Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Reisverhaal: Retret di Rinjani
14 Mei 2020 16:44 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Audrey Marianne tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disclaimer: Tulisan ini dibuat untuk merayakan dua tahun pendakian Rinjani.
Saya punya agenda tahunan: naik gunung. Setiap tahun, saya dan beberapa teman akan naik satu gunung di Indonesia dengan total lama perjalanan kurang lebih 1 minggu. Kenapa lama sekali, sih? Kami sengaja menyisihkan jatah cuti sedemikian panjang, untuk betul-betul istirahat. Tanpa sosial media, tanpa interaksi dengan pekerjaan kantor sama sekali (karena tidak ada sinyal juga, sih). Retret, saya menyebutnya. Menjauhkan diri sejenak dari rutinitas, menyingkir sejenak. Tujuannya satu, menghindari stres, lihat pemandangan baru, dan (mungkin) belajar hal baru.
Retret terbaik sampai saat ini adalah perjalanan saya mendaki gunung Rinjani. Bukan hanya pemandangannya yang indah luar biasa, tapi juga ada beberapa pengalaman yang mengubah cara pandang saya untuk beberapa hal.
Day 1: Pos Rimba dan Bukit Penyesalan
Pendakian, yang semula hanya ada di benak kami masing-masing, menjadi nyata saat kami mulai berjalan dari Pintu Rimba Desa Sembalun. Rasanya menyenangkan sekali, apalagi saat bertemu dengan rombongan sapi yang merumput di padang, duduk menyaksikan Desa Sembalun dari ketinggian. Aduh, sungguh pemandangan yang beda dari biasanya.

Tapi, semakin jauh berjalan, kami betul-betul merasakan kaki yang semakin lama semakin diseret, pundak yang kelamaan pegal, dan tenaga yang dikuras habis-habisan oleh tanjakan dan trek yang panjang.
Saya membiarkan diri membawa carrier kurang lebih 14 kg beratnya, diisi air mineral, (sebagian) logistik, dan perlengkapan pribadi. Saya ngoyo banget ingin sampai di pos 3 di hari pertama, padahal napas tinggal satu-dua karena kebanyakan merokok. Alhasil, malah tepar di pos 2 dan terpaksa bermalam disana. Disini saya belajar, penting untuk tahu diri kita sendiri. Seberapa mampu, seberapa kuat. Tidak perlu dipaksa ingin bawa beban yang banyak, tidak perlu ingin terlihat kuat. Kalau sudah capek, rehat dulu kemudian mulai lagi.
Beruntung, pemandangan Rinjani luar biasa cantiknya. Setiap merasa capek, saya menoleh ke belakang dan terhamparlah padang hijau yang ditimpa sinar matahari sore yang keemasan. Bukit Pergasingan berdiri kokoh, seolah memastikan kami baik-baik saja. Saya mengucap nama Tuhan berkali-kali karena hari itu, Rinjani sangat indah.
Ada juga hari-hari dimana pendakian tak bisa ditolerir. Di Bukit Penyesalan, kami terpaksa rehat mendadak di tengah trek karena mendadak sungguh menyesal ingin mendaki Rinjani. Bukit-bukit ini memaksa kaki kami melangkah lebih tinggi, padahal matahari Lombok terik bukan main. Belum lagi trek yang berdebu, dan debunya selalu masuk ke hidung dan mulut. Dan jangan lupakan bawaan kami semua, masing-masing memanggul carrier dengan bobot yang berat. Ya, kami tidak pakai porter karena mahal haha...
Day 2: Plawangan Sembalun
18.00 WITA. Saya sampai di Plawangan Sembalun, pos terakhir yang terletak di punggung gunung. Pos ini adalah tempat terakhir untuk mendirikan tenda. Berdua dengan rekan satu tim, saya duduk terdiam karena kelelahan berjalan selama kurang lebih 5 jam nonstop. Sambil terduduk meratapi nasib yang terpisah dari rombongan (satu kelompok sedang mencari tempat untuk berkemah, satu kelompok lagi tertinggal jauh di belakang), kami menyaksikan detik-detik matahari menghilang dari balik gunung.
Saat-saat hening menikmati sunset ini saya sadar satu hal. Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain, merasa iri dengan yang sampai duluan, atau merasa kasihan dengan teman-teman yang masih jauh di belakang. Nikmati saja bagian kita, karena medan yang sama belum tentu dilalui dengan cara yang sama. Hasilnya bisa sama, bisa juga berbeda. Jadi, saya rasa, tidak usah membandingkan diri dengan orang lain karena memang setiap orang punya 'timeline' yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Day 3: (Masih) Plawangan Sembalun
Hari-hari selanjutnya sangat menyenangkan. Bangun pagi hari untuk sekadar menyesap teh dan menikmati sunrise, kemudian kembali ke tenda untuk melanjutkan tidur. Bangun (lagi) agak siang, cari mata air, dan bersiap membuat makan siang. Biasanya kami ramai-ramai menyerbu dapur. Ada yang merajang bumbu, memasak nasi (bagian paling sulit!), dan ada juga yang diam saja karena memang tidak bisa masak. Setelah makan bersama, kami membuat segelas kopi yang biasanya akan disesap ramai-ramai. Then, sit back and relax. Nikmatnya memandangi Danau Segara Anak ditemani segelas kopi dan rokok kretek. Beuh, mantap!
Day 4: Puncak Rinjani
Menggapai Puncak Rinjani jadi agenda selanjutnya. Saya dan tim memulai pendakian di jam 02.00 WITA. Sempat istirahat sebentar menikmati sunrise di tengah pendakian, kemudian summit di jam 11.00 WITA. Sampai di puncak, saya sempat Live Instagram karena ternyata ada sinyal XL di puncak sana. Gokil!
Day 5: Last day
Untuk setiap perjalanan yang menyenangkan, rasanya sulit sekali jika diakhiri. Kami mengakhiri pendakian Rinjani dengan menuruni gunung itu 8 jam non-stop. Oke, stop sedikit-sedikit untuk quick lunch. Setelah sampai Sembalun, kami langsung tancap gas ke Lombok karena seorang kawan harus mengejar flight terakhir ke Jakarta.
Tapi, kenapa harus pulang ketika masih ada cuti? Hahaha...
Maka, saya dan teman-teman memutuskan menginap dua hari di Lombok untuk berburu brem.
Perjalanan ini sudah diupayakan dengan baik dan maksimal, selama dua tahun lebih. Tapi ada saja halangannya, mulai dari teman yang tak kunjung lulus kuliah (pengin ikutan naik, tapi masih skripsi-an. Duh!), dan seorang teman yang tidak dapat cuti. Saya percaya, naik gunung itu jodoh-jodohan. Kalau berjodoh dengan waktunya, eh cuacanya buruk. Cuaca dan waktunya pas, uangnya tak ada. Dengan begitu banyak halangan, saya dan tim berupaya yang terbaik dengan segala rencana, tapi kemudian berserah juga. Terserah waktunya Tuhan, sejodohnya saja. Do your best and God will do the rest. Puji Tuhan, summit Rinjani berhasil digapai di tahun 2018.
Tahun ini, memang rada tidak ada jadwal pendakian. Sebaik-baiknya saya berencana untuk mendaki tahun ini, rasanya memang belum waktuNya. Corona membuat saya retret di rumah saja.
Lumayan lah, retret tahun ini lebih murah dan irit.
ADVERTISEMENT