Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Reisverhaal: Pesona Argopuro, Gunung dengan Trek Terpanjang di Jawa
22 Februari 2020 18:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Audrey Marianne tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Story ini dibuat karena penulisnya udah gatel banget pengin naik gunung lagi. Jadi, tulisan ini untuk mengobati kerinduan yang belum tuntas.
Argopuro bukan nama yang familier bagi pendaki karbit macam saya, apalagi bila disandingkan dengan Semeru dan Rinjani. Rasanya kurang populer. Namun, Argopuro memiliki trek terpanjang di Pulau Jawa, melintasi lima kabupaten sekaligus. Wow...
ADVERTISEMENT
Mengenal Argopuro tidaklah lama. Cukup singkat, sesingkat penjelasan seorang teman di sebuah grup koordinasi pendakian di WhatsApp.

Perjalanan cukup panjang. Kami start dari Jakarta menuju Malang dengan menggunakan Matarmaja. Pendaki slash backpacker macam gerombolan saya adalah gerombolan ogah rugi yang mencari tiket murah haha. Jadi, naiklah kami Matarmaja. Ga banyak hal yang bisa dilakukan di kereta ekonomi dengan berjubel penumpang. Isinya cuma streaming film di Netflix, makan camilan, dan tidur. Paling merokok setiap keretanya berhenti, itu juga cuma dapet sebatang Marlboro.
Perjalanan jauh itu akhirnya mengantar kami ke basecamp Bremi. Karena kami trekking di siang hari, maka target kami adalah camp malam di Taman Hidup. Iya, Taman Hidup adalah danau yang berada di ketinggian 2.000-an mdpl.
Puas tidur dan foto-foto, kami lanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan, saya tidak bertemu dengan kelompok pendaki sama sekali. Mungkin karena sedang menuju bulan puasa, pikir saya. Karena sudah magrib dan tempat camp masih jauh, kami memutuskan bermalam di tempat darurat, di pinggir jurang. Malam itu, baru sekali, dibanding menyetel musik reggae khas gerombolan gunung, kami malah menyetel lagu rohani. Kami ngeri disambangi macan kumbang dan babi yang konon berseliweran di daerah itu.
ADVERTISEMENT
Hari ketiga, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Argopuro. Semakin jauh berjalan, saya sadar tidak ada kelompok pendaki yang kami temui. Jalan yang ditapaki juga semakin rapat rumputnya, semakin sedikit pula sampahnya.
Saya punya analisa sendiri soal jalur. Kalau kita sudah tidak menemukan sampah, bisa jadi tersesat atau buka jalur baru. Jalurnya juga makin gila, makin sempit, terjal dan licin. Lutut saya rasanya sudah menyentuh dagu, saking tingginya undakan. Belum lagi tangan makin dikaryakan untuk bergelantungan di dahan. Ini sih, trek Rinjani dicampur Ciremai via Linggarjati, pikir saya. Belum lagi, hujan turun tak lama kemudian.
Ealah, sudah trek susah, langkah melambat pula karena licin. Tapi tak lama kemudian, puncak sudah kelihatan. Buru-buru jalan, untuk akhirnya duduk dan rebah.
ADVERTISEMENT
Tapi setelah sampai puncak, muka-muka melas ini akhirnya semringah sedikit.
Kami terpaksa skip Puncak Rengganis karena masyaallah, kaki rasanya sudah gak kooperatif. Kami melanjutkan perjalanan ke Rawa Embik. Diiming-imingi buka tenda, rebahan dan jahe hangat, buru-buru kami angkat carrier dan bergegas ke sana.
Paginya, matahari bersinar lumayan lama. Kami segera menggelar jemuran. Saya keluarkan kamera dan memotret kegiatan di Rawa Embik.
Beberapa kawan mulai protes:
"Mana nih meraknya?"
"Katanya ada padang savana? Kok dari kemarin kita merangkak melulu?"
"Kapan landainya?"
Dengan perjalanan kurang lebih 2 jam, sampailah kami di Cikasur, pos yang dulunya adalah lapangan udara pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Kami sampai di sana sore hari.
Makan malam dilanjut dengan minum teh atau jahe hangat di tenda. Di sela senda gurau, seorang kawan bertanya kenapa sepanjang jalur, kami jarang menemukan pendaki lain. Ternyata, jalur yang biasa dipakai adalah Baderan-Bremi dan kami malah melakukan sebaliknya.
"Tapi enak ya, jalurnya bersih ga ada sampah."
"Iyalah, jalur yang kemarin kita pake itu jalur petani. Motong jalur, jadi lebih cepet, tapi ya harus ngerangkak bukit kayak kemarin."
Sianying...
Pagi di Cikasur indah banget. Udah, gitu aja. Bangun tidur, bikin susu hangat, lalu nongkrongin sunrise-nya Argopuro. Siangnya, makan salada air (tumbuh subur di mata air) diguyur bumbu pecel Madiun. Beuh...
Sisanya, kami jalan tembak langsung ke Baderan. No camp, no lunch. Ada deng lunch, tapi makan yang ada aja seperti cokelat dan roti yang biasanya dibagi-bagi buat se-tim.
Percaya atau enggak, walau jalurnya gokil dan perjalanannya panjang, saya kangen Argopuro.
ADVERTISEMENT