Konten dari Pengguna

Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia terhadap Krisis Rusia dan Ukraina

Aufa Salsabila
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
9 Desember 2022 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aufa Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi meminta Rusia dan Ukraina untuk menghentikan perang. Foto/Youtube Setpres
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi meminta Rusia dan Ukraina untuk menghentikan perang. Foto/Youtube Setpres
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis antara Rusia dan Ukraina, Indonesia berpedoman pada mandat konstitusionalnya. Yang mana hal tersebut dijelaskan dalam UUD 1945 bahwa Indonesia akan ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari situ dapat disimpulkan bahwa Indonesia turut serta menjaga perdamaian dunia di tingkat internasional berdasarkan prinsip kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Peran dari politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif, sehingga Indonesia mempunyai kesempatan untuk berperan sebagai penengah dalam konflik antara Rusia dan Ukraina. Prinsip bebas-aktif inilah yang menjadi bintang penuntun dalam pendefinisian sikap terhadap setiap dinamika politik luar negeri.
Bagi Indonesia, prinsip bebas aktif ini merupakan landasan gerakan politik non-blok yang sangat bersejarah. Sebab, pada tahun 1955, prinsip bebas aktif dan gerakan non-blok Indonesia mampu menyatukan bangsa-bangsa Asia Afrika untuk tetap tangguh dalam melawan penjajahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagi Indonesia, prinsip gerakan bebas aktif dan non-blok bukan hanya sekedar pedoman politik luar negeri. Namun, prinsip ini telah menjadi warisan bagi Indonesia untuk diplomasi dan politik internasional.
ADVERTISEMENT
Prinsip bebas aktif dan gerakan non-blok dapat diartikan dalam dua dimensi. Dua dimensi ini berarti dimensi kebijakan dan dimensi kemandirian dalam pengambilan keputusan. Dalam dimensi kebijakan, Indonesia tidak ikut campur dalam blok politik-militer. Di sisi lain, dalam dimensi kemandirian dalam pengambilan keputusan, keputusan kebijakan luar negeri didasarkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan negara lain. Persepsi non-blok Indonesia adalah netral dalam konflik antar pihak siapapun. Bersikap netral kepada non-sekutu bukan berarti tidak memihak siapapun, tetapi Indonesia memihak pada kepentingan nasional dalam pengambilan keputusan.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Hubungan Luar Negeri No. 37 Tahun 1999, “Politik luar negeri mengikuti asas bebas aktif yang ditetapkan berdasarkan kepentingan nasional”. Dalam bagian penjelasan Pasal 3 UU tersebut, secara eksplisit dijelaskan bahwa “bebas dan aktif” bukan netral secara politik. Makna kata “bebas” bukanlah kebebasan dari sikap politik tertentu, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap dan kebijakan. Sikap bebas berarti tidak terikat pada satu kekuatan dunia. Tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Di tengah konflik Rusia-Ukraina, Indonesia berpeluang untuk menjalankan perannya sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya. Agar dapat memahami bagaimana peran ini akan dan mesti bekerja, publik dapat mendengarkan beberapa pendapat dari pejabat di Kementerian Luar Negeri dan juga pengamat politik internasional.
Winardi Hanafi, Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa Indonesia konsisten dalam menganut prinsip bebas aktif dalam menanggapi krisis yang terjadi di Ukraina. Bebas aktif tidak berarti netral aktif, tetapi juga memberikan partisipasi baik dalam bentuk gagasan maupun bantuan untuk resolusi konflik. Sikap Indonesia juga tidak sekedar mengikuti negara lain, melainkan berkepentingan untuk menyatakan pentingnya menghormati norma hukum internasional.
Winardi Hanafi juga menanggapi bahwa Indonesia akan terus mendesak penghentian penggunaan kekuatan dan semua pihak bisa menyelesaikan perselisihannya. Mengenai perang antara Rusia dan Ukraina, Indonesia berpendapat bahwa langkah terbaik dalam situasi ini adalah deeskalasi untuk membuat proses perundingan berjalan lebih efektif dan kemungkinan dibukanya saluran bantuan kemanusiaan. Kemudian mengenai posisi Indonesia dalam krisis Ukraina, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjalin hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina karena negara-negara tersebut adalah sahabat Indonesia, ujar Winardi Hanafi.
ADVERTISEMENT
Menurut guru besar HI, Prof. Evi Fitriani, Ph.D kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia benar-benar tepat, invasi Rusia ke Ukraina menjadi pendorong bagi negara-negara ASEAN untuk bersatu dan tidak menimbulkan ancaman bagi negara manapun. Selain itu, Prof. Evi juga mengatakan bahwa dunia perlu membangun sistem keamanan global yang transparan untuk mencegah invasi negara-negara besar. Jika kita akan membangun sistem internasional yang aman, itu adalah sistem internasional yang seharusnya tidak membiarkan orang seperti Vladimir Putin memiliki justifikasi untuk berperang.
Invasi Rusia ke Ukraina tersebut tidak dapat dibenarkan. Namun, banyak pihak yang bertanggung jawab atas perang yang telah menimbulkan begitu banyak korban tersebut, tidak hanya Rusia, tetapi juga Barat dan Ukraina serta para pemimpinnya. Rusia adalah salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas serangan itu. Namun ternyata banyak pihak-pihak lain yang terlibat dalam terciptanya konflik ini, termasuk Ukraina dan para pemimpinnya.
ADVERTISEMENT
Prof. Evi menjelaskan bahwa Ukraina, lalu negara-negara anggota NATO dan Amerika Serikat membiarkan justifikasi kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk melakukan serangan tersebut. Oleh karena itu, ia menilai perlunya sistem internasional yang dapat mencegah negara-negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat mempunyai justifikasi untuk melakukan serangan. Jadi kita perlu membangun sistem keamanan global atau global architecture yang lebih transparan, sehingga pihak yang berperang tidak memiliki alasan untuk membenarkan tindakan mereka, baik dari sudut pandang keamanan mereka sendiri maupun stabilitas global, ungkap Prof. Evi.