Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Theodore Roosevelt & Woodrow Wilson: Ambivalensi Politik Luar Negeri
29 Juli 2024 17:21 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa episode paling krusial dalam sejarah, peran global Amerika Serikat begitu signifikan. Mulai dari gugatannya yang lantang terhadap kolonialisme Inggris, tantangan domestik yang memeras darah dan keringat saat Perang Sipil, keterlibatan dalam dua perang dunia, konfrontasi ideologis dengan Rusia, hingga ancaman ekstrimisme religiusitas di awal abad 21, telah mewarnai sejarah perjalanan bangsa tersebut. Wajar kiranya apabila signifikansi peran global AS tadi berimplikasi pada ditunggu-tunggunya setiap kebijakan Washington DC oleh para pengamat dan pemimpin dunia.
ADVERTISEMENT
Setiap kebijakan AS akan berdampak secara global. Bahkan dalam periode puncak dominasinya, setiap keputusan Washington tak ubahnya seperti penggerak jalannya sejarah dunia. Kini, AS telah genap berumur 248 tahun sebagai bangsa merdeka sejak Deklarasi Kemerdekaan 4 Juli 1776. Sangat wajar apabila ada semacam refleksi dua setengah abad eksistensi Amerika, terutama dalam konteks peran globalnya. Tulisan ini dimaksudkan menjadi setitik kecil catatan kaki untuk merefleksikan tebalnya sejarah panjang Amerika.
Tentu saja ini bukanlah tulisan yang mengurai sejarah politik luar negeri Amerika. Sudah amat banyak literatur tentang itu. Tulisan ini lebih merupakan sebuah ringkasan historis yang dipadatkan dalam satu tesis argumen bahwa: kebijakan politik luar negeri Amerika selalu ambivalen dan paradoks. Salah satu episode historis yang paling menggambarkan ambivalensi ini adalah dua dekade pertama abad 20, yaitu pertentangan antara Presiden Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson.
ADVERTISEMENT
Terjebak Antara Raison d’Etat dan Visi Moralis
Dalam bukunya yang termashur, Diplomacy, Henry Kissinger mengawali bab pertamanya dengan uraian tentang tatanan dunia pasca-Perang Dingin, atau yang olehnya disebut sebagai The New World Order. Menariknya, dalam uraiannya, Kissinger membubuhkan semacam ‘keluhan’ atau ‘refleksi realitas’ menyangkut kebijakan politik luar negeri Amerika terutama di abad 20. Menurutnya -dan memang demikian adanya- kebijakan luar negeri Amerika terkungkung dalam ambivalensi antara pragmatisme politik yang berorientasi pada kepentingan nasiona (national interest), dengan keyakinan moral dan ideologinya.
Sebagai sebuah bangsa merdeka yang tak bebas dari kepentingan, Amerika senantiasa mendasarkan kebijakan luar negerinya pada kepentingan nasional. Dua setengah abad eksistensinya selalu menempatkan kepentingan dan keamanan nasional sebagai tujuan tertinggi kebijakan. Sejak awal berdirinya -dengan partisipasi global yang masih minimal- hingga terbentuknya Pax Americana di abad 20, kepentingan selalu mendominasi kebijakan. Namun ada variabel lain yang mendasari kebijakan luar negeri AS selain kepentingannya, yaitu nilai dan ideologi yang menjadi pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Amerika.
ADVERTISEMENT
Pertentangan antara nilai universal yang dianut AS dengan kepentingan nasionalnya, telah terjadi jauh sejak awal berdirinya negara itu. Dalam bukunya A Concise History of US Foreign Policy, Joyce P. Kaufman menerangkan bahwa sejak awal berdirinya, kebijakan luar negeri AS terjebak dalam persimpangan dilema antara keterlibatan internