Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kisah Pedagang Tradisional di Pasar Beringharjo, Menjaga Budaya di Era Digital
20 Januari 2025 11:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Audy Nadya Anggraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pukul sepuluh pagi, ketika terik matahari mulai menaikkan temperatur udara, pasar di pusat kota ini sudah penuh hiruk-pikuk. Aroma manis kue klepon dari halaman depan bercampur dengan wangi kain batik yang memenuhi lantai bawah. Dari pintu masuk, beragam baju dan tas bermotif batik hingga bunga menyambut pengunjung dengan warna-warna cerah. Para pedagang riuh bersahutan menawarkan dagangan, sementara pembeli berlalu-lalang menelusuri lorong-lorong sempit yang menyimpan ratusan cerita, menjadikannya destinasi menarik untuk dikunjungi.
ADVERTISEMENT
Di samping tangga dekat pintu masuk, tampak lorong kecil dengan beragam tas yang tergantung rapi. Mulai dari tas berbahan rajut, kain goni, plastik, hingga bambu, semuanya hadir dengan motif dan warna unik yang menarik perhatian siapa pun yang melintas. “Tas dengan motif batik dan bunga-bunga seperti ini paling banyak disukai, Cah Ayu. Soalnya unik, kelihatan khas Jogjanya, jadi beda dengan tas-tas lainnya,” ujar Bu Astuti, seorang pedagang yang telah berjualan tas tradisional sejak tahun 2000-an di pasar ini. Sambil menunjukkan dua tas bermotif berbeda, Bu Astuti menjelaskan keunggulan produknya.
Meski suasana pasar tampak ramai, Bu Astuti mengaku menghadapi tantangan dalam beberapa tahun terakhir. “Sekarang jualannya di kios begini saja, Cah Ayu. Alhamdulillah masih ada pembelinya, tapi ya begitu, tidak sebanyak sebelum COVID-19,” ujarnya saat ditanya mengenai kesan berjualan langsung di pasar. Bu Astuti mengungkapkan bahwa ia pernah mencoba memasarkan dagangannya di toko online. Namun, usaha tersebut tidak berlangsung lama karena ia merasa pengalaman berjualan online tidak dapat menggantikan toko fisik. Terlebih lagi, tekanan dari pembeli daring yang tidak sabar membuatnya tertekan hingga memengaruhi kondisi psikis dan fisiknya. Meski begitu, sokongan para pemasar yang bekerja sama dengannya membuat usahanya tetap bertahan hingga kini.
ADVERTISEMENT
Tak jauh dari lorong tas batik, di lorong kedua terdapat berbagai pernak-pernik khas yang kerap menjadi pilihan pembeli untuk dijadikan buah tangan, seperti blangkon, dompet batik, kalung etnik Jogja, hiasan dinding, cangklong, miniatur candi, hingga gantungan kunci dengan berbagai bentuk dan tulisan bernuansa Jogja. “Gantungan kunci yang ada tulisan Jogja dan Malioboro biasanya yang paling banyak dicari, Mbak,” ujar Pak Yadi, seorang penjual aksesori yang sebelumnya berjualan bakpia di tempat yang sama. Ia dengan cekatan merapikan dompet batiknya yang menjadi sasaran pengunjung yang hanya sekadar melihat-lihat. "Alhamdulillah, aksesori begini masih banyak yang minat, terutama wisatawan dari luar Jogja." sambung Pak Yadi.
“Jualan langsung seperti ini lebih kerasa dibandingkan jualan online, Mbak.” ungkap Pak Yadi saat ditanya mengenai peluang berniaga secara daring. “Saya pernah coba jualan online, tapi tidak cocok. Rasanya seperti tidak melakukan apa-apa, jadi tidak terasa produktifnya,” sambung Pak Yadi dengan yakin. Meskipun tidak memanfaatkan media sosial, Pak Yadi mengaku usahanya tetap berjalan dengan baik, meskipun pandemi COVID-19 sempat membuatnya kewalahan dan hampir kehilangan pekerjaan. Menurut Pak Yadi, meskipun ada pedagang yang beralih ke penjualan online, sentuhan manusia dalam cara-cara tradisional tidak dapat digantikan. Suasana pasar yang kental dengan nuansa tradisional, beragam produk lokal, dan keramahan para pedagang tetap menjadi daya tarik bagi wisatawan maupun warga lokal yang datang ke pasar ini..
ADVERTISEMENT
Bagi pedagang seperti Bu Astuti dan Pak Yadi, pasar ini bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga ruang untuk menjaga tradisi dan warisan budaya. Lorong-lorongnya yang penuh cerita menjadi pengingat bahwa teknologi tidak selalu bisa menggantikan kehangatan interaksi manusia di dalamnya.
Tidak hanya pakaian dan aksesori, sudut lain pasar ini juga dipenuhi jajanan tradisional, seperti klepon, getuk, dan lupis. Warna-warninya mencolok di antara daun pisang yang digunakan sebagai pembungkus. Suasana menjadi semakin hidup dengan lincahnya gerakan tangan para pedagang yang menyiapkan pesanan pembeli. Aroma gula merah, parutan kelapa, dan kukusan kue membawa kembali kenangan manis tentang masa lalu, seolah menghubungkan generasi ke generasi melalui rasa yang tak pernah berubah.
Di tengah tantangan zaman dan teknologi, lorong-lorong pasar ini tetap hidup sebagai saksi bisu perjalanan budaya dan ekonomi Yogyakarta. Bagi pengunjung, pasar ini bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga ruang nostalgia yang penuh cerita dan budaya. “Beringharjo menurutku bukan sekadar pasar, tapi juga tempat belajar,” ujar Tsabita, salah satu pengunjung yang juga merupakan warga lokal Jogja. “Walaupun aku akamsi, vibes-nya selalu bikin nyaman. Padahal, biasanya pasar panas dan bikin nggak betah. Tapi Beringharjo beda,” sambungnya. Menurut Tsabita, keaslian Jogja di pasar ini tetap terjaga. Tas, pakaian, kain, aksesori, hingga makanan dengan nuansa yang sama setiap harinya menjadi bukti bagaimana warisan budaya Jogja terus hidup dalam ingatan para wisatawan.
ADVERTISEMENT
Para pengunjung menikmati kesempatan untuk melihat, meraba, dan merasakan barang yang akan mereka beli. Setiap sudut pasar menghidupkan suasana autentik yang tidak hanya mempertemukan produk dengan pembeli, tetapi juga menghubungkan cerita dan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari masa ke masa.
Apa yang ada di pasar ini menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya dapat terus hidup di tengah perubahan zaman. Suasana yang penuh warna dan cerita mengajarkan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan. Sebaliknya, ia adalah bagian penting dari perjalanan menuju masa depan. Pasar ini menjadi tempat di mana masa lalu dan masa kini bertemu, ruang yang terus memelihara warisan budaya sembari tetap relevan dengan kebutuhan modern. Hal ini mengingatkan bahwa nilai-nilai adat tidak akan pernah lekang oleh waktu.
ADVERTISEMENT
Live Update