Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ondel-Ondel, Dulu dan Sekarang
13 November 2017 10:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Aulia Aminda Dhianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepasang ondel-ondel di Kampung Ondel-ondel
Berbagai macam ondel-ondel, mulai dari kerangka hingga yang sudah jadi, tertata rapi di tiap sudut perkampungan siang itu. Beberapa orang terlihat berasyik-masyuk dengan pekerjaannya menguleni adonan resin dan dioleskan pada pola kepala ondel-ondel. Sebagian lagi berkutat dengan instrumen musik tradisional gambang kromong, bersiap untuk berlatih lagu-lagu yang akan dimainkan saat mengamen dengan ondel-ondel.
ADVERTISEMENT
Begitulah gambaran keadaan kampung ondel-ondel, sebutan bagi kampung itu di Pasar Gaplok, Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat. Ondel-ondel jelas menjadi matahari bagi kehidupan mereka. Setiap hari, Ondel-ondel selalu terproduksi dari tangan-tangan para pengrajin yang telah memulai bisnisnya sejak tahun 1980-an.
Ondel-ondel telah menjadi salah satu ikon budaya yang paling terkenal dalam kebudayaan Betawi. Bentuknya yang khas telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat Jakarta maupun Indonesia. Ondel-ondel dulu biasanya lekat dan selalu hadir dalam pesta-pesta rakyat Betawi. Dewasa ini, ondel-ondel lebih umum digunakan sebagai penyemarak acara-acara rakyat maupun budaya.
“Pertama bukan ondel-ondel (namanya). Dulunya namanya barongan. Badannya kotak.” Begitu kisah Ahmad (21), seorang pemain ondel-ondel dari Kramat Pulo kala kumparan (kumparan.com) bertanya perihal asal usul ondel-ondel. Ahmad adalah satu dari puluhan warga di kampung ondel-ondel yang aktif dalam sanggar Betawi Al-Fathir, yang mengupayakan pelestarian ondel-ondel sebagai kebudayaan Betawi.
ADVERTISEMENT
Siang itu, Ahmad sedang memperhatikan kelompok musik gambang kromong dari sanggarnya yang sedang berlatih untuk keperluan mengamen dengan ondel-ondel di sore harinya.
Salah satu fitur yang tidak berubah dari ondel-ondel adalah rupanya yang besar. Boneka raksasa ini memiliki tinggi sekitar 2,5 hingga 3 meter dengan garis tengah 80 cm. Rangka dalamnya ditopang dengan bambu. Hingga memerlukan orang untuk masuk ke dalam ondel-ondel sebelum kemudian diiring keliling kampung dengan musik. Serta esensi ondel-ondel itu sendiri untuk mengusir roh halus dari kampung-kampung.
Sisanya? Ada banyak yang berubah dari rupa atau bahkan, tradisi, hingga kegunaan ondel-ondel itu sendiri. Selain badannya yang kotak, rupa ondel-ondel di masa lampau tampak lebih menyeramkan. Hal ini disebabkan karena ondel-ondel sendiri diciptakan untuk mengusir roh jahat yang diyakini merupakan penyebab petaka bagi masyarakat. Pun, di masa lampau, ada ritus-ritus tertentu yang harus dilakukan demi menciptakan ondel-ondel.
ADVERTISEMENT
“Kalau dulu kata kakek saya, buat ngusir bala. Katenye sih. Jadi ga sembarangan. Dulu pake sajen-sajenan,” jelas Ahmad lagi. Adapun sesajen yang dimaksud ialah sesajen yang memiliki komposisi bubur merah-putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga tujuh rupa, serta asap kemenyan.
Setelah sesajen dibuat, ondel-ondel kemudian dibasuh demgan sesajen dengan mantera tertentu. Hingga pembakaran kemenyan yang disebut dengan ‘ngungkup.’ Hal ini dilakukan agar ondel-ondel tidak dirasuki roh jahat. Di masa kini, ritus ini sendiri telah ditinggalkan.
Selain ritus, kegunaan ondel-ondel juga berubah. Kini pemanfaatan ondel-ondel tak melulu untuk mengusir roh jahat. “Kebanyakan kite diundang buat khitanan, buat besan,” jelas Ahmad. Ondel-ondel kemudian juga dimanfaatkan untuk menambah semarak pesta rakyat, hajatan khitanan atau pernikahan, hingga penyambutan tamu kehormatan.
ADVERTISEMENT
Sehingga tak mengherankan jika pada akhirnya ada perubahan yang dapat kita saksikan dalam rupa ondel-ondel. “Cowo diibaratin merah, kalo cewe putih,” jelas Ahmad.
Dahulu, wajah ondel-ondel adalah barong – makhluk mitologi yang menyerupai singa. Sekarang, wajah ondel-ondel dibuat menyerupai manusia. Sehingga tak mengherankan jika kini ondel-ondel kemudian digemari oleh anak-anak dan cocok dengan nuansa pesta pora.
Agar dapat dibedakan, mimik wajah antara ondel-ondel yang laki-laki dan perempuan dibuat tak sama.
