Konten dari Pengguna

Meraih Supremasi: 75 Tahun Republik Rakyat Tiongkok

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
13 Oktober 2024 12:06 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Sumber: istockphoto
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Sumber: istockphoto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Republik Rakyat China, Pemerintahan Rakyat Pusat, pada hari ini didirikan. Itulah pernyataan yang terlontar dari Mao Zedong pada 1 Oktober 1949 – 75 tahun lalu- yang bergema membelah langit Tian’anmen sekaligus mengguncang dunia. Implikasinya tidak hanya bagi rakyat dan sejarah Tiongkok, tapi juga mengubah total konfigurasi politik dunia pasca-Perang Dunia II. Dalam konteks internasional, deklarasi yang menandaskan eksistensi ini paling tidak berimplikasi pada dua hal: pertama, euforia komunisme yang semakin kuat, dan kedua, kehilangan yang menyakitkan bagi Barat terutama Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Presiden Harry S. Truman di Gedung Putih mendapatkan kritik tajam, terutama dari kaum Republikan, atas peristiwa ‘hilangnya Tiongkok’. Jenderal George C. Marshall yang diutus Truman bertandang ke Tiongkok untuk merekonsiliasi kaum nasionalis (Kuomintang) dan Komunis (Kuncantang) pada tahun 1946 tak membuahkan hasil. Misi Marshall gagal. Menteri Luar Negeri Dean Acheson -yang menjabat sejak 1 Januari 1949- meperediksi bahwa kelompok Nasionalis Chiang Kai-Shek akan kalah. Prediksi Acheson terbukti menjadi momentum Deklarasi 1 Oktober 1949 yang menandai berdirinya sebuah negara komunis baru: Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Kini, Oktober 2024, RRT sudah berdiri selama 75 tahun. Dari negara yang dibelit berbagai problematika yang menyedihkan dan tragedi yang menjadi catatan hitam, Tiongkok saat ini muncul sebagai satu di antara sedikit kekuatan besar (great power) ekonomi dan politik dunia. Kebangkitan Tiongkok (Rising of China) menjadi ancaman geopolitik dan geoekonomi terutama bagi Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun belakangan -terlebih sejak tercetusnya kebijakan Pivot to Asia Obama dan Hillary Clinton- Washington DC seakan mengukuhkan Beijing sebagai ‘musuh abad ini’.
ADVERTISEMENT
Abad Penghinaan
Tiongkok adalah sebuah peradaban besar. Peradaban ribuan tahun di Timur ini tentu menjadi salah satu roda penggerak peradaban dan sejarah dunia. Mulai dari penemuan teknologi persenjataan, koneksi perdagangan internasional, hingga aktivitas pelayaran yang hebat telah dilakoni Tiongkok, bahkan sebelum orang Eropa melakukannya. Namun deklinasi atau kemunduran ternyata tak bisa dihindari Tiongkok, terutama di abad ke 19.
Di abad 19, negara-negara Eropa sedang gencar melebarkan sayap dominasinya melalui kolonialisme. Tiongkok yang mengalami deklinasi dan menjadi kekuatan lemah (weak power), tak lepas dari ‘buruan’ para kolonialis. Perang Candu barangkali menjadi momentum historis awal takluknya Tiongkok pada kekuatan asing. Inggris sebagai kekuatan digjaya abad 19 memaksa Tiongkok membuka pintu perdagangan opium atau candu. Inggris disuguhi resistensi. Maka pecahlah Perang Candu tahun 1839 yang berakhir pada 1842 dengan kekalahan Tiongkok. Perjanjian Nanking 1842 yang mengakhiri perang, mengharuskan Tiongkok menyerahkan Hongkong kepada Inggris. Perang Candu Kedua meletus 1856, dengan Tiongkok masih harus menanggung malu dan penghinaan karena kekalahan.
ADVERTISEMENT
Di penghujung abad-19, Amerika Serikat mulai menginginkan dominasi di Tiongkok. Hubungan AS-Tiongkok barangkali dimulai sejak Perjanjian Wanghia 1844 dimana lima Pelabuhan Tiongkok dibuka untuk China, juga pada 1858 AS mengirim Duta Besar William B. Reed ke Tiongkok. Namun di penghujung abad 19, dimana AS telah muncul menjadi salah satu kekuatan besar, peran dan dominasinya di Tiongkok semakin menguat.
Dalam bukunya yang berjudul “America in the World” Robert Zoellick mencatat bahwa pada 6 September 1899, Menteri Luar Negeri John Hay mengirim surat kepada Inggris, Prancis, Jerman Rusia, Italia, dan Jepang, untuk menjamin akses bebas ke Pelabuhan Tiongkok. Gagasan John Hay ini kemudian dikenal sebagai kebijakan pintu terbuka (open door policy). Tiongkok sebagai weak power hanya bisa pasrah saat negaranya dijadikan ‘kue’ yang dinikmati para kekuatan besar. Perlawanan sempat muncul dengan adanya Pemberontakan Boxer sebagai resistensi terhadap dominasi asing. Hay bereaksi dengan mengirimkan Catatan Pintu Terbuka Kedua pada 3 Juli 1900, dengan menegaskan bahwa AS ingin bekerja sama bukan menjadi musuh.
ADVERTISEMENT
Paling tidak dua peristiwa itu -Perang Candu dan Kebijakan Pintu Terbuka- menjadi bukti nyata kelemahan Tiongkok. Sebagai negara lemah, perlawanan Tiongkok hanya berbuah kegagalan dan diam hanya akan menelan pahitnya hinaan. Maka era tersebut, dimana Tiongkok tak bergigi secara diplomasi maupun ekonomi dan tak moncer secara militer, disebut sebagai Abad Penghinaan atau Century of Humiliation.
Perjalanan Menuju Puncak
Sejak dideklarasikan, RRT tak langsung muncul sebagai kekuatan hebat. Sebaliknya, berbagai masalah membelit negara yang baru berdiri itu. Tahun 1950, Mao dengan berani melibatkan RRT dalam Perang Korea, yang tujuan utamanya adalah untuk memeras Stalin di Moskow agar membagi teknologi nuklirnya untuk RRT. Mao memanipulasi rakyatnya dengan Kampanye Seratus Bunga yang memakan korban. Kebijakan nir-perhitungan dalam Lompatan Besar Ke Depan yang membuahkan kelaparan hebat. Penghancuran warisan lama melalui Revolusi Kebudayaan yang memakan banyak korban. Itulah kebijakan tak masuk akal Mao yang mengawali perjalanan RRT.
Lukisan Andy Warhol (Foto: www.sothebys.com) (KumparanNEWS)
Mao adalah tokoh berbahaya. Licik, manipulatif, dan membenarkan cara apapun untuk berkuasa. Jung Chang dan John Halliday memotret perjalanan hidup Mao dalam buku biografi sang Kamerad yang berjudul “Mao: The Unknown Story” yang akan mencengangkan siapapun pembacanya. Dalam urusan luar negeri, Mao menghadapi tantangan terutama saat terjadinya Sino-Soviet Split dimana terjadi kerenggangan antara Moskow dan Beijing yang menandai keretakan dalam komunisme internasional. Amerika memanfaatkan keadaan dengan mendekati RRT. Adagium lama berlaku: musuh dari musuhku adalah temanku. Puncaknya, pendekatan realis Nixon-Kissinger membuat AS menjalin hubungan dengan RRT.
ADVERTISEMENT
Setelah Mao meninggal, kemudi bahtera diambil alih oleh Deng Xiaoping. Deng memiliki gagasan segar untuk RRT, yaitu reformasi. Pada Desember 1978, sebagaimana diuraikan Michael Wicaksono dalam buku “Republik Rakyat China: Dari Mao Zedong sampai Xi Jinping”, diadakan Sidang Pleno Ke-3. Sidang itu memutuskan beberapa hal krusial yang salah satunya adalah reformasi ekonomi. Reformasi ekonomi ini merupakan awal diserapnya tata kerja ekonomi kapitalisme dalam struktur ekonomi nasional Tiongkok. Deng menjadi tokoh yang memulainya.
Deng adalah seorang realis yang tak terikat dogmatisme. Ia terkenal dengan perkataannya: tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang terpenting ia bisa menangkap tikus. Pragmatisme menjadi dasar kebijakan Reformasi Deng Xiaoping. Kendati dikritik sebagai revisionis, kebijakan Deng ini barangkali menjadi penyelamat RRT agar tidak bernasib tragis seperti Uni Soviet. Reformasi Deng juga mengawali lepas landas pertumbuhan ekonomi RRT yang semakin waktu semakin menanjak hebat.
Presiden China Xi Jinping membuka Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) di Beijing. Foto: Nadia Jovita Injilia Riso/kumparan (KumparanNEWS)
Kebijakan Deng Xiaoping semakin dikembangkan oleh penerusnya, Jiang Zemin dengan kebijakan integrasi China ke pasar global dan Hu Jintao dengan kebijakannya untuk mengembangkan inovasi teknologi. Memasuki abad 21, RRT menjadi kekuatan adidaya baru yang mengancam terlebih bagi Amerika Serikat, terutama setelah era kepemimpinan Xi Jinping yang berkuasa sejak 2012. Di bawah kepemimpinan Presiden Xi, RRT semakin kuat baik secara ekonomi maupun militer. Kebijakan dan gagasan tentang dominasi RRT dicetuskan mulai dari Mimpi China (zhongguo meng) hingga Belt Road Initiative (BRI) yang mengkhawatirkan AS beberapa negara kawasan.
ADVERTISEMENT
75 tahun Republik Rakyat Tiongkok sudah eksis sebagai negara berdaulat. Kepahitan, luka, bahkan kesengsaraan sudah dirasakan. Saat ini RRT masih menjadi pemain utama dalam panggung politik dan ekonomi dunia bersama rivalnya, Amerika Serikat. Wabah Covid-19 sempat menginterupsi pertumbhan dan laju ekonom RRT, namun hal itu tidak membawa RRT pada deklinasi signifikan, justru menjadi pemantik kemajuan yang mungkin lebih megah lagi.
Buah Pelajaran
Tak ada salahnya mencontoh perjuangan sebuah negara, termasuk RRT, dalam meniti kedigjayaan dan supremasinya. Ada beberapa pelajaran yang kiranya bisa dicontoh dari bangkit dan berkembangnya Tiongkok.
Pertama, sejarah amat penting bagi sebuah bangsa. Kejayaan RRT didasarkan pada catatan sejarah yang dimilikinya, dimana bangsanya hanya menjadi bangsa inferior yang hidup dalam penghinaan dan penindasan bangsa asing. Kesadaran akan sejarah masa lalu yang kelam, membuat Tiongkok berusaha membayarnya dengan kebangkitannya yang megah dan mengesankan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kreativitas dan inovasi mendahului dogma. Momentum kemajuan RRT dimulai dengan langkah berani Deng Xiaoping mendobrak dogmatisme ideologis. Kendati sering dianggap pragmatis -dan barangkali memang benar- sejatinya Deng melakukan satu inovasi kreatif dalam sistem ekonomi, dimana pasar dan kapitalisme diterima dengan terbuka tanpa mengganggu otoritas, struktur politik, dan partai.
Ketiga, tak ada keberhasilan yang mudah. RRT berhasil mencapai kecemerlangan ekonominya melalui jalan terjal yang tidak mudah. Pengucilan dan penghinaan sempat dilalui, bahkan sampai menjilat negara adidaya seperti Soviet. Namun, ini dapat menjadi pelajaran bagi siapapun dan bangsa manapun, bahwa perjuangan mencapai puncak harus melalui jalan terjal yang penuh keringat, darah, dengan kegigihan tanpa batas.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan yang konon berasal dari Napoleon Bonaparte: Tiongkok adalah raksasa yang tidur, ketika ia bangun ia akan mengguncang dunia. Saat ini raksasa itu telah bangun dan berhasil meniti jalan terjal menuju supremasinya.
ADVERTISEMENT