Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Metternich Mengatur Eropa
30 April 2024 16:03 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Eropa di awal abad ke-19 adalah Eropa yang kacau, penuh konflik, dan nir-tatanan (disorder). Sebelumnya, di akhir abad ke-18, tepatnya pada tahun 1789, revolusi politik meletus di Prancis yang membuat rezim monarki konservatif Eropa bergetar ketakutan. Tumbangnya monarki Perancis yang ditandai dengan terpenggalnya Louis XVI menandai bangkitnya satu kesadaran baru: nasionalisme dan kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Revolusi Perancis menjadi semacam pangkal tolak pencerahan (enlightenment) dalam sejarah politik dunia. Dominasi monarki dibatalkan dengan kesadaran rakyat atas kedaulatan penuh yang mereka miliki. Slogan Liberte, Egalite, Fraternite begitu ‘mewah’ dan ideal bagi siapapun yang mendambakan kebebasan dan kesetaraan. Namun, revolusi selalu meminta darah dan kekacauan. Begitupun yang terjadi di Prancis. Bahkan, Prancis di awal-awal pasca-revolusi sempat terjebak dalam rezim teror Maximilien de Robespierre -dengan menerapkan semacam totalitarian democracy- yang menelan banyak korban.
Revolusi hebat tersebut juga membuat seorang tokoh -yang tadinya bukan siapa-siapa- muncul menjadi penguasa paling hebat di Eropa. Ia adalah Napoleon Bonaparte. Orang Korsika kelahiran 15 Agustus 1769 tersebut, menanjak karirnya dalam suasana Prancis yang tak stabil pasca-revolusi. Setelah unjuk kelihaian dan ketangkasan strateginya dalam berbagai pertempuran, Napoleon berhasil menjadi konsul dalam kudeta 18 Brumaire pada 1799, dan puncaknya dikukuhkan menjadi kaisar Perancis di hadapan Paus Pius VII pada 2 Desember 1804.
Keseimbangan Eropa terancam. Napoleon memiliki ambisi ekspansionis yang tak terbendung. Era kejayaan Napoleon menjadi semacam ujian sulit dan keresahan besar bagi negara-negara Eropa, termasuk Inggris yang saat itu berusaha menjaga balance of power di Eropa dan supremasinya sebagai penguasa lautan. Salah satu yang resah dengan ambisi ekspansionis Napoleon adalah seorang negarawan konservatif Austria, yakni Klemens von Metternich. Metternich berusaha membendung ambisi Napoleon dengan kelihaian dan keluhuran taktik diplomasi, serta berusaha merekonstruksi keseimbangan Eropa pasca-Napoleon.
ADVERTISEMENT
Metternich sang Realis
Ia adalah seorang konservatif tulen. Ide konservatisme sudah bersemayam dalam benaknya sejak ia menjadi mahasiswa. Disaat banyak orang mengagung-agungkan Revolusi Prancis, ia menentangnya dengan gigih. Keyakinan yang terpatri dan sukar diganti dalam gagasannya adalah: sistem ideal bagi Eropa adalah sistem monarki. Tak heran apabila para pengkritiknya menyebut ia sebagai musuh kebebasan. Hal ini tak mengherankan, karena sejak dilahirkan pada 15 Mei 1773 ia dibuai oleh asuhan aristokrasi dan nilai-nilai keningratan yang mengokohkan paham konservatismenya. Tiada lain, ia adalah seorang negarawan dan diplomat hebat Austria, Klemens von Metternich.
Pada 1806, Metternich diangkat menjadi duta besar Austria untuk Prancis. Ini barangkali awal keterlibatan Metternich dalam sengkarut politik Eropa saat Napoleon berkuasa, dan awal upayanya untuk menyeimbangkan kembali Eropa. Karena kepiawaian diplomasinya, pada 1809 Metternich diangkat menjadi menteri luar negeri Austria. Setelah diangkat menjadi menlu, Metternich menjajaki beberapa strategi diplomasi untuk menghadapi Napoleon. Dalam tulisannya yang berjudul Austrian Diplomacy: The Marriage of Marie Louise to Napoleon, sejarawan Llewellyn Cook menuliskan bahwa, setelah Austria kalah dari Napoleon dalam Pertempuran Wagram dan ditandatanganinya Perjanjian Schönbrunn, Metternich berusaha menjajaki strategi untuk beraliansi dengan Napoleon, tetapi sekaligus menciptakan ketegangan antara Rusia dengan Prancis.
ADVERTISEMENT
Metternich menautkan aliansi Perancis-Austria dengan ikatan pernikahan sang kaisar Prancis dengan putri kekaisaran Habsburg, Marie-Louise. Pada 1 April 1810, Napoleon resmi menjadi menantu Kaisar Francis dari Austria. Taktik Metternich ini sangat brilian. Dengan ikatan pernikahan antara Marie-Louise dan Kaisar Napoleon, Austria terbebas dari ancaman Napoleon. Kendati sudah menjalin aliansi -walaupun aliansi semu- antara Austria-Prancis dengan dinikahinya Maier-Louse oleh Napoleon, cita-cita Metternich tetap sama: hancurnya kekuasaan Napoleon.
