Perppu: Buat Apa dan untuk Siapa Sebenarnya?

Erickrivall
Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Konten dari Pengguna
11 April 2023 16:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erickrivall tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi turun ke jalan dari mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Foto: dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi turun ke jalan dari mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Foto: dok. pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini DPR meresmikan undang-undang yang menurut saya tidak memberikan efek positif bagi kaum buruh atau pekerja yang berada di negara Indonesia. Padahal dibuatnya undang-undang di awal bertujuan untuk melindungi dan memberikan rasa keadilan untuk masyarakat Indonesia seperti yang ada di sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa poin dalam undang-undang yang ditetapkan oleh para anggota dewan yang menimbulkan kontroversi dan mengakibatkan ramai dalam perbincangan di media sosial.
Hal itu karena dianggap hanya menguntungkan untuk para pengusaha besar saja tidak mempedulikan nasib kaum buruh seolah-olah tidak memanusiakan manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan dengan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Oleh sebab itu, saya sebagai penulis ingin mengangkat isu politik ini yang banyak meresahkan para pekerja yang ada di Indonesia. Dengan tujuan agar nasib kaum buruh masih terjaga dan terjamin untuk ke depannya. Adapun lima poin yang menurut saya tidak relevan untuk melindungi para pekerja, tapi di sisi lain menguntungkan para pengusaha besar adalah sebagai berikut.
Jefri Nichol ikut menyuarakan tuntutan dari masyarakat (Foto: Instagram @jefrinichol)
Pertama, sistem kerja kontrak. Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi. Pada pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan dapat penyelesaian dalam waktu yang tidak terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Penggunaan frasa “tidak terlalu lama” mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya “tiga tahun” sebagai salah satu kriteria PKWT. Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP).
KSPI menyebut dengan peraturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa kontrak dan tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).
Kedua, meluasnya praktik outsoucing. UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.
Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas. Hal ini sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Di lain sisi juga, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.
ADVERTISEMENT
Ketiga, waktu kerja eksploitasi. Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Mengingat, upah minimum menjadi dasar perhitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Keempat, berkurangnya hak cuti dan istirahat. Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
ADVERTISEMENT
Kelima, rentan alami PHK. Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan hubungan kerja.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan berkepanjangan melebihi 12 bulan.
Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Telah terbukti bahwa DPR kami tidak mewakili suara rakyatnya yang seharusnya diwakili oleh mereka. Mereka hanya memenuhi kepentingan pribadi dan partai yang mereka usung saja untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya di dalam gedung yang berada di Senayan tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhir dari tulisan ini, saya pribadi menyatakan #mositidakpercaya terhadap para dewan kami yang "terhormat" dan tidak ada alasan untuk menolak UU Cipta Kerja ini.