Konten dari Pengguna

Overthinking dan Otak Manusia: Tinjauan dari Perspektif Biopsikologi

Aulia Freyaniti Rengganis
Saya adalah seorang Mahasiswa Psikologi S1 yang kuliah di Universitas Muhammadiyah surakarta.
4 November 2025 11:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Overthinking dan Otak Manusia: Tinjauan dari Perspektif Biopsikologi
Artikel ini membahas fenomena overthinking dari perspektif otak dan biopsikologi, menjelaskan bagaimana kerja otak, hormon stres, dan faktor sosial berperan dalam kebiasaan berpikir berlebihan.
Aulia Freyaniti Rengganis
Tulisan dari Aulia Freyaniti Rengganis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat seperti sekarang, hampir semua orang, terutama mahasiswa , pernah mengalami overthinking , yaitu kebiasaan berpikir berlebihan yang dapat memicu stres dan kecemasan. Dalam perspektif biopsikologi , fenomena overthinking berkaitan erat dengan cara kerja otak manusia memproses emosi dan informasi. Pikiran yang terus berputar bahkan untuk hal-hal kecil sering kali membuat otak kelelahan, sulit tidur, dan kehilangan semangat untuk beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi seseorang yang sedang mengalami overthinking, menggambarkan pikiran yang kusut dan beban mental yang berat. Sumber: Ilustrasi pribadi oleh Aulia Freyanlti Rengganis (2025)

Bagaimana Otak Memicu Overthinking Menurut Biopsikologi

Tapi, pernahkah kita bertanya-tanya kenapa otak bisa bekerja begitu keras? Mengapa sulitnya berhenti memikirkan sesuatu, padahal kita tahu itu cuma bikin stres belaka? Dilihat dari sudut pandang Biopsikologi, overthinking bukan sekadar kebiasaan "terlalu banyak mikir", melainkan hasil dari interaksi yang rumit antara cara otak kita bekerja, kondisi psikologis, dan pengaruh lingkungan sosial yang mempengaruhi kita.

Perspektif Biologis, Psikologis, dan Sosial dalam Overthinking

Secara biologis, overthingking punya kaitan kuat dengan cara kerja otak dalam memproses informasi, terutama di bagian korteks prefrontal yaitu bagian otak yang berperan dalam membuat keputusan dan merencanakan sesuatu. Saat seseorang terlalu sering memikirkan satu hal, bagian otak ini berkerja terlalu keras tanpa diimbangi oleh sistem limbik, yaitu bagian yang mengatur emosi.
ADVERTISEMENT
Penelitian dari Harvard Medical School (2020) menjelaskan bahwa aktivitas berlebihan di korteks prefrontal bisa memicu amigdala menjadi terlalu aktif. Amigdala ini berfungsi untuk mengatur rasa takut dan cemas, sehingga ketika terlalu aktif, seseorang jadi sulit berhenti berpikir bahkan untuk hal-hal sepele. Selain itu, ada juga sistem stres dalam tubuh yang disebut Hypothalamus–Pituitary–Adrenal axis ( HPA Axis ) yang ikut berperan. Saat kita overthinking, tubuh mengira kita sedang menghadapi bahaya, sehingga hormon stres atau kortisol meningkat. Kalau kadar kortisol ini tinggi terus-menerus, kita bisa merasa lelah secara mental, susah fokus, bahkan sulit tidur. Jadi, overthinking bukan cuma soal “baper” atau “terlalu sensitif”, tapi benar-benar melibatkan reaksi biologis yang terjadi di dalam tubuh kita.
ADVERTISEMENT
Selain aspek biologis, biopsikologi juga menekankan pentingnya faktor psikologis dan sosial. Emosi, pola pikir, dan hubungan interpersonal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial kuat cenderung memiliki kadar stres yang lebih rendah dan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi (Taylor, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa koneksi sosial dan lingkungan yang suportif dapat menjadi “penyembuh alami” bagi otak manusia. Pendekatan biopsikologi juga membantu kita memahami bagaimana pengaturan emosi dan perilaku dapat dilatih melalui kebiasaan tertentu. Misalnya, dengan menerapkan gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, konsumsi makanan bergizi, tidur cukup, dan menghindari stres berlebihan, seseorang bisa memperbaiki fungsi neurotransmitter dalam otaknya, sehingga suasana hati menjadi lebih stabil (Kemenkes RI, 2023).
ADVERTISEMENT
Dari sisi psikologis, overthinking sering muncul karena seseorang ingin segalanya berjalan sempurna atau takut melakukan kesalahan. Orang yang perfeksionis atau mudah cemas biasanya sulit menerima hal-hal yang tidak pasti. Saat menghadapi masalah, mereka bukan fokus mencari jalan keluar, tapi malah terus memutar ulang situasi di dalam kepala.
Menurut penelitian Nolen-Hoeksema (2015), pola berpikir seperti ini yang disebut ruminative sering terjadi pada orang yang mengalami kecemasan atau depresi ringan. Yang menarik, banyak mahasiswa sebenarnya mengalami hal ini tanpa sadar kalau mereka sedang “terjebak di dalam pikiran sendiri.” Misalnya, saat tugas kuliah belum selesai, seseorang bisa merasa panik, takut nilainya jelek, lalu mulai membayangkan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. Akhirnya, pikiran yang terus berputar itu malah bikin mereka makin stres dan susah fokus menyelesaikan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Dari sisi sosial, budaya media sosial juga ikut memperkuat kebiasaan overthinking. Setiap hari kita disuguhi berbagai pencapaian, gaya hidup, dan keberhasilan orang lain yang sering membuat kita merasa kurang atau tertinggal. Hal ini disebut social comparison effect, yaitu kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, yang bisa memicu stres dan memperparah kebiasaan berpikir berlebihan. Di Indonesia, tekanan sosial ini terasa kuat, terutama di kalangan anak muda yang hidup di tengah tuntutan kuliah, ekspektasi keluarga, dan tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Banyak mahasiswa yang merasa harus tampil kuat, meski sebenarnya sedang lelah secara mental. Karena itu, mereka sering memilih memendam dan memikirkan semuanya sendirian. Dari sudut pandang biopsikologi, hal ini menunjukkan bahwa faktor sosial juga bisa memengaruhi cara kerja otak dan kondisi psikologis seseorang.
ADVERTISEMENT

