Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
La Grande Aquila: Mehmed II dan Dunia Taklukannya
20 April 2025 15:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
29 Mei 1453, awan gelap menyelimuti dunia Kekristenan. Tak terbayangkan sebelumnya, sebuah kota megah buah karya Konstantin Agung yang juga menjadi salah satu simbol kejayaan Kristen, ditaklukan oleh seorang ‘naga beracun’ keturunan Utsman Gazi. Pada tahun 1453 dunia berada dalam titik balik sejarah yang menentukan, saat Sultan Mehmed II berhasil menaklukan Kota Konstantinopel. Kaisar Konstantin XI, setelah berjuang mempertahankan kota dengan berbagai perlawanan, akhirnya mengalami kekalahan. Kejatuhan Konstantinopel membuat Mehmed II dengan megah menyandang gelar Al-Fatih, Sang Penakluk (the Conqueror). Pada saat yang sama Kekristenan jatuh dalam duka cita mendalam dan aib, dimana Kaisar Romawi Suci, Frederick III, meratapinya dengan tangisan duka penuh luka dan Paus Nikolas V menyebutnya sebagai peristiwa paling memalukan bagi dunia Kristen.
ADVERTISEMENT
Beberapa abad setelah peristiwa paling bersejarah dan menentukan pada abad 15 tersebut, Mehmed II masih menempati posisi yang menjulang tinggi dalam sejarah dunia. Kepiawaiannya memimpin Kekaisaran Islam terbesar di Timur, kecerdikan strateginya, dan keahlian berpolitiknya, membuat namanya akan selalu terpatri abadi dalam bingkai sejarah dunia. Tak berlebihan apabila nama Sang Sultan disejajarkan dengan beberapa tokoh politik militer brilian seperti Alexander Agung, Julius Caesar, Cyrus Agung, Frederick Agung, hingga Napoleon Bonaparte. Lima abad berlalu, tiada salahnya apabila kita memetik pelajaran berharga dari pemimpin tak tertandinggi pada masanya: Mehmed Sang Penakluk.
Sultan Muda Naik Tahta
Kekaisaran Ottoman yang megah dan bertahan tujuh abad itu, asalnya tak lebih dari sebuah daerah kecil hasil pecahan Kesultanan Seljuk. Seljuk dikalahkan bangsa Mongol pada tahun 1246, dan terpecah menjadi beberapa daerah kecil yang disebut beylik. Salah satu beylik terkecil adalah yang dipimpin oleh Utsman Gazi, yang dari namanya kemudian akan terbentuk sebuah kekaisaran Islam terbesar yakni Utsmani (para putra Usman) atau di Barat disebut Ottoman. Para penerus Utsman Gazi secara perlahan memperluas daerah kekuasaannya. Mulai dari Orhan Gazi, Murat I, Bayezid I, Mehmed I, hingga Sultan Murad II yang berkuasa pada 1421 setelah Sultan Mehmed I meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Kurang dari satu tahun setelah naik tahta, pada Juni 1422, Sultan Murad II mencoba melakukan pengepungan atas Konstantinopel namun berakhir dengan kegagalan. Kaisar John VIII di Konstantinopel tentu saja menganggap Murat adalah ancaman nyata bagi kekuasaannya dan dunia Kekristenan umumnya. Karenanya sang Kaisar meminta Paus Martinus V mengadakan sebuah konsili untuk menyatukan antara Gereja Yunani dan Latin, Timur dan Barat. Penyatuan Gereja baru terjadi pada 5 Juli 1439 dibawah pengawasan Paus Eugenius IV. Ini mengindikasikan bahwa dunia Kristen sedang berusaha merajut persatuan untuk menghadapi satu ancaman bersama yakni Kekaisaran Ottoman yang saat itu dipimpin Sultan Murad II. Bahkan pada 1 Januari 1443, Paus Eugenius IV menyerukan koalisi pasukan salib untuk melawan Murad. Sekali lagi dalam sejarah dunia, sejak Deklarasi Perang Salib Paus Urbanus II di Konsili Clermont 1095, Kristen dan Islam berhadapan sebagai musuh bebuyutan.
Satu tahun lebih sejak seruan Paus Eugenius IV, yakni pada 1444, Sultan Murad II menyatakan mengundurkan diri dari kekuasaanya, dan menyerahkannya kepada putranya, Mehmed. Mehmed masih sangat muda, ia lahir di Edirne Sarayi pada 30 Maret 1432 anak ketiga Murat dari selirnya yang bernama Huma Hatun. Mehmed yang sebelumnya menjadi Gubernur Manisa, menjabat sebagai Sultan muda dibawah bimbingan Wazir Agung Halil Pasha. Namun Mehmed masih dianggap ‘mentah’ sebagai pemimpin terutama saat ia menandatangani perjanjian damai dengan Venesia pada 23 Februari 1446. Halil Pasha membujuk Murad kembali berkuasa pada 1446, yang kemudian disanggupinya. Mehmed yang turun tahta menyertai ayahnya yang kembali menjadi sultan dalam Perang Kosovo Oktober 1448. Pada 3 Februari 1451, Sultan Murad II menemui ajalnya, dan pada 18 Februari Mehmed dikukuhkan kembali menjadi Sultan pada usia 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Penaklukan
Walaupun terbilang masih sangat muda, ambisi Sultan Mehmed II jauh melampaui usianya. Konstantinopel menjadi ambisi penaklukan pertamanya, setelah sang ayah yang gagal menaklukan kota tersebut pada tahun 1422. Sejak Februari 1452, Konstantin XI sudah merasakan ancaman besar terhadap kota tempat ia berkuasa, karenanya ia mengirim surat kepada Senat Venesia dengan meyakinkan Senat bahwa Mehmed hampir pasti akan menaklukan Konstantinopel. Paus Nikolas V pada Desember 1452 mengirim salah satu kardinalnya untuk membujuk Konstantin XI agar bersedia menyepakati deklarasi penyatuan antara Timur dan Barat. Gagasan penyatuan Paus menemui jalan buntu setelah beberapa penolakan, termasuk dari megas doux Loukas Notaras.
