Penyebab Perempuan dengan Disabilitas Lebih Rentan terhadap Kekerasan

Aulia Alfitriah Arifin
Criminology Fresh Graduate, Universitas Indonesia // Interest in issues of human rights and financial crimes
Konten dari Pengguna
21 Februari 2022 13:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aulia Alfitriah Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wisatawan disabilitas traveling sendirian. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wisatawan disabilitas traveling sendirian. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Salah satu hak asasi manusia yang mendasar ialah menjalani kehidupan yang bebas dari kekerasan. Namun, bagi banyak perempuan dengan disabilitas ini tetap merupakan tujuan yang sulit untuk dicapai. Penelitian mengenai kekerasan dan disabilitas mengindikasikan bahwa perempuan dengan disabilitas mengalami risiko yang lebih tinggi terhadap kekerasan, dibandingkan dengan populasi umum.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kekerasan terhadap perempuan disabilitas juga diakui sebagai permasalahan yang lebih kompleks dan beragam sifatnya daripada kekerasan terhadap perempuan pada umumnya. Menurut sebuah penelitian berbasis populasi yang ditulis dalam jurnal karya Jeanne, Tina, Jacqueline, dan Rosemary (2020), perempuan dengan disabilitas empat kali lebih mungkin mengalami kekerasan. Terlebih, kekerasan seksual daripada perempuan tanpa disabilitas setelah mengendalikan demografi dan karakteristik rumah tangga.

Stigma Disabilitas, Eksklusi, dan Isolasi Sosial

Stigma terhadap orang dengan disabilitas merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan. Orang dengan disabilitas secara historis telah distigmatisasi oleh masyarakat berbadan “sehat” yang dominan dan mengganggap perbedaan sebagai menyimpang, sehingga mendiskreditkan kualitas dan perilaku pribadi orang-orang dengan disabilitas sebagai kontribusi yang tidak memadai untuk normativitas dan perkembangan sosial. Stigma yang diberikan ini seringkali menjadi akar dari diskriminasi dan eksklusi yang dialami orang-orang dengan disabilitas. Mereka seringkali dipinggirkan, didiskriminasi, diabaikan, dilecehkan, dieksploitasi, dan selalu dibuat malu.
ADVERTISEMENT
Pada banyak budaya, disabilitas seringkali diasosiasikan dengan kutukan, penyakit, ketergantungan, dan ketidakberdayaan. Penelitian Stern, Heidjen, dan Dunkle (2020) mencatat, orang dengan disabilitas seringkali dihina seolah mereka bukan manusia. Orang-orang mengatakan jika mereka tidak akan seperti itu, jika mereka adalah orang baik.
Lebih lanjut, stigma seputar disabilitas juga bersinggungan dengan ekspektasi gender yang hegemonik. Perempuan dengan disabilitas sering dianggap tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga dan perawatan. Apalagi untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan di ranah publik.
Akhirnya, faktor-faktor tambahan seperti rendahnya tingkat pendidikan dan pekerjaan, serta isolasi sosial dan sosialisasi yang memperkuat sikap dan perilaku tunduk pada perempuan menciptakan “sistem penindasan berlapis” yang melemahkan perempuan dengan disabilitas. Faktor-faktor tersebut mencegah mereka untuk mengenali perlakuan buruk, kekerasan yang diderita, dan dari mencari bantuan, sehingga melanggengkan tidak terlihatnya kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas. Namun, stigma dan diskriminasi juga bergantung pada jenis dan tingkat keparahan disabilitas.
ADVERTISEMENT

