Konten dari Pengguna

Ketergantungan Pada Kecerdasan Buatan (AI): Penurunan Kualitas Mahasiswa?

Aulia Fahridza
Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta
30 Mei 2024 7:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aulia Fahridza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Ilustrasi, sumber: https://www.pexels.com/id-id/)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi, sumber: https://www.pexels.com/id-id/)
ADVERTISEMENT
Di zaman yang serba canggih ini, penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan atau yang lebih akrab dengan sebutan AI (Artificial Intelligence) kerap menjadi alternatif utama dalam menunjang pelaksanaan pendidikan, terkhusus bagi para mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan Buatan (AI) merupakan suatu pengembangan bidang ilmu komputer yang telah dirancang khusus untuk memecahkan masalah-masalah terkait kecerdasan kognitif manusia. Contoh dalam dunia perkuliahan, penggunaan AI menjadi lebih sering didamba-dambakan oleh mahasiswa karena kemudahan yang diberikan oleh AI itu sendiri, mahasiswa hanya cukup menuliskan tugas yang diminta pada laman situs AI dan AI akan langsung memberikan respons beberapa jawaban. Selain praktis, cara ini lebih disukai mahasiswa karena dapat menghemat waktu ketimbang mencari sumber-sumber lain yang relevan dan lebih bisa dipercaya (karena terdapat rujukan referensi). Bahkan, sekarang ini sudah banyak AI yang menyertakan referensi terkait, salah satunya Perplexity.ai. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian mahasiswa lebih mengandalkan dan memercayai AI untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas yang dibutuhkan dalam pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi seperti ini memang menguntungkan dan terbukti banyak membantu pada bidang pendidikan. Namun, sayangnya tidak semua orang mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak dan benar. Kurangnya pemahaman edukasi akan arus teknologi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dapat menimbulkan rasa ketergantungan terhadap AI. Baginya “selama ada AI semua bisa dilakukan”. Pola pikir seperti itulah yang membuat mahasiswa diam di tempat. Diam di tempat dalam artian ini, berarti mahasiswa tidak mau membuka peluang untuk terus mengembangkan dan menggali kualitasnya sendiri, termasuk itu nilai kreativitas maupun sikap kritis yang seharusnya menjadi identitas setiap mahasiswa sebagai civitas akademika pada Perguruan Tinggi. Hal ini juga selaras dengan UUD NRI 1945 Pasal 28C bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni maupun budaya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, agar teknologi bisa dimanfaatkan dan digunakan sejalan dengan arah pendidikan yang sehat dan inklusif, dibutuhkan regulasi dan pemahaman yang ketat dalam penggunaan AI. Jika kedua hal tersebut dapat berimbang, pelaksanaan pendidikan dengan kecerdasan buatan (AI) akan dapat berkolaborasi dengan baik dan mampu menghasilkan penerus bangsa yang unggul dan berkualitas.