Rendahnya Angka Pekerja Perempuan Akibat Budaya Patriarki

Audi Aura
Mahasiswa Sosiologi FISIP UMM
Konten dari Pengguna
16 Januari 2022 12:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Audi Aura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay,com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay,com
ADVERTISEMENT
Berkarier sesuai passion menjadi keinginan sebagian banyak perempuan masa kini selain hidup bahagia bersama suami dan anak. Bekerja di sektor formal hingga mendapatkan promosi kerja, suami membantu pekerjaan rumah dan seluruh keluarga saling mendukung satu sama lain merupakan impian. Namun, banyak juga dari perempuan yang tidak dapat mewujudkannya akibat adanya anggapan perempuan hanya boleh melakukan pekerjaan domestik. Anggapan tersebut telah menjadi sebuah budaya dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sumur, dapur, dan kasur menjadi hal yang selalu dikaitkan pada perempuan. Perempuan selalu dinilai harus mampu dan hanya boleh melakukan pekerjaan rumah (domestik), tidak boleh aktif berkontribusi di luar rumah seperti bekerja di sektor formal, karena ada suami dan anak yang harus diurus. Demikian lah yang membuat masih rendahnya pegawai pada kalangan perempuan.
Perempuan Bekerja vs Ibu Rumah Tangga
Realitas pada masa kini mungkin sudah banyak perempuan yang dapat bekerja di luar rumah, namun tidak hanya dapat bekerja perempuan tetap dituntut untuk melakukan pekerjaan rumah (domestik). Jadi, jika perempuan memilih untuk bekerja, maka perempuan dituntut harus bisa melakukan dua hal sekaligus, menjadi ibu rumah tangga untuk urusan domestik dan bekerja menjadi pegawai di ranah publik. Sedangkan laki-laki tetap dianggap tidak perlu memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan domestik. Laki-laki tetap dianggap lebih unggul dan hanya menjadi pemimpin
ADVERTISEMENT
Tak sedikit pada dunia kerja pun akhirnya mengikuti budaya patriarki yang berlaku di masyarakat. Banyak posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak pantas sebagai pemimpin, karena anggapan bahwa perempuan terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan yang bijak. Selain itu, ada sebagian perempuan yang akan bekerja namun kesulitan karena pendidikan yang diperoleh sebelumnya.
Karena anggapan perempuan yang lebih baik menjadi ibu rumah tangga, membuat mereka kurang mendapatkan dukungan dari keluarga untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Masih banyak keluarga yang menganggap bahwa pendidikan tinggi tidak terlalu penting, karena pada akhirnya perempuan akan hanya di rumah menjadi ibu rumah tangga melakukan pekerjaan domestik.
Ketidakadilan gender inilah yang mengakibatkan perempuan di dunia kerja lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dari data yang ditunjukkan oleh Ida Fauziah melalui Webinar “Menghapus Kesenjangan Gender di Dunia Kerja”, Menteri Ketenagakerjaan RI bahwa di Indonesia ada 55,4% pekerja perempuan dan 83% laki-laki pada tahun 2018. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa tenaga kerja perempuan masih di bawah laki-laki, 69,18% perempuan dan 75,96% laki-laki. Data-data tersebut jelas menunjukkan jika tenaga kerja perempuan masih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki.
ADVERTISEMENT
Budaya Patriarki Membelenggu Perempuan
Patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih unggul yang menjadi otoritas utama dan perempuan diposisikan lebih rendah dari laki-laki. Laki-laki ditempatkan selalu lebih unggul sebagai pemegang kekuasaan dan mendominasi dalam berbagai peran. Patriarki lambat laun menjadi sebuah budaya sehari-hari dan perempuan sebagai korban. Adanya budaya patriarki menjadikan perempuan dikonotasikan sebagai pekerja domestik yang menuntut perempuan agar selalu bisa melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan membereskan rumah. Hal ini lah yang menjadikan sulitnya perempuan untuk bisa aktif bekerja di luar rumah.
Kebanyakan munculnya budaya ini ada di lingkungan keluarga, seperti orang tua atau mertua dari perempuan yang melarang seorang istri melakukan pekerjaan di luar rumah atau suami yang meminta istri untuk tidak berkarier lagi setelah menikah. Bagi mereka perempuan lebih baik melayani suami dan menjaga anak daripada harus bekerja di luar rumah. Seolah-olah yang hanya bisa melakukan pekerjaan rumah (domestik) mutlak dikuasai perempuan, sedangkan laki-laki hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang memimpin keluarga akhirnya merasa bahwa bukan kewajibannya untuk melakukan pekerjaan rumah.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya mungkin sudah banyak dilakukan untuk menghilangkan budaya patriarki ini, namun hal tersebut bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Budaya patriarki telah ada sejak dulu dan tertanam kuat sampai sekarang. Banyak penghambat dari upaya-upaya yang dilakukan. Budaya patriarki dianggap sebuah adat istiadat dan dikaitkan dengan agama, lalu adanya kontruksi sosial di masyarakat yang dianggap hal sepele seperti “Laki-laki itu yang kuat, jangan lemah kayak perempuan,” tanpa sadar pernyataan tersebut membuat anggapan bahwa perempuan selalu lemah. Padahal tidak selamanya perempuan itu lemah dan laki-laki selalu kuat, ada kalanya manusia menjadi lemah dan wajar untuk menangis meluapkan rasa sedihnya.
Dari hal-hal yang menunjukkan ketidakadilan gender ini, sudah saatnya kita membuka pikiran orang-orang sekitar yang masih mengikuti budaya patriarki. Mengubah mindset dan membuang budaya patriarki sedikit demi sedikit. Kita sebagai orang yang sadar akan ketidakadilan dapat melakukan pergerakan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Memberikan perempuan kesempatan dalam mengakses berbagai hal yang sebelumnya sulit diwujudkan bisa menjadi solusi paling awal. Laki-laki juga bisa menjadi solusi lain untuk menghapus budaya patriarki, dengan adanya kesadaran laki-laki akan pentingnya hak perempuan juga maka dapat membantu menghapuskan budaya patriarki yang ada.
ADVERTISEMENT
Oleh Audi Aura Lazuardi Ananta
Mahasiswa Sosiologi FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang