Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Realpolitiker: Richelieu, Metternich, dan Bismarck
2 September 2024 9:12 WIB
·
waktu baca 9 menitDiperbarui 13 Oktober 2024 13:13 WIB
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 27 Mei 1953, seorang negarawan besar Inggris Winston Churchill mengatakan: pelajari sejarah, dalam sejarah terletak semua rahasia kenegaraan. Ucapan Churchill yang dijadikan pembuka oleh Andrew Roberts dalam buku biografi sang perdana menteri, Walking with Destiny, juga tepat kiranya untuk menjadi pembuka tulisan ini. Tulisan pendek ini berusaha untuk menyelami ruang dan waktu yang tertimbun kenangan yang kadang pudar, namun amat sayang untuk dilupakan. Berbagai pelajaran -baik berupa kemalangan ataupun kegemilangan- bisa kita pelajari dalam kebesaran tiga negarawan besar Eropa yakni: Richelieu, Metternich, dan Bismarck.
ADVERTISEMENT
Gerak sejarah Eropa diarahkan oleh ketiga nama besar itu. Tentu dalam kungkungan ruang dan waktu yang berlainan satu sama lain. Richelieu hidup dua abad lebih awal daripada Metternich dan Bismarck. Pun demikian halnya Bismarck, merajai panggung politik Eropa setelah redupnya generasi Metternich. Artinya, ketiga tokoh ini tidak hidup dalam ikatan waktu sezaman, namun dalam spasial yang sama: Eropa. Namun lebih dari apapun perbedaan antara ketiganya, tiga negarawan besar tersebut memiliki satu kesamaan: ketiganya adalah praktisi politik kekuasaan yang hebat dan brilian. Sebagai praktisi realpolitik sejati, mereka adalah realpolitiker tanpa tanding.
Richelieu dan Lahirnya Logika Raison D’Etat
Sejarah mencatat Richelieu sebagai salah satu negarawan terhebat dan termasyhur Prancis. Pria yang kemudian menjadi kardinal dan negarawan itu lahir di Paris pada 9 September 1585, dengan nama lengkap Armand Jean du Plessis de Richelieu. Raja Prancis Louis XIII mengangkat Kardinal Richelieu menjadi perdana menterinya pada 1624, dan secara de facto Richelieu menjadi pengatur dan penentu arah kebijakan Prancis sebagai mandataris monarki. Dimulailah petualangan Richelieu sebagai praktisi politik kekuasaan.
Eropa abad ke 17 adalah Eropa yang nir-tatanan (disorder), terutama disaat mimpi universalisme Kekaisaran Romawi Suci berbenturan langsung dengan sikap oposisi berbagai entitas negara yang menentang mimpi Habsburg tersebut. Kaisar Ferdinand II dari Kekaisaran Romawi Suci menjadi tokoh yang mengomandoi perjuangan universal untuk mendirikan satu kekaisaran Kristen Katolik Eropa, atau lebih dikenal dengan sebutan Christendom. Mimpi universalisme Christendom ini menjadi tujuan fundamental Kekaisaran Romawi Suci untuk menancapkan kekuasaan mutlaknya di seluruh Eropa. Bahkan sejarawan Brendan Simms dalam bukunya Europe: The Struggle for Supremacy menyebut Christendom sebagai sinonim dari Eropa, pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Mimpi universalisme Katolik Ferdinand II tak disambut baik, terutama oleh negara-negara protestan. Benturan ambisi ini membawa Eropa pada salah satu sejarah paling kelam benua tersebut yakni meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) yang dimulai sejak 1618. Latar historis inilah yang sedang mewarnai kanvas politik Eropa, saat Richelieu menduduki jabatannya pada 1624. Henry Kissinger dalam bukunya, Diplomacy, menerangkan bahwa seharusnya atau idealnya, Prancis sebagai negara Katolik menyambut dan mendukung penuh mimpi Ferdinand II di Eropa, dan turut melakukan perlawanan terhadap negara-negara protestan dan para pemimpinnya yang menentang mimpi universalisme Katolik Kekaisaran Romawi Suci. Prancis, dengan keluhuran taktik realis Richelieu, tak mengakomodir ambisi Ferdinand II. Sebaliknya, Richelieu menempuh strategi melawan ambisi itu.
ADVERTISEMENT
Kendati dirinya adalah seorang Kardinal, alih-alih mendasarkan kebijakannya pada idealisme dan motivasi Katolik, Richelieu lebih mengorientasikan taktik dan strateginya untuk kepentingan Prancis. Secara tidak langsung, sang kardinal mengawali pendefinisian tentang negara bangsa modern dan kepentingan nasionalnya. Karenya, ia digelari sebagai bapak negara bangsa modern. Richelieu dengan fasih dan strategi yang memadai mendefinisikan kepentingan nasional Prancis melalui apa yang kemudian dikenal sebagai raison d’etat.
Logika raison d’etat, sebagaimana diutarakan Kissinger, menegaskan bahwa kesejahteraan negara membenarkan cara apapun untuk mencapainya. Richelieu menganggap bahwa ambisi universalis Kekaisaran Romawi Suci akan mengkerdilkan peran Prancis di benua itu, karenanya harus dihadapi secara konfrontatif. Richelieu menempuh kebijakan berani dengan taruhan yang sejatinya beresiko untuk mendukung dan berkoalisi dengan para pejuang protestan, seperti Gustavus Adolphus di Swedia untuk melawan Kekaisaran Romawi Suci. Dalam hal ini dapat kita lihat bagaimana orientasi langkah dan strategi Richelieu untuk kepentingan nasional Prancis, dengan memperlemah ambisi Ferdinand II. Ia tidak tergiur idealisme universal agama Katolik, dan lebih mengutamakan kepentingan nasional negara dan bangsanya, Prancis.
ADVERTISEMENT
Tak ada mimpi muluk untuk supremasi Katolik dalam diri Richelieu. Ia melihat politik secara riil sebagai sebuah kekuasaan berikut manuver dalam perebutan dan upaya mempertahankannya. Pandangan raison d’etat-nya yang termanifestasi menjadi taktik yang berhasil untuk memecah dan memperlemah Eropa Tengah, merupakan manifestasi nyata dari realpolitik. Kekuasaan dan jaminan keamanan Prancis bagi Richelieu adalah sesuatu yang ril yang harus diperjuangkan dengan cara apapun. Ironinya, Richelieu disebut-sebut turut menjadi aktor yang berperan memperpanjang perang yang meletus di Eropa sejak 1618, yang baru berakhir dengan terselenggaranya Perjanjian Damai Westphalia 1648, hanya untuk menjamin keamanan dan kekuasaan Prancis. Terlepas dari vonis moral dan etika yang menghantui catatan hidupnya, Richelieu adalah negarawan yang berhasil mendefinisikan secara fasih dan tepat kepentingan Prancis. Ia seorang realpolitiker terhebat di masanya.
ADVERTISEMENT
Metternich dan Eropa Pasca-Napoleon
Krisis politik yang amat hebat melanda Eropa di penghujung abad 18 dan dekade awal abad 19. Revolusi Prancis yang meletus 1789 membuahkan serangkaian konflik kontinental, terutama yang terwujud dalam ambisi besar seorang pemimpin militer brilian Prancis: Napoleon Bonaparte. Pada 1804, dihadapan Paus Pius VII, Napoleon mengukuhkan diri menjadi kaisar Prancis dan melanjutkan petualangan geopolitiknya di Eropa. Eropa yang penuh konflik dan krisis politik inilah, yang menjadi latar historis munculnya seorang negarawan hebat Austria yang akan menjadi simbol oposisi untuk ambisi besar Napoleon Bonaparte. Ia adalah Klemens von Metternich.
Metternich lahir pada tahun 1773, lebih muda empat tahun dari Napoleon Bonaparte yang lahir 1769. Dalam buku biografi Metternich yang paling mutakhir terbit, yang ditulis oleh Wolfram Siemann dengan judul Metternich: Strategist and Visionary, periode hidup negarawan konservatif itu dibentuk oleh tujuh periode sejarah Eropa yang berbeda. Mulai dari lahirnya generasi Metternich pada 1773, gejolak Revolusi Prancis, Era Napoleon (Napoleon Age), zaman restorasi Metternich 1815-1830, revolusi Juli 1830 dan bangkitnya nasionalisme Eropa, Revolusi liberal 1848, hingga runtuhnya sistem Metternich. Latar historis itulah yang membersamai kehidupan Metternich.
ADVERTISEMENT
Sebagai keturunan bangsawan Kekaisaran Romawi Suci yang dibuai asuhan aristokrasi, ia kontra-Revolusi Prancis. Karenanya, ia menjadi orang yang sangat menentang ambisi Napoleon untuk menyebarkan liberte, egaliter, fraternite ke seluruh penjuru Eropa. Kurang lebih dua tahun sejak Napoleon menjadi kaisar, tepatnya pada 1806, Metternich ditunjuk menjadi duta besar Austria di Prancis. Berselang tahun, tepatnya pada 1809 Metternich ditunjuk menjadi Menteri luar negeri Austria. Jabatan inilah yang membuat peranan Metternich semakin dominan dalam kebijakan luar negeri kekaisaran Habsburg.
Metternich dengan pandangan realisnya mengakui kedigjayaan Napoleon dan kelemahan yang dimiliki Austria apabila harus kembali melawan sang Kaisar Prancis. Karenanya ia mempraktekan logika raison d’etat ala Richelieu -saat keselamatan dan keamanan negara bisa dicapai dengan cara apapun- yaitu dengan menjodohkan Napoleon dengan putri Kaisar Habsburg, Marie-Louise. Dengan relasi personal yang mengikat sebagai suami dari Marie-Louise dan menantu Kaisar Francis, Metternich berhasil mengamankan posisi Austria dari ambisi besar Napoleon.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini berubah seiring munculnya momentum. Pada 1812, Napoleon mengalami kegagalan dalam misinya ke Rusia. Pelemahan dalam pasukan dan ambisi Napoleon membuat Austria berbalik arah melawan Prancis dalam koalisinya dengan Inggris, Prusia, dan Rusia. Napoleon mengalami kekalahan juga di Leipzig pada 1813 yang semakin menandai awal hancurnya rezim kekaisaran. Di tengah kelesuan rezim Napoleon, Metternich mengambil inisiatif kepemimpinan untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan besar para negarawan Eropa, yang lazim dikenal dengan Kongres Wina.
Kongres Wina dimulai pada bulan September 1814. Empat tokoh utama mendominasi pertemuan. Metternich yang mewakili Austria, Tsar Alexander I yang mewakili Rusia, Lord Castlereagh menjadi perwakilan Inggris, serta Prusia diwakili Karl August von Hardenberg. Kongres Wina berusaha untuk merestorasi tatanan politik Eropa yang sudah diacak-acak oleh ambisi Napoleon. Dalam hal ini Metternich memainkan peran sentralnya. Ia amat berperan untuk memastikan sistem Kongres yang terbentuk, bisa membuahkan keseimbangan kekuasaan di Eropa pasca-Napoleon. Sebagaimana diutarakan Kissinger, keseimbangan Eropa pasca-Napoleon terbentuk dalam dua aliansi, yang pertama Quadruple Alliance antara Inggris, Austria, Prusia, dan Rusia, dan kedua adalan Aliansi Suci (Holy Alliance) dengan negara yang sama namun tanpa keterlibatan Inggris.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang realis politik, Metternich berkepentingan menjaga dua aliansi yang menguntungkan Austria itu. Baginya, Quadruple Alliance penting untuk keseimbangan politik Eropa, sedangkan Aliansi Suci penting untuk politik domestik, terutama dalam komitmen bersama untuk menekan gerakan revolusioner. Metternich menjadi seorang realpolitiker hebat dengan mengutamakan kepentingan Austria, kendati sejarah cenderung memvonisnya sebagai reaksioner konservatif yang anti kedaulatan rakyat. Namun bagaimanapun, ia berhasil mencetak sejarah. Sebagaimana yang dikutip Henry Kissinger dalam bukunya A World Restored, Metternich pernah mengatakan: saya dilahirkan untuk membuat sejarah, bukan menulis novel. Ya, dia melakukannya.
Bismarck dan Unifikasi Jerman
Eropa dekade 1850-an, didominasi oleh aktor yang berbeda. Generasi Metternich redup oleh waktu yang berlalu. Pada 1852, Kaisar Napoleon III dari Prancis, meminta Sultan Ottoman untuk menjadikannya pelindung Kristen Timur. Permintaan ini ditentang keras oleh Rusia yang memiliki ambisi yang sama besar, sehingga membawa Eropa pada Perang Krimea yang meletus sejak 1853. Perang Krimea menandai hancurnya sistem Metternich dan Konser Eropa, terlebih dengan pecahnya Aliansi Suci saat Austria memutuskan tak terikat lagi. Sejak itu, perimbangan kekuatan di Eropa Tengah terutama, mengalami perubahan signifikan dengan munculnya Prusia sebagai kekuatan dominan dan menuju penyatuan (unifikasi).
Unifikasi Jerman tak bisa dilepaskan dari peran sentral seorang negarawan hebat -yang kemudian lazim disebut Kanselir Besi- yakni, Otto von Bismarck. Bersama Napoleon III di Prancis, Bismarck menjadi aktor dominan dalam politik Eropa pada pertengahan abad 19. Pada tahun 1862, pria kelahiran 1 April 1815 itu, diangkat menjadi ministerpraesident (perdana menteri). Bismarck menyaksikan, dan menjadi aktor strategis dari tiga perang yang melatari Unifikasi Jerman, yakni Perang Schleswig-Holstein 1864, Prang Austria-Prussia 1866, dan Perang Prancis-Prussia 1870.
ADVERTISEMENT
Henry Kissinger menyebut negarawan favoritnya, Bismarck, sebagai seorang revolusioner yang merombak tatanan Metternich, terutama di Eropa Tengah. Bismarck dengan ambisi superioritas Jerman berusaha untuk memperlemah Austria yang dalam pandangannya bisa menjadi penghalang bagi unifikasi Jerman dan supremasi kekuatannya. Ia tak merasa perlu untuk mempertahankan status quo Sistem Metternich dengan perimbangan kekuatan di Eropa Tengah yang mengikat. Sebaliknya, ia berperan menjadi seorang realpolitiker yang handal dimana kekuatan dan kepentingan Jerman menjadi orientasi kebijakan yang tak bisa dikompromikan.
Dalam hubungannya dengan Prancis, Bismarck memiliki pandangan yang berlainan bahkan dengan mentornya sendiri, Leopold von Gerlach. Dalam pandangan Gerlach, Perancis adalah musuh alami bagi Prusia. Namun Bismarck selalu berpegang teguh pada pandangan realpolitik yang menurutnya menuntut fleksibilitas taktis. Karenaya Bismarck berusaha untuk menjalin hubungan pragmatis dengan Napoleon III. Fleksibilitas kebijakan yang didasarkan pada penilaian strategi yang canggih oleh Bismarck, dibuktikan kembali saat konflik Prancis-Prussia meletus. Bismarck dengan sengaja memancing Prancis agar mendeklarasikan perang terutama sejak memanasnya sengketa Spanyol. Bismarck membuat Ems Telegram yang mengesankan seolah-olah Wilhelm tidak menghargai Napoleon III. Ini membuat Prancis berang dan pada 15 Juli 1870, Paris mendeklarasikan perang.
ADVERTISEMENT
Prancis kalah telak. Napoleon III ditangkap dalam Pertempuran Sedan. Pada 18 Januari 1871, di Istana Versailles, Wilhelm I dinobatkan sebagai kaisar, dan Jerman berhasil mencapai penyatuannya. Dengan langkah realpolitik Bismarck, Jerman berhasil meraih superioritasnya di Eropa Tengah tanpa bayang-bayang ancaman Austria maupun Prancis, kendati dalam soal yang terakhir, akan berbuah konflik yang tak berkesudahan hingga berkuasanya Hitler di Jerman. Namun betapapun briliannya kebijakan Bismarck, ia tak pernah menjadi penguasa penuh Jerman. Jabatannya lebih lemah dari Kaisar. Sebagaimana yang diutarakan penulis biografinya, Jonathan Steinberg, dalam Bismarck: A Life, Bismarck membuat Jerman tapi tak pernah menguasainya.