Mata ondel-ondel laki-laki melotot, senyumnya terlihat sangar, pun ada kumisnya. Berwarna merah karena melambangkan kekuatan. Sementara perempuan dibuat memiliki senyuman manis lengkap dengan warna gincu di bibir. Berwarna putih karena melambangkan kelembutan.
Adapun esensi dari pewarnaan merah dan putih pada wajah ondel-ondel didasarkan oleh warna bendera Indonesia. Pun baju ondel-ondel juga dibuat berbeda. Untuk laki-laki, menggunakan baju adat Betawi dengan warna lebih gelap. Sementara perempuan menggunakan warna-warna cerah.
ADVERTISEMENT
Dagangan Boneka Ondel-Ondel di Kampung Ondel-Ondel
Bagaimana ondel-ondel bekerja dan persepsi masyarakat juga kini berubah. JJ Rizal, seorang sejarawan, menjelaskan, “Ondel-ondel diarak keluar masuk kampung, orang-orang memberinya imbalan sebagai tanda terima kasih karena kampungnya telah dibersihkan dari segala sesuatu yang buruk. Sebab ondel-ondel dianggap berkemampuan sebagai tolak bala.” Ondel-ondel keliling kampung dengan diiringi musik khas Betawi.
Sementara di masa kini, ondel-ondel lebih sering turun ke jalan daripada keluar-masuk kampung. Bahkan ada stigma negatif bahwa pemanfaatan ondel-ondel kini tak lebih sebagai sarana untuk mengamen.
Ondel-ondel, kecuali untuk acara besar, juga mulai menanggalkan pemanfaatan instrumen tradisional Betawi untuk mengarak ondel-ondel. Bahkan, ada beberapa ondel-ondel yang justru memanfaatkan musik dangdut.
ADVERTISEMENT
Adapun hal tersebut, menurut JJ Rizal, terjadi karena perubahan yang terjadi jua di Jakarta. “Dulu ondel-ondel punya ruang di kampung untuk ngingel atau mutar, tetapi kini kan, jangankan lapangan, kampung saja habis. Jadi wajar ondel-ondel turun ke lapangan,” jelasnya. Pemanfaatan musik dangdut sendiri disebut oleh JJ Rizal sebagai upaya beradaptasi terhadap perkembangan zaman.
Ahmad sepakat dengan penggunaan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen. Baginya, hal ini menjadi tak terelakkan mengingat sebagian besar warga kampung tersebut adalah pengangguran. Tawaran manggung ondel-ondel yang jarang juga menjadi kendala tersendiri dalam mendapatkan uang.
“Biasanya sih yang ikut ngamen gak tentu. Bisa 8 sampai 12 orang. Adil juga pembagian (upahnya). Kalo ada panggilan manggung kan baru jalan. Kalo gak, ya, ngamen.” jelas Ahmad sambil tersenyum kecil.
ADVERTISEMENT
Ahmad juga memiliki opini berbeda dengan pemanfaatan musik dangdut. Baginya musik gambang kromong Betawi adalah musik wajib bagi setiap pemain ondel-ondel. “Karena banyak gini jadi nilainya jadi jelek gitu. Melunturkan budaya. Yang bikin jelek ondel-ondel yang bawa ember doang ga bawa musik,” jelasnya.
Ahmad hanya ingin pemerintah mengerti dan memberi wadah bagi mereka sebagai pelaku kesenian yang sudah hampir tergerus zaman. Baginya ondel-ondel tak hanya perihal budaya dan ekonomi semata, tetapi juga tentang ikatan keluarga yang lebih dalam.
“Kalo disini kita ngerangkul juga semua, pengangguran juga kan semua disini. Susah juga mbak cari kerjaan. Ya gini, sembari kita ada kerjaan, sembari juga kita nyari (pekerjaan).” ucap Ahmad.
Untuk perubahan ondel-ondel yang kini sebagai sarana mengamen, Ahmad memiliki opini serupa dengan JJ Rizal. Wadah bagi pemain ondel-ondel menjadi penting karena pihak pemerintah terkadang pilih kasih terhadap ondel-ondel sebagai kesenian. “Pihak Depsos (Departemen Sosial) dan Dinas Sosial banyak yang belum bisa membedakan kesenian ondel-ondel yang pakai musik tradisional dan yang ngamen biasa.” keluh Ahmad dengan tatapan menerawang.
ADVERTISEMENT
“Kalau pemerintah kasih wadah, diwadahi gitu loh mainnya. Kita turun ke jalan karena ga ada wadah berkesenian. Karena Monas di tutup, paling di HI doang. Coba Monas dibuka, paling kita bisa main di situ juga,” tandasnya menutup pembicaraan.
Pada akhirnya, ondel-ondel hanya menjadi satu dari sekian banyak kesenian Betawi yang masih terus berusaha untuk tetap eksis hidup berdampingan di kehidupan masyarakat. Setiap perjuangan melestarikan kebudayaan bukanlah hal yang mudah. Setiap perjuangan melestarikan kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah pertaruhan dengan waktu dan persistensi.
Dan di atas panggung itu, para pemain musik gambang kromong Betawi itu masih terus berlatih memainkan musiknya..