Pada Januari 1453, Sultan Mehmed memberitahu para wazirnya mengenai rencananya menaklukan Konstantinopel. Kemudian pada bulan Maret, Mehmed membangun armadanya di Gallipoli untuk mempersiapkan serangan ke Tanduk Emas. Sang Sultan memulai serangan pada 6 April namun harus menghadapi hambatan yang cukup berat, yakni adanya rantai besi di pintu gerbang Tanduk Emas, sebagai bentuk pertahanan yang diciptakan Kaisar Konstantin. Akhirnya pada 22 April, Mehmed dengan taktik brilian memerintahkan pengangkutan kapal perangnya melalui Bukit Galata dan langsung memasuki Tanduk Emas. Konstantinopel dicekam ketakutan mendalam. Serangan terus dilakukan dan Kaisar Konstantin dilingkupi keputusasaan mendalam. Walaupun berusaha dihentikan oleh Wazir Agung Halil Pasha -yang kemudian terbukti ia menerima bayaran dari Byzantium- Mehmed tetap melanjutkan serangan.
Pada 29 Mei, Mehmed melakukan serangan puncak yang membuatnya berhasil merebut Benteng Theodosius dan Istana Blachernae. Konstantinopel jatuh. Sang Penakluk menjadikan Aya Sofia, salah satu bangunan ikonik dan bersejarah di Konstantinopel yang didirikan pada masa Kekaisaran Justitianus Agung, menjadi sebuah masjid. Mehmed melaksanakan shalat Jum’at pertamanya di Aya Sofia pada 1 Juni 1453. Peradaban Kristen yang begitu berurat berakar selama ratusan tahun di Konstantinopel kini menemui akhirnya di tangan Mehmed Sang Penakluk.
ADVERTISEMENT
Setelah menaklukan Konstantinopel, ambisi akan kejayaan Mehmed tidak padam, justru semakin membara. Mehmed berhasil mencapai perjanjian perdamaian dengan Venesia, dan setelahnya ia melakukan ekspedisi militer ke Beograd dan Serbia. Ekspedisi ini gagal setelah menghadapi perlawanan sengit yang dipimpin John Hunyadi. Namun Serbia kemudian berhasil jatuh ke tangan Mehmed pada 20 Juni 1459. Penaklukan Mehmed tak selalu berbuah keberhasilan, namun kekuasaannya tetap menjadi momok menakutkan bagi dunia Kristen. Paus Pius II yang dinobatkan sejak 1458, yang menyebut Mehmed sebagai ‘naga beracun’ berusaha membujuk Sang Sultan melalui Epistola ad Mahumetem, atau Surat Kepada Mehmet. Dalam surat itu Paus berusaha meyakinan Mehmed untuk dibaptis menjadi seorang Kristen agar kekuasaanya bisa diterima oleh dunia Kristen. Paus menegaskan: “begitu anda melakukanya, tak seorangpun di dunia yang akan melebihi kemasyhuran dan kekuatan seperti anda”. Ini membuktikan bahwa kekuasaan Mehmed begitu berpengaruh dan menyilaukan dunia Kristen.
ADVERTISEMENT
Berbagai ekspedisi penaklukan dengan berbagai kegagalan dan keberhasilannya masih banyak dilalui oleh Mehmed, namun tentu saja tak bisa diuraikan secara rinci disini. Siapapun yang ingin memahami kehidupan Mehmed salah satu buku terbaik yang bisa dibaca adalah karya John Freely berjudul The Grand Turk. Sumber yang digunakan penulis dalam tulisan ini sebagian besar adalah dari hasil bacaan atas bukunya.
Kehidupan Mehmed adalah sebuah episode menentukan dalam sejarah dunia, yang sedikit besarnya membentuk konfigurasi politik dunia hingga beberapa abad setelahnya. Namun Mehmed tetaplah manusia yang harus berdamai dengan ketidakabadian. Ia menemui ajalnya pada 3 Mei 1481. Kematian Mehmed dirayakan tiga hari tiga malam di Roma. Namun seorang kapten Galley Venesia yang diperintahkan mengabarkan kematian Sang Sultan kepada Doge oleh Duta Besar Niccolo Cocco, berteriak dengan lantang dalam pertemuan Doge: La Grande Aquila è morta!, Sang Elang Agung telah mati. Mehmed Sang Penakluk tidak bisa menaklukan kematian, tapi ia mewariskan keagungan.
ADVERTISEMENT