Pelaku Didominasi oleh Orang Terdekat Korban

Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021, pelaku kekerasan, terlebih kekerasan seksual, terbanyak terhadap perempuan disabilitas merupakan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Perempuan dengan disabilitas seringkali menjadi korban kekerasan di tangan pasangan intim dan kerabat dekat mereka. Namun, dengan cara yang unik kekerasan terhadap anak perempuan dan perempuan disabilitas juga dilakukan oleh pengasuh mereka (formal dan informal, laki-laki dan perempuan).
Penelitian Jeanne, Tina, Jacqueline, dan Rosemary (2020) mengulas tentang pengalaman perempuan disabilitas, di mana pasangan mereka “memanfaatkan disabilitas mereka” untuk mengambil keuntungan dari mereka. Sebagian besar peserta menggambarkan tekanan untuk berhubungan seks ketika mereka tidak ingin. Seolah-olah pasangannya “secara khusus memilih” mereka karena keterbatasannya dalam “melawan”.
ADVERTISEMENT
Begitu pula penelitian Stern, Heidjen, dan Dunkle (2020) yang menemukan bahwa tidak satu pun laki-laki dengan disabilitas yang diwawancarai melaporkan pengalaman Intimate Partner Violence (IPV), baik viktimisasi atau perbuatan. Sedangkan, mayoritas perempuan dengan disabilitas melaporkan mengalami berbagai jenis IPV, termasuk IPV emosional terkait dengan "kecacatan" mereka.
Kekerasan ini sering melibatkan pelecehan dan penghinaan secara verbal. Pasangan seringkali menyalahkan mereka bahwa mereka “cacat” dan selalu menghinanya meskipun tidak melakukan kesalahan. Hal ini menghasilkan rasa malu, depresi, dan kemarahan di antara perempuan dengan disabilitas.
Seorang peserta perempuan bahkan mengatakan jika dia lebih suka suaminya menggunakan kekerasan fisik daripada terus dihina yang mengingatkannya akan disabilitas yang dimiliki sepanjang waktu. Pengalaman IPV emosional dari pasangan sering menyebabkan keputusasaan dan bahkan bunuh diri bagi beberapa perempuan. Namun, keterasingan dan ketergantungan perempuan pada pasangan untuk pendapatan dan kebutuhan perawatan, termasuk perawatan untuk anak-anak mereka, membatasi pilihan mereka untuk mengakhiri pelecehan dan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Pada jurnalnya, “Out of the shadows: Violence against girls and women with disabilities in Portugal” (2016), Pinto menerangkan bahwa ketergantungan banyak anak perempuan dan perempuan dengan disabilitas pada pengasuh mereka telah meningkatkan risiko pelecehan dan kekerasan. Dalam berbagai bentuknya, kekerasan yang dialami anak perempuan dan perempuan ini muncul melalui praktik, proses, dan hubungan sosial yang menindas, yang sangat ditandai dengan ketidaksetaraan terkait gender dan disabilitas. Anak perempuan dan perempuan dengan disabilitas secara sistematis menempati posisi yang kurang beruntung dan subordinat, menyebabkan pelaku yang merupakan orang terdekat korban (pasangan atau bahkan orang tua) berada di posisi superior yang merasa berhak untuk mendominasi kehidupan sosial mereka.

Kemiskinan dan Devaluasi Sosial pada Perempuan dengan Disabilitas

Penelitian Bista dan Sharma (2019) telah menyoroti bahwa menjadi perempuan dengan disabilitas, memiliki hak dan kebebasan terbatas, dan memiliki akses terbatas ke sumber daya keuangan yang menyebabkan meningkatnya kekerasan jangka panjang. Analisis jurnal “Economic insecurity at the intersection of disability, gender, and race” (2019) memberikan dukungan empiris yang kuat untuk hierarki yang kurang beruntung. Perempuan dengan disabilitas dan kurang pendidikan mengalami tingkat kemiskinan tertinggi, melaporkan total pendapatan terendah, dan memiliki ketergantungan yang lebih besar pada sumber-sumber di luar pasar tenaga kerja untuk keamanan ekonomi. Dengan memperhitungkan disabilitas, penelitian ini menunjukkan bagaimana berbagai karakteristik tersebut mengarah pada penindasan yang tumpang tindih yang tertanam dan direproduksi dalam struktur sosial yang lebih besar. Selanjutnya, faktor-faktor yang sama ini menjelaskan kesulitan besar yang ditemukan perempuan dengan disabilitas untuk mendapat dukungan dan bantuan ketika mereka menjadi korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
Kerangka teoritis feminist disability dan intersectionality menjadi penting untuk dapat memahami situasi kehidupan perempuan dengan disabilitas secara lebih mendalam dan menyeluruh.