelas bahwa simbolisme pernikahan adat Jawa memiliki makna yang mendalam. Setiap adat pernikahan, termasuk siraman, injak telur, dan jualan cendol, menyampaikan pesan tentang hubungan sosial, keberkahan, kesiapan, dan pembersihan. Studi semiotika ini membantu kita untuk lebih memahami bahwa pernikahan Jawa adalah proses transisi dengan unsur-unsur spiritual, sosial, dan budaya yang saling terkait, bukan hanya seremonial.
ADVERTISEMENT