Cara Mengelola Overthingking Secara Sehat?

Sebagai seseorang yang juga pernah mengalami overthinking, saya menyadari bahwa langkah pertama untuk pulih adalah dengan benar-benar mengenali diri sendiri. Biopsikologi mengingatkan kita bahwa pikiran, emosi, dan tubuh saling berhubungan. Jadi, ketika hati terasa berat, bukan cuma perasaan yang terpengaruh melainkan tubuh kita juga ikut merespons. Menjaga keseimbangan antara ketiganya adalah kunci agar tetap tenang dan waras di tengah rutinitas yang padat. Overthinking sebenarnya bukan tanda kelemahan, tapi sinyal bahwa otak sedang berusaha mencari rasa aman. Tugas kita bukan untuk memaksa pikiran itu hilang, melainkan menenangkannya dengan cara yang lebih sehat dengan memahami, bukan melawannya.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa overthinking bukan hanya kebiasaan berpikir berlebihan, tetapi reaksi kompleks terhadap interaksi antara otak, pikiran, dan lingkungan sosial. Secara biologis, overthinking terjadi akibat ketidakseimbangan aktivitas otak antara korteks prefrontal dan amigdala, yang menyebabkan peningkatan hormon stres dan gangguan pada sistem tubuh. Secara psikologis, kebiasaan ini sering kali muncul dari kecemasan, perfeksionisme, dan rasa takut akan kegagalan, yang menyebabkan seseorang terus-menerus memutar ulang pikiran di benaknya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lingkungan sosial juga memiliki pengaruh yang besar, seperti tekanan akademik, tuntutan keluarga, atau media sosial, yang sering membuat kita membandingkan diri dengan orang lain. Semua hal ini dapat membuat pikiran kita semakin kacau dan sulit untuk tenang. Oleh karena itu, dari perspektif biopsikologis, kita belajar bahwa pikiran, emosi, dan tubuh saling terhubung, jika salah satunya terganggu, yang lain juga akan terpengaruh.
Oleh karena itu, memahami overthinking melalui perspektif biopsikologis membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri dan cara kerja otak kita. Dengan berlatih mindfulness, menjaga gaya hidup sehat, dan memiliki lingkungan sosial yang mendukung, seseorang dapat mengurangi tingkat stres dan melatih otak untuk menjadi lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada akhirnya, overthinking bukanlah sesuatu yang harus diperangi, tetapi dipahami dan dikelola agar kita dapat hidup lebih seimbang — secara mental, emosional, dan fisik.
ADVERTISEMENT
Sumber :
Creswell, J. D. (2017). Mindfulness Interventions. Annual Review of Psychology, 68, 491–516.
Harvard Medical School, (2020). The Biology of Stress and Overthinking. Harvard Health Publishing.
Nolen-Hoeksema, S. (2015). Women Who Think Too Much: How to Break Free of Overthinking and Reclaim Your Life. Henry Holt & Company.
Taylor, S. E. (2020). Health Psychology (11th ed.). McGraw-Hill Education.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Pedoman Kesehatan Jiwa dan Psikososial di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
oleh : Aulia Freyaniti Rengganis