Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Di Antara Capaian dan Keletihan: Mengupas Budaya Overachieving Mahasiswa
24 Januari 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Anisa Aulia Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak mahasiswa memilih “overachieving” dalam dunia perkuliahan
Oleh ANISA AULIA DEWI
Prestasi demi prestasi terus dirayakan di panggung kampus. Namun, di balik layar, banyak mahasiswa diam-diam bergulat dengan kelelahan yang tidak kasat mata. Dalam budaya yang mengagungkan pencapaian tanpa henti, apakah hal ini benar-benar memotivasi mereka atau justru menjadi beban yang tak tertanggungkan?
ADVERTISEMENT
Prestasi telah menjadi standar tunggal bagi mahasiswa dalam memenuhi berbagai ekspektasi dari lingkungan sekitarnya. Ironisnya, pendidikan seharusnya mengajarkan mahasiswa kemampuan untuk menyeimbangkan diri, bukan sekadar mengejar capaian eksternal.
Survei dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa, seperti dua sisi mata uang, pencapaian akademik yang gemilang tidak selalu membawa kebahagiaan bagi mahasiswa. Sebagian dari mereka justru merasa bahwa beban untuk terus berprestasi menjadi bayang-bayang yang tak henti mengiringi langkah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Realitas tersebut dialami oleh Riska Nurcahyani (21), seorang perempuan asal Jawa. Ia adalah salah satu mahasiswi yang aktif dalam organisasi kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selama masa kuliahnya.
Saat berbincang dengannya pada Rabu (11-12-2024), Riska menceritakan banyak pengalaman mengenai rutinitasnya sebagai mahasiswi aktif dalam organisasi kampus.
ADVERTISEMENT
Selama kurang lebih tiga tahun menjadi mahasiswi aktif di organisasi sambil mempertahankan performa akademik bukanlah perkara mudah. Bagi Riska, keterlibatan dalam organisasi kampus bukan sekadar pelengkap curriculum vitae, tetapi juga sarana berharga untuk pengembangan dirinya.
"Saya percaya bahwa pengalaman organisasi sangat membantu saya mengembangkan keterampilan kepemimpinan, manajemen waktu, dan kerja tim. Semua itu tidak hanya mendukung karier saya di masa depan, tetapi juga menambah nilai dalam pembelajaran akademik," ujarnya.
Namun, dibalik capaian tersebut, ada banyak tantangan besar yang harus ia dihadapi. Jadwal padat antara kuliah dan organisasi sering kali membuat manajemen waktu menjadi ujian terbesar. Riska menyebutkan bahwa kunci untuk bertahan adalah perencanaan yang matang dan menetapkan skala prioritas.
"Manajemen waktu adalah kunci utama. Saya biasanya membuat jadwal secara rinci dan menetapkan prioritas berdasarkan tingkat urgensi serta dampaknya. Selain itu, saya juga belajar untuk mengatakan 'tidak' pada hal-hal yang tidak sejalan dengan prioritas saya," ungkap Riska.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring dengan tuntutan tersebut, tekanan untuk terus berprestasi muncul dari berbagai aspek. Baik ekspektasi organisasi yang tinggi maupun standar akademik yang ketat, semuanya terkadang memberikan beban tersendiri pada kondisi mentalnya.
"Terkadang, ekspektasi untuk selalu berkontribusi secara maksimal membuat saya merasa terbebani. Namun, saya selalu berusaha mengingat bahwa prestasi bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang proses dan pembelajaran yang diperoleh," tambahnya.
Tekanan dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental
Budaya overachieving ini sering kali membawa dampak yang tidak bisa diabaikan. Riska mengakui bahwa tekanan tersebut pernah membuatnya merasa terisolasi dan memengaruhi kesehatan mentalnya. Menyeimbangkan tanggung jawab akademik, organisasi, dan kehidupan pribadi bukanlah hal yang mudah baginya.
"Terkadang saya merasa terlalu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk diri sendiri. Perasaan tidak cukup baik atau gagal memenuhi ekspektasi juga sering muncul. Namun, saya selalu berusaha menjaga keseimbangan dengan menyisihkan waktu untuk beristirahat, melakukan hobi, dan berbincang dengan teman," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dengan jelas menunjukkan bahwa di balik prestasi gemilang yang diraih oleh mahasiswa, terdapat beban yang tidak selalu terlihat. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah budaya overachieving lebih banyak memberikan motivasi, atau justru menimbulkan tekanan?
"Menurut saya, hal ini bergantung pada bagaimana kita meresponsnya. Budaya berprestasi dapat menjadi motivasi jika didukung oleh lingkungan yang mendukung, namun dapat berubah menjadi tekanan jika ekspektasi terlalu tinggi dan tidak ada sistem pendukung yang memadai," ujar Riska.
Peran Kampus dan Organisasi dalam Menangani Tekanan
Sebagai bagian dari solusi, Riska berpendapat bahwa kampus dan organisasi memiliki peran besar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung mahasiswa. Menurutnya, layanan konseling yang mudah diakses dan budaya komunikasi yang terbuka dapat membantu mahasiswa merasa lebih didengar.
ADVERTISEMENT
"Kampus dapat menyediakan layanan konseling untuk mendukung kesehatan mental mahasiswa. Selain itu, budaya komunikasi terbuka dan empati juga sangat penting, agar mahasiswa tidak merasa takut untuk berbagi kesulitan yang mereka hadapi. Program-program seperti pelatihan manajemen stres dan waktu juga sangat membantu," sarannya.
Selain Riska, pengalaman serupa juga dirasakan oleh Meiranda Dwi Silta (24). Meiranda adalah alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang lulus pada tahun 2023. Keduanya sama-sama mengalami gaya hidup overachieving, di mana mahasiswa sering kali terlalu berambisi dalam mengejar berbagai tujuan. Tanpa disadari, hal ini dapat memicu rasa cemas dan burnout yang tak terduga.
Selama masa kuliah, Meiranda dikenal sebagai mahasiswi yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi sekaligus tetap menjaga prestasi akademiknya. Baginya, manajemen waktu adalah kunci utama untuk menyeimbangkan semua tanggung jawab yang diemban.
ADVERTISEMENT
"Biasanya, saya menerapkan manajemen waktu. Ketika memiliki lebih dari satu kegiatan, saya sering membuat daftar tugas atau to-do list untuk membantu menentukan prioritas. Saya fokus pada kegiatan yang lebih penting terlebih dahulu agar semuanya dapat berjalan lancar," ungkap Meiranda, Sabtu (14-12-2024).
Namun, meskipun Meiranda memiliki strategi yang terorganisir, ia mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya bebas dari burnout. Aktivitas yang padat, baik secara fisik maupun mental, sering kali menjadi penyebab kelelahan yang tak terduga.
"Mungkin sesekali pernah. Ada beberapa faktor yang memang dapat menguras tenaga dan pikiran. Namun, saya berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terlarut dalam rasa kelelahan tersebut," tuturnya.
Jejak Overachieving di Dunia Pasca-Kampus
Pengalaman yang diperoleh Meiranda selama menjalani budaya overachieving ternyata tidak hanya relevan saat kuliah, tetapi juga memberikan dampak signifikan setelah lulus. Baginya, setiap kegiatan memiliki nilai dan arti tersendiri yang mendorongnya untuk selalu memberikan yang terbaik.
ADVERTISEMENT
"Budaya ini cukup relevan, karena saya percaya bahwa setiap kegiatan yang saya lakukan, baik akademik maupun non-akademik, memiliki arti yang besar. Hal tersebut membantu saya tetap fokus dan berusaha maksimal dalam segala hal, bahkan hingga saat ini setelah saya lulus," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai perbedaan budaya overachieving di masa kuliahnya dan masa sekarang, Meiranda mengaku tidak melihat banyak perubahan.
"Bagi saya, tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan. Budaya overachieving yang saya alami dulu masih terjadi hingga sekarang. Seperti halnya saya yang dulu selalu berusaha untuk sempurna dalam akademik dan organisasi, hal tersebut masih saya lihat pada adik saya yang kini sedang duduk di bangku kuliah," jelasnya.
Bagaimana pandangan tenaga pendidik, seperti dosen, terhadap fenomena budaya overachieving di kalangan mahasiswa saat ini?
ADVERTISEMENT
Sebagai Bentuk Achievement untuk Diri Sendiri
Dr. Fajar Junaedi, S.Sos., M.Si., salah satu dosen sekaligus Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga pernah meraih prestasi sebagai mahasiswa berprestasi di Universitas Diponegoro, mengungkapkan pandangannya terkait fenomena overachieving pada mahasiswa saat ini.
"Ketika saya kuliah dulu, saya sudah pernah menulis di koran dan terpilih menjadi mahasiswa berprestasi. Namun, pada saat itu, pencapaian hanya berhenti di diri saya sendiri karena tidak ada media sosial. Tidak banyak yang tahu, dan dampaknya tidak terasa luas. Sementara sekarang, mahasiswa berlomba-lomba menggapai achievement karena adanya media sosial, yang menjadi tempat untuk memamerkan portofolio, salah satunya LinkedIn," ungkapnya, Senin (20-01-2025).
Ia juga menambahkan bahwa fenomena ini sering kali dipengaruhi oleh tingginya daya FOMO (fear of missing out) di kalangan generasi muda. Mahasiswa saat ini berlomba-lomba untuk mendapatkan penghargaan demi diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
"Orang sekarang ingin tampil beda, ingin menjadi yang pertama, dan itu membuat mereka semakin terpacu untuk terus berprestasi. Dalam konteks DIKTI, achievement ini bukan hanya soal pencapaian pribadi, tetapi juga sudah menjadi bagian dari kepercayaan dan kompetisi yang lebih luas," tambahnya.
Fajar Junaedi menyadari bahwa meskipun budaya overachieving membawa dampak positif dalam membangun kompetensi dan portofolio mahasiswa, ada sisi lain yang perlu diperhatikan.
"Mahasiswa perlu memahami bahwa prestasi bukan sekadar soal eksistensi di media sosial, tetapi juga soal bagaimana itu memberi dampak nyata bagi diri sendiri dan masyarakat. Jika hanya mengejar eksistensi, mereka bisa kehilangan makna sebenarnya dari pencapaian itu sendiri," tegasnya.
Budaya overachieving memang menciptakan semangat kompetitif yang tinggi di kalangan mahasiswa. Namun, apakah budaya ini selalu memberikan dampak positif, atau justru menjadi tekanan tambahan yang perlu dikelola dengan bijak? Pertanyaan ini menjadi refleksi penting bagi mahasiswa, pendidik, dan sistem pendidikan di Indonesia.
Budaya Overachieving Mengubah Cara Pandang Seseorang
ADVERTISEMENT
Menurut Fajar Junaedi, kehadiran media sosial telah mengubah cara pandang banyak orang terhadap pencapaian. Tidak hanya mahasiswa yang terpengaruh, tetapi juga orang tua mereka.
"Media sosial saat ini mengubah cara pandang banyak hal. Orang tua juga bisa saling melihat. Jika dahulu mereka hanya membandingkan anak-anak mereka dengan anak tetangga, sekarang mereka bisa melihat melalui media sosial. Dengan adanya media sosial, muncullah circle yang lebih luas namun terasa lebih dekat. Hal ini membuat orang tua juga ingin anaknya bisa segalanya. Jadi, kompetisi ini muncul bukan hanya di kalangan mahasiswa, tetapi bahkan di kalangan anak-anak sejak dini," tambahnya.
Fajar Junaedi menyadari bahwa meskipun budaya overachieving membawa semangat kompetitif yang tinggi, tekanan yang ditimbulkan juga perlu dikelola dengan bijak.
ADVERTISEMENT
"Budaya ini perlu diarahkan agar tidak sekadar menjadi ajang pamer, tetapi benar-benar menjadi sarana pengembangan diri yang bermanfaat bagi masa depan mahasiswa dan lingkungan sekitar mereka," tegasnya.
Budaya overachieving memang menciptakan peluang sekaligus tantangan, baik bagi mahasiswa maupun orang tua yang mendorong mereka. Dalam era yang serba terhubung ini, memahami dan mengelola ekspektasi menjadi kunci untuk menjadikan budaya tersebut sebagai pendorong positif, bukan beban yang justru menekan.
Ketika ditanya tentang pesan penting bagi mahasiswa agar tidak terjebak dalam budaya overachieving yang berlebihan, Fajar Junaedi memberikan saran yang mendalam."
"Menurut saya, satu hal yang paling penting itu bukan hasil, melainkan proses. Bagaimana mahasiswa menyiapkan dirinya untuk berproses adalah hal yang lebih penting dibandingkan luaran berupa achievement. Jangan sampai luaran ini mengesampingkan atau memotong proses. Proses itu harus sehat dan dilakukan dengan cara yang benar, tidak menghalalkan segala cara," ujarnya tegas.
ADVERTISEMENT
Ia juga menambahkan bahwa salah satu cara efektif untuk mencapai pencapaian yang sehat adalah dengan mengintegrasikan achievement dengan tugas-tugas kuliah.
"Mahasiswa perlu memahami bahwa achievement yang benar-benar bermanfaat adalah yang relevan dengan pembelajaran dan pengembangan diri mereka selama kuliah. Jika bisa dikaitkan dengan tugas atau proyek kuliah, itu akan jauh lebih bermakna," jelasnya.
Budaya overachieving memang memiliki dua sisi: sebagai pendorong semangat berprestasi dan sebagai potensi tekanan berlebih. Pesan dari Fajar Junaedi mengingatkan kita semua bahwa proses belajar dan bertumbuh jauh lebih penting daripada sekadar hasil akhir. Dalam mencapai tujuan, penting bagi mahasiswa untuk tetap menghargai proses yang sehat dan beretika, agar pencapaian mereka tidak hanya bermakna di atas kertas, tetapi juga berdampak pada kehidupan mereka secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT