Divided Party di Kubu Partai Republik AS: Donald Trump vs Ron DeSantis

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
Konten dari Pengguna
4 Februari 2023 9:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partai Republik yang terbelah. Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Republik yang terbelah. Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada 16 Juni 1858, Abraham Lincoln yang saat itu merupakan senator negara bagian Illinois, menyampaikan pidato di Gedung Kongres Illinois, dengan pidatonya yang terkenal yaitu House Divided Speech.
ADVERTISEMENT
Pidato House Divided atau Rumah yang Terbagi itu merupakan sebuah ekspresi keresahan Lincoln akan polarisasi nasional yang tajam berbasis perbudakan.
Selain ekspresi dari sikap politiknya, pidato Lincoln tersebut merupakan sebuah perlawanan argumentatif terhadap pesaingnya yang utama yakni Senator Stephen A. Douglas.
House Divided Speech Lincoln memberikan saya suatu gambaran mengenai realita politik nasional Amerika dewasa kini, terutama di internal Partai Republik.
Pemimpin Partai Republik Kevin McCarthy berbicara kepada wartawan setelah McCarthy dinominasikan oleh sesama Republikan untuk menjadi pemimpin mereka. Foto: Michael A. McCoy/Reuters
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa akan terjadi, atau bahkan sedang berlangsung suatu perpecahan internal Partai Republik. Sehingga dalam menggambarkan fenomena ini saya menggunakan istilah Divided Party atau partai yang terbagi, merujuk istilah Lincoln tentang rumah yang terbagi. Walaupun secara konteks tentu saja berbeda antara pidato Lincoln dan penggambaran saya tentang polarisasi internal Partai Republik.
ADVERTISEMENT
Yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah bahwasanya suatu perpecahan, polarisasi atau keterbagian dalam konteks apa pun selalu melibatkan perbedaan dan pertentangan, paling tidak dengan munculnya dualisme.
Begitupun dalam internal Partai Republik, terlebih dalam menyongsong pemilihan presiden 2024 mendatang, tercipta suatu perdebatan yang cukup tajam dan membelah, mengenai siapa tokoh yang paling layak dan kapabel maju sebagai calon presiden.
Hingga saat ini paling tidak ada dua nama republikan yang paling sering digadang-gadang akan maju, yakni mantan Presiden Donald Trump dan Gubernur Florida Ron DeSantis.

Ambisi Politik Trump dan Potensi DeSantis

Gubernur Republik Florida Ron DeSantis berbicara di Convention Center di Tampa, Florida, pada 8 November 2022. Foto: Giorgio VIERA/AFP
Walaupun bukan hanya dua, tapi kedua nama itu, Trump dan Ron DeSantis sampai dengan saat ini masih menempati posisi puncak sebagai calon presiden Partai Republik, walaupun masih dalam tahapan prediksi.
ADVERTISEMENT
Donald Trump sebagai mantan presiden periode 2016-2020 tentu saja memiliki basis dukungan politik yang kuat dalam tubuh Partai Republik. Terlepas dari berbagai kontroversinya, Partai Republik tentu tidak akan ‘meninggalkan’ atau ‘menyingkirkan’ orang yang telah membawa Partai pada tampuk kemenangan di pilpres 2016 tersebut.
Namun ternyata kekalahan di pilpres 2020 dan peristiwa pasca pemilu lainnya membuat dukungan di internal partai kepada sang mantan presiden menurun.
Jajak pendapat yang dilakukan USA Today dan Suffolk University, hanya sekitar 31 persen dukungan untuk pencalonan kembali Trump di pilpres 2024 mendatang, dan sebanyak 61 persen justru memilih calon lain untuk dicalonkan.
Hal ini sekilas dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa memang kekuatan politik Trump sudah cukup melemah baik di kalangan partisan maupun di mata para pemilih.
Mantan Presiden Donald Trump. Sumber: Shutterstock
The Economist sebagaimana dikutip oleh Newsweek, menerangkan bahwa ada penurunan yang signifikan terkait dengan dukungan untuk pencalonan Trump.
ADVERTISEMENT
Pada September 2022 sekitar 56 persen memberikan dukungannya, akan tetapi pada Desember 2022 hanya 46 persen yang menghendaki pencalonan Trump.
Turunnya dukungan kepada Trump ini hemat saya merupakan sebuah indikasi bahwa kalangan partisan dan pemilih Partai Republik memerlukan seorang figur baru yang lebih berpeluang untuk memenangkan pilpres 2024.
Nama Ron DeSantis muncul ke permukaan. Pria kelahiran 14 September 1978 ini menjabat sebagai Gubernur Florida, pasca kemenangannya kembali di pemilihan gubernur Florida November 2022 lalu.
Gubernur Republik Florida Ron DeSantis berbicara di Convention Center di Tampa, Florida, pada 8 November 2022. Foto: Giorgio VIERA/AFP
DeSantis adalah seorang republikan yang potensial untuk memasuki kontestasi pilpres 2024 mendatang, terlebih dengan banyaknya dukungan kepadanya. Menurut survey USA Today dan Suffolk University, sekitar 65 persen pemilih Partai Republik mendukung DeSantis menjadi calon Presiden.
ADVERTISEMENT
Popularitas DeSantis yang menandakan potensi politiknya ini tentu tidak disukai Trump karena secara langsung menjadi hambatan baginya.
Trump mengungkit kembali dukungannya kepada Sang Gubernur pada 2018, dan mengatakan bahwa apabila bukan karena dukungannya DeSantis tidak akan menjadi gubernur.
Trump juga mulai melontarkan kritikannya kepada DeSantis dengan mengatakannya ‘average governor’ dan menjulukinya Ron DeSanctimonious.
Popularitas dan dukungan yang semakin kuat kepada DeSantis sekaligus ambisi politik Trump yang belum padam, membuat Partai Republik terbagi menjadi dua kubu, bahkan menuju Divided Party.

Penentuan Calon dan Ancaman Keterbelahan Partai

Mantan Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat umum menjelang pemilihan paruh waktu, di Mesa, Arizona, AS, Minggu (9/10/2022). Foto: Brian Snyder/REUTERS
Walaupun belum mencapai suatu klimaks polariasi internal, akan tetapi dengan ambisi Donald Trump dan dukungan kuat terhadap Gubernur Ron DeSantis, Partai Republik niscaya akan menuju situasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Basis dukungan politik terhadap mantan presiden Trump pun tidak bisa diremehkan begitu saja. Sebut saja Gubernur South Carolina Henry McHaster yang secara terang-terangan memberikan dukungan kepada Trump.
Selain Mchaster, ketua Partai Republik New Hampshire Stephen Stepanek dan Senator Lindsey Graham juga teguh mendukung sang mantan presiden.
Dukungan kuat lainnya untuk Trump berasal dari Ketua DPR Kevin McCarthy. Terpilihnya McCarthy menjadi ketua DPR AS tidak terlepas dari peran serta Trump yang melakukan lobi di DPR.
Pemimpin Partai Republik Kevin McCarthy saat berkumpul untuk pemilihan kepemimpinan di Capitol AS di Washington Selasa (15/11/2022). Foto: Leah Millis/Reuters
Sehingga dapat dipastikan, paling tidak sampai saat ini, Kevin McCarthy akan memberikan dukungannya bagi pencalonan Trump di pilpres 2024 mendatang.
Namun terlepas dari dukungan beberapa tokoh republikan berpengaruh di atas, penolakan akan pencalonan kembali Trump di pilpres 2024 mendatang juga tidak kalah kuatnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja Gubernur Arkansas, Asa Hutchinson, yang mengatakan bahwa peristiwa kerusuhan 6 Januari di Capitol Hill telah mendiskualifikasi Trump dari pencalonan, dalam arti dia menolak Trump untuk dijadikan calon partai di kontestasi pilpres.
Mantan wakil presiden Mike Pence, walaupun belum pasti bersikap, cenderung tidak akan memberikan dukungannya terhadap Trump. Di dalam Republican National Committee (RNC) atau Komite Nasional Partai Republik sendiri hanya sedikit anggota yang ingin menobatkan Trump menjadi calon presiden.
Gubernur Florida Ron DeSantis. Sumber: Shutterstock
Untuk Ron DeSantis, walaupun belum ada suatu kepastian dukungan, tetapi kecendrungan partisan yang tidak mendukung Trump pasti beralih mendukung dirinya.
Seorang donatur Partai Republik Kenneth Griffin menyatakan dukungannya untuk pencalonan Ron DeSantis. Pengusaha lainnya, yakni CEO Tesla Elon Musk menyatakan dukungannya untuk Ron DeSantis melalui akun twitternya, dengan mengatakan bahwa DeSantis adalah seorang yang masuk akal dan sentris.
ADVERTISEMENT
Walaupun hanya berupa gambaran kasar, namun fakta-fakta yang terjabarkan di atas sejatinya merupakan pertanda bahwa kompetisi dan polarisasi di internal Partai Republik sudah dimulai.
Partai Republik sejatinya sedang berada dalam dilema. Mereka tidak ingin Trump kembali dicalonkan namun semangat dan cara memimpin Trump yang populis masih menjadi karakteristik politik Partai Republik. Sebagaimana pandangan ahli politik David Paleologos bahwa Partai Republik semakin menginginkan Trumpisme tanpa Trump.
Semakin berjalannya waktu menuju pencalonan, semakin cepat pula menuju Divided Party, di mana Partai Republik akan terbagi menjadi dua kubu yang terpolar.
Apabila Partai Republik menjadi Divided Party, maka kondisi 1912 akan terulang. Ahli sejarah Jeffrey A. Engel menulis di Time dengan judul tulisannya The 2024 Presidentian Election? Democrats Already Won, yang berpendapat bahwa kondisi Partai Republik saat ini cenderung mengarah pada kondisi yang serupa dengan tahun 1912, disaat terjadi perpecahan di tubuh partai yang berakibat pada kekalahannya.
Ilustrasi Pilpres Amerika 1912. Sumber: Shutterstock
Pada 1912 Partai Republik terpecah antara kubu Presiden Howard William Taft dan mantan Presiden Theodore Roosevelt. Pada dasarnya perpecahan internal ini diawali oleh kekecewaan Roosevelt kepada Taft yang melanggar janjinya untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana Roosevelt memerintah.
ADVERTISEMENT
Taft lebih memilih anggota kabinet pilihannya sendiri ketimbang pilihan Roosevelt. Hal ini membuat Roosevelt kecewa sekaligus membawanya pada ambisi untuk mencalonkan diri kembali sebagai presiden di pemilu 1912.
Pertemuan Partai Republik di Chicago pada pertengahan tahun 1912, membagi Partai menjadi dua kubu antara Theodore Roosevelt dan Howard William Taft.
Namun setelah melalui proses, partai memutuskan mendukung Taft untuk kembali maju sebagai calon presiden, dan hal ini membuat Roosevelt dan pendukungnya kecewa. Kekecewaan Roosevelt atas tidak dicalonkannya ia oleh Partai, mambuat dirinya mendirikan Partai Bull Moose sebagai kendaraan politiknya untuk maju sebagai calon presiden di pemilu 1912.
Gubernur Republik Florida Ron DeSantis berbicara pada Pertemuan Kepemimpinan Tahunan Koalisi Yahudi Republik di Las Vegas, Nevada, pada 19 November 2022. Foto: Wade Vandervort/AFP
Tidak dipungkiri lagi bahwa pada 1912 Partai Republik menjadi divided party, yang justru menyebabkan kekalahannya akibat suara pemilih yang terpecah.
ADVERTISEMENT
Pilpres pun dimenangkan oleh Woodrow Wilson dari Partai Demokrat dengan perolehan suara, Wilson 41,9 persen, Roosevelt 27,4 persen, Taft 23,1 persen dan Eugene Debs dari Partai Sosisalis 6 persen.
Dari segi konteks dan latar belakang, kondisi partai Republik sekarang dan tahun 1912 memang berbeda. Namun polarisasi yang terjadi di dalamnya kurang lebih sama. Di mana kubu Ron DeSantis dan Donald Trump berpeluang besar menyebabkan terbaginya partai Republik.
Mantan Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat umum menjelang pemilihan paruh waktu, di Mesa, Arizona, AS, Minggu (9/10/2022). Foto: Brian Snyder/REUTERS
Saya berpendapat, andaikan tiket pencalonan dimenangkan oleh DeSantis maka Trump, mengingat ambisi politik dan karakternya, berpeluang besar untuk menempuh langkah yang sama dengan presiden Theodore Roosevelt tahun 1912 dengan mendirikan partai baru demi untuk pencalonannya di pemilihan presiden 2024.
Dan suara partai akan terpecah yang membuat perolehan suara tidak maksimal. Sementara Gedung Putih dikuasai kembali oleh Partai Demokrat sebagaimana Wilson bebas melenggang pada 1912, Partai Republik menjadi divided party jika asumsi dicalonkannya DeSantis dan kekecewaan Trump benar-benar terjadi. DeSantis dan Trump akan menjadi Taft dan Roosevelt di 2024.
ADVERTISEMENT