Konten dari Pengguna

Generasi Z dan Mental Health: Terlalu Banyak Konten, Terlalu Banyak Tekanan?

Aulia Nurul Izza
Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga (UNAIR)
13 Oktober 2024 9:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aulia Nurul Izza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi budaya digital. Foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi budaya digital. Foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
Tidak asing rasanya mendengar atau membaca argumen-argumen semacam ini. Biasanya, tudingan ini ditujukan ke Generasi Z, yang kerap dicap suka mengeluh, manja, dan hobinya yang tiba-tiba ‘menghilang.’ Generasi Z memang cenderung lebih terbuka dan vokal tentang isu-isu kesehatan mental dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Jika kita coba pahami lebih dalam, ada banyak faktor yang membuat Generasi Z sangat peka tentang isu ini. Kita coba mundur sedikit ke generasi sebelumnya. Boomers misalnya, hidup di zaman perang dan pasca perang, yang mana permasalahan generasi ini adalah mencari cara untuk bertahan hidup, bagaimana caranya agar besok masih bisa makan, kerja, dsb. Setelah perang usai, populasi jauh berkurang. Tugas generasi setelahnya, adalah bagaimana caranya menambah populasi. Maka dari itu ada doktrin ‘banyak anak banyak rezeki.’ Generasi sekarang hidupnya lebih aman, tidak perlu memikirkan survival secara fisik dan populasi juga sudah banyak. Sekarang, tantangan generasi Z yang tumbuh dan besar dengan segala kemudahan akses informasi adalah membenahi permasalahan yang ada di dalam, yakni kesehatan mental. Budaya awam mereka adalah budaya digital dan media sosial. Mereka hidup di era budaya konten digital yang tidak ada habisnya. Informasi yang terus-menerus disajikan ini menyebabkan kondisi stres atau kelelahan mental. Belum lagi mereka juga menghadapi tekanan akademis, karier, dan sosial yang lebih besar karena mereka tumbuh di lingkungan yang kompetitif, kemudian diperburuk dengan eksposur ke kehidupan ideal yang dipamerkan di media sosial. Twenge (2017) mengungkapkan bahwa Generasi Z lebih sering mengalami gejala burnout dan kesehatan mental yang menurun karena mereka terus-menerus terhubung secara digital dan terpapar tekanan dari media sosial.
ADVERTISEMENT
Budaya konten, informasi yang berlimpah, dan algoritma yang terus menyajikan pilihan baru memang memiliki dua sisi. Di satu sisi memungkinkan kreativitas tanpa batas dan peluang untuk berbagi pengetahuan. Namun di sisi lain, ada potensi risiko seperti kelelahan mental dan penurunan pemahaman kritis terhadap konten dan literatur digital yang dikonsumsi. Lantas, apakah terlalu banyak pilihan membuat kita kehilangan fokus?

Burnout Society dalam Budaya Digital dan Budaya Konten

Kelompok usia yang paling banyak memproduksi konten digital dan karya literatur digital adalah generasi milenial (lahir sekitar 1981-1996) dan generasi Z (lahir sekitar 1997-2012). Rentang usia 18-34 tahun merupakan kelompok usia yang paling aktif dalam memproduksi konten dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (Hootsuite dan We Are Social, 2023). Mereka terlibat aktif di platform digital seperti Wattpad, Webtoon, TikTok, dan Instagram karena memiliki motivasi untuk berekspresi, mengembangkan personal branding, atau mencari penghasilan tambahan melalui media digital, baik melalui video, tulisan, atau ilustrasi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada potensi risiko burnout dari keterlibatan konstan mereka dalam platform-platform ini. Konsep burnout society adalah kondisi dimana masyarakat terjebak dalam produktivitas berlebih dan ekspektasi untuk terus bekerja dan menghasilkan sesuatu (Han, 2015). Dalam konteks budaya konten digital ini, Gen-Z tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen yang disebut oleh McNulty (2022) sebagai prosumer. Semakin banyak konten yang mereka buat, semakin besar pula tekanan untuk terus kreatif dan menarik perhatian audiens. Hal ini yang membuat mereka cenderung mengalami kelelahan mental. Di sisi lain, situasi burnout juga terjadi ketika pengguna sebagai konsumen dihadapkan dengan banyak pilihan konten yang tersedia di berbagai platform. Terlalu banyak pilihan membuat audiens merasa kewalahan untuk memilih konten mana yang akan dikonsumsi, yang pada akhirnya mengarah pada stres, kelelahan, dan kurangnya kemampuan menikmati konten tersebut secara penuh.
ADVERTISEMENT

Algoritma yang Mengatur Pilihan Konten

Algoritma di platform digital seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan platform literatur digital seperti Wattpad dan Webtoon, berfungsi untuk menyesuaikan rekomendasi konten berdasarkan preferensi pengguna, data historis, dan interaksi mereka di platform tersebut. Algoritma memang didesain untuk terus menawarkan konten yang relevan, populer, menarik perhatian dan mendorong pengguna untuk mengonsumsi lebih banyak konten. Misalnya, setelah kita menonton satu video tentang tips kesehatan mental di YouTube, algoritma akan merekomendasikan video serupa, sering kali dengan konten yang lebih spesifik atau mendalam. Meskipun hal ini dapat membantu pengguna menemukan konten yang mereka sukai, pada titik tertentu hal ini dapat mencapai tingkat overload.

Dampak Ledakan Konten terhadap Mental dan Kemampuan Kritis Gen-Z

Ledakan konten atau content overload menjadi salah satu penyebab burnout di kalangan Generasi Z. Mereka terjebak dalam arus informasi yang mengalir tanpa henti dari berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. dan merasa perlu untuk terus terhubung. Misalnya, kebiasaan pengguna TikTok bisa menghabiskan berjam-jam menonton video pendek yang muncul di For You Page. Meski awalnya hanya ingin menonton beberapa video, aliran konten yang tak berujung membuat mereka terus-menerus scrolling.
ADVERTISEMENT
Ledakan konten ini juga menurunkan kemampuan kritis dan apresiasi pengguna terhadap karya. Pengguna seringkali tidak mampu merenungkan makna dari konten yang mereka konsumsi karena terus-menerus dibombardir dengan pilihan baru. Misalnya, seorang pembaca di Webtoon mungkin merasa sulit untuk benar-benar menikmati satu komik tertentu dan melompat dari satu cerita ke cerita lain tanpa benar-benar menyelesaikannya atau merenungkan makna yang lebih dalam dari karya tersebut karena platform terus merekomendasikan komik-komik baru setiap harinya. Hal ini tentu mengurangi kualitas pengalaman membaca.

Menghadapi Burnout dan Tantangan Budaya Konten

Beberapa cara bijak yang dapat dilakukan untuk menghadapi burnout dan tantangan budaya konten diantaranya:
ADVERTISEMENT
Penting bagi kita sebagai pengguna digital sadar tentang manfaat sekaligus risiko yang dibawa oleh budaya ini. Terlepas dari bagaimana stereotip dan pemahaman masyarakat terhadap Generasi Z, pada intinya setiap generasi dan era menghadapi permasalahan, kelebihan, dan kekurangannya masing-masing. Ada yang lebih penting daripada mengotak-ngotakkan generasi, yakni keterbukaan pandangan, saling berbagi ilmu, pemahaman, dan pengalaman satu sama lain. Bukankah tujuan dari adanya perubahan adalah kemajuan peradaban?
Referensi:
ADVERTISEMENT