Kehidupan Anak ‘Strict Parents’

Audi Raihanah
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
9 Juli 2021 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Audi Raihanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak dan orang tua. Foto: istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak dan orang tua. Foto: istockphoto.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan yang ketat. Orang tua saya adalah tipe orang tua yang mengatur anaknya sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa menghargai perasaan dan pendapat anaknya. Dalam pola asuhnya, saya melihat bahwa tipe orang tua ini cenderung menetapkan tingkatan kontrol yang tinggi terhadap anak melalui sejumlah aturan ketat yang harus diikuti, bahkan terkadang disertai dengan hukuman tertentu jika terjadi pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Aturan yang disertai dengan hukuman tersebut dapat terlihat ketika Ibu saya selalu berkata “Kamu tidak boleh pulang lewat dari jam 7 malam, kalau melebihi jam tersebut, kami tidak akan mengizinkan kamu untuk pergi main lagi.” Awalnya, saya selalu menuruti perintah tersebut karena takut akan hukuman yang akan diberikan. Namun, ketika saya menginjak usia remaja, hal ini justru membuat saya mempunyai keinginan untuk melanggar batasan waktu yang telah ditentukan sebelumnya dan kerap kali merasa takut untuk memberikan alasan yang jujur ketika hendak pergi bermain dengan teman-teman.
Sebenarnya, saya memahami bahwa aturan dan sanksi yang diberikan oleh orang tua saya adalah untuk melindungi saya dari pergaulan bebas, mengingat saya merupakan anak bungsu dengan perbedaan usia yang cukup jauh dengan kakak-kakak saya, yaitu sekitar 8 sampai 15 tahun. Ketidakhadiran kedua kakak saya yang sudah menikah dan bekerja di luar kota membuat orang tua saya lebih berhati-hati dalam menjaga dan memperlakukan saya dalam keseharian, sebab secara teknis saya adalah satu-satunya anak yang masih tinggal bersama dengan orang tua saya.
ADVERTISEMENT
“Tidak boleh memiliki teman dekat laki-laki sampai kuliah,” perkataan Ayah yang selalu saya ingat. Hal ini membuat saya takut dan berujung tidak berkata jujur kepada orang tua saya ketika terlibat dalam suatu kondisi yang terdapat laki-laki di dalamnya. Hal ini saya lakukan karena tahu bahwa tidak akan diberi izin. Misalnya, ketika saya harus melakukan kerja kelompok, saya akan menolak untuk melakukan kerja kelompok di rumah saya. Lalu, ketika saya bepergian dengan beberapa teman dan terdapat laki-laki dalam kelompok tersebut, saya akan mengajukan izin bepergian dengan teman perempuan yang sekiranya diketahui orang tua saya.
Dalam proses menjadi dewasa, saya menyadari bahwa tindakan melanggar peraturan dan tidak berkata jujur merupakan hal yang buruk. Namun, dalam waktu tertentu saya juga merasa tidak mempunyai pilihan lain, karena aturan ini terkadang terlalu membatasi saya dalam bergaul dengan teman-teman dan membuat diri saya merasa kurang mengeksplorasi hal-hal baru. Pola asuh yang demikian membuat saya menjadi seseorang yang takut dan cukup bergantung pada apa yang dilakukan orang tua saya.
ADVERTISEMENT
Saya merasa bahwa alasan dari setiap hal yang saya lakukan adalah rasa takut yang saya miliki terhadap orang tua, bukan berdasarkan keinginan saya sendiri. Hal ini juga yang membuat saya tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri dan suka menyalahkan diri sendiri. Walaupun harus diakui bahwa saya memiliki kebiasaan dan rutinitas yang cukup baik. Namun, tetap saja kedua hal tersebut tidak didasarkan pada pembelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman pribadi, melainkan berasal dari ajaran dan aturan orang tua saya.
Sebagai seorang anak yang mengalami bagaimana rasanya diasuh dengan ekspektasi dan tingkat kontrol yang tinggi, saya menyadari bahwa batasan yang diberikan oleh orang tua kepada anak memang diperlukan untuk melindungi dan menjaga anak dari hal-hal buruk yang terjadi di usia pertumbuhannya, terutama dalam hal pergaulan. Namun, saya merasa bahwa batasan yang terlalu ketat juga tidak sehat dan berpotensi memperbesar keinginan anak untuk melanggar batasan tersebut. Sebaliknya, batas-batas yang diterapkan pada anak seharusnya diseimbangkan dengan kasih sayang, kehangatan dan kepedulian yang diekspresikan secara tepat.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah dengan memberikan kesempatan anak untuk mengutarakan pendapat hingga ketidaknyamanan yang dirasakan ketika menjalani aturan yang diberikan. Selain itu, orang tua juga dapat memberikan pengarahan yang bijak ketika anak melanggar aturan. Saya merasa hal ini lebih baik dilakukan daripada memberikan hukuman yang berpotensi menyakiti anak secara emosional. Sikap disiplin dalam pemberian batasan dan aturan seharusnya dipergunakan orang tua dalam mengajarkan dan menumbuhkan rasa toleransi, rasa peduli, dan rasa saling memiliki antar sesama. Dengan begitu, anak akan terbiasa untuk bersikap baik dalam lingkup keluarga, teman sebaya, maupun sosial masyarakat.
(Audi Raihanah / Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)