Hasrat Napoleon semakin menggebu. Pada 1812, sang kaisar Prancis menuju ke Rusia untuk menyerang mantan sekutunya, Tsar Alexander I. Namun Napoleon dan grande armee-nya mengalami kegagalan di Rusia dan mengharuskannya mundur. Disaat kemunduran inilah, Quadruple Alliance yang terdiri dari Inggris, Rusia, Austria, dan Prusia berbalik menyerang Napoleon. Napoleon mengalami kekalahan di Leipzig pada 1813 melawan aliansi tersebut. Metternich berhasil menjalankan strateginya. Kendati Napoleon adalah menantu Kaisar Francis, Austria bergabung dalam aliansi untuk melawan Napoleon.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan Napoleon memasuki masa senjanya, cengkraman kekuatannya mengalami deklinasi. Pada September 1814, diselenggarakanlah Kongres Wina untuk menyusun ulang tatanan politik Eropa. Metternich menjadi tuan rumah dan bintang utama dalam kongres yang dihadiri lebih dari 200 perwakilan ini. Metternich mempunya satu visi tentang Eropa, yaitu menjaga keseimbangan kekuatan (balance of power) antar negara Eropa. Tatanan kesimbangan yang didambakan Mettenich dan diperjuangkannya dalam Kongres Wina menunjukkan bahwa ia merupakan seorang realis tulen. Henry Kissinger dalam bukunya A World Restored menyebut Metternich sebagai seorang realis tertinggi.
Bersama dengan Lord Castlereagh dari Inggris, Tsar Alexander I dari Rusia, dan Karl August von Hardenberg dari Prusia, Metternich berusaha menyusun ulang Eropa dengan arsitektur politik yang didasarkan pada balance of power. Metternich bergagasan bahwa Eropa yang ideal dan damai adalah Eropa yang dibangun atas dasar kesimbangan antara kekuatan. Sebagaimana Henry Kissinger menulis, keinginan suatu kekuatan untuk mendapatkan kekuatan absolut adalah ketidaknyamanan bagi kekuatan lainnya. Metternich berusaha mencegah tragedi ekspansionisme Napoleon yang berhasrat menguasai Eropa dan menghancurkan perimbangan kekuatan yang terbentuk sejak Perjanjian Utrecht 1713. Maka terbentuklah konser Eropa (Concert of Europe) atau sistem kongres pasca-Kongres Wina 1815, yang membuat Eropa relatif damai selama 99 tahun, hingga meletusnya Perang Dunia I pada 1914.
ADVERTISEMENT
Tiada Salahnya Belajar dari Metternich: Refleksi Eropa Saat Ini
Sejak Kongres Wina -sekitar dua ratus tahun lalu- hingga kini, ada satu kesimpulan yang penulis yakini: Eropa yang damai adalah Eropa yang didasarkan pada perimbangan kekuatan (balance of power). Perang Napoleon dan dua Perang Dunia menjadi bukti historis yang mendukung dalil tersebut. Ambisi ekspansionisme Napoleon membuat Prancis mengalami surplus kekuatan dan tatanan politik Eropa tak seimbang, sehingga memuncak menjadi perseteruan panjang antar kekuatan di Eropa. Selain kekuatan Prancis yang meningkat, menurut Metternich kemahakuasaan Napoleon adalah cerminan dari perpecahan perpecahan lawan-lawannya.
Di abad 20, ambisi Kaisar Wilhelm II dari Jerman dengan strategi weltpolitik-nya untuk menguasai dunia, membuat perang besar berkobar di daratan Eropa pada 1914 karena tatanan keseimbangan kekuatan yang berusaha diganggu. Berselang dua dekade setelah Perang Dunia I berakhir pada 1918, Eropa kembali memasuki neraka perang dunia dengan ambisi Kanselir Adolf Hitler yang berhasil menghancurkan tatanan perimbangan kekuatan dan beberapa kekuatan Eropa seperti Inggris dan Prancis yang lambat bertindak untuk membendung hasrat ekspansionisme Hitler. Eropa yang tak seimbang adalah malapetaka.
ADVERTISEMENT
Kini Eropa memang sudah demikian berubah. Eropa berusaha mengintegrasikan diri -dan berhasil- dalam satu komunitas politik yang kita kenal kini sebagai Uni Eropa (Europe Union). Penyatuan Eropa dalam satu ikatan politik, kendati didominasi negara-negara Eropa Barat, merupakan sebuah terobosan progresif bagi Eropa yang dalam sejarahnya haus akan perang. Dengan terbentuknya Uni Eropa, negara-negara Eropa yang tergabung di dalamnya sangat sulit -walaupun berlebihan apabila dibilang mustahil- untuk berkonflik yang berakhir menjadi perang. Menurut Kishore Mahbubani, kondisi ini disebut sebagai potensi zero untuk perang. Tiada alasan rasional bagi negara-negara Uni Eropa untuk perang.
Namun ada variabel lain yang perlu dipertimbangkan. Tatanan politik Eropa pasca-Perang Dunia II tidak bisa dipisahkan dari campur tangan Amerika Serikat yang saat itu muncul sebagai the new great power. AS begitu jauh terlibat dalam percaturan politik Eropa terutama masa-masa Perang Dingin, dimana Eropa terbagi oleh, dalam istilah Winston Churchill, tirai besi (iron curtain). Masa Perang Dingin pula terbentuk satu Pakta aliansi militer negara-negara trans-atlantik, yang kita kenal dengan NATO. NATO menjadi aliansi militer untuk menghadapi ancaman Rusia, yang saat itu masih menjadi Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Perang Dingin usai dengan bubarnya Uni Soviet tahun 1991. Namun aliansi NATO tak kunjung dibubarkan kendati alasan berdirinya -yaitu ancaman Rusia komunis- sudah tak lagi ada secara eksistensial. Justru NATO melakukan ekspansi ke timur untuk memperluas kekuasaannya di Eropa. Di tahun ini, 2024, Swedia secara resmi diterima sebagai anggota NATO ke-32.
Saat kekuasaan NATO begitu besar, bahkan hyperpower, tatanan keseimbangan Eropa semakin rapuh. Rusia, yang tak dilibatkan dalam aliansi dan persekutuan Eropa Barat, menjadi kekuatan politik Eropa yang teralienasi. Karenanya, implikasi logis dari semakin kuatnya NATO adalah Rusia yang merasa semakin terancam secara geopolitik. Hal ini menjadi ancaman yang begitu nyata bagi stabilitas politik Eropa. Apabila Rusia merasa semakin terancam dengan kekuatan aliansi NATO, maka opsi paling drastis dan sangat beresiko yaitu digunakannya senjata nuklir bisa menjadi kebijakan Rusia. Inilah ancaman nyata dari tak beimbanganya kekuatan di Eropa.
ADVERTISEMENT
Dengan realita ini, belajar dari taktik realis Metternich tentang balance of power Eropa sangat diperlukan. Negara-negara Eropa Barat seharusnya memandang Rusia sebagai satu kekuatan politik yang perlu dilibatkan dalam membangun arsitektur politik Eropa yang berimbang. Sebagaimana Metternich dulu, kendati Prancis menjadi 'pembuat onar' Eropa, tetapi tetap dilibatkan dalam rekonstruksi ulang Eropa di Kongres Wina dengan diwakili oleh diplomat Prancis, Maurice de Talleyrand. Metternich berusaha untuk melibatkan setiap kekuatan yang ada di Eropa untuk membangun Perimbangan kekuatan yang akan membawa Eropa pada perdamaian.
Saat ini, seharusnya para negarawan Eropa jangan mengambil resiko dengan berkonfrontasi secara tajam dan tak berujung dengan Rusia, terlebih dengan pelebaran sayap NATO semakin ke Timur karena hal itu hanya akan membuat Rusia semakin terpojok dan terancam, dan tak menutup kemungkinan perang antara NATO dan Rusia bisa terjadi. Arsitektur politik ideal bagi Eropa adalah balance of power, karenanya Rusia harus diintegrasikan dalam satu sistem perimbangan kekuatan yang harus dibangun di Eropa. Hemat penulis, ada beberapa cara untuk mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
Pertama, perlunya sikap menahan diri dari egoisme politik. Sikap menahan diri disini adalah kemampuan negara-negara Eropa Barat, baik dalam NATO maupun Uni Eropa, untuk tidak melebarkan sayap kekuasaan dan dominasinya semakin jauh ke timur, karena hal itu hanya akan membuat Rusia merasa semakin terancam. Diplomat ulung semacam George Kennan pun memiliki pandangan serupa, bahwa ekspansi NATO ke timur hanya akan membuat Rusia semakin terancam, dan karenanya stabilitas Eropa juga terancam.
Kedua, menerima Rusia sebagai entitas kekuatan besar Eropa yang harus dilibatkan dalam membangun tatanan politik Eropa yang berimbang. Negara-negara Eropa Barat dengan keterlibatan AS, perlu menyadari bahwa Rusia yang teralienasi dari tatanan politik Eropa justru meningkatkan resiko ancaman dari Rusia. Untuk menghindari Rusia yang teralienasi, maka kesadaran politik akan pentingnya balance of power dengan melibatkan Rusia harus sama-sama dimiliki oleh para elit politik di Eropa. Konfrontasi yang non-kompromi dengan Rusia hanya membuat Eropa dibayang-bayangi oleh potensi konflik yang amat destruktif dan mematikan. Dalam hal menciptakan Eropa yang berdasar pada balance of power, kepiawaian taktik diplomasi Klemens von Metternich adalah pelajaran sejarah yang amat berharga.
ADVERTISEMENT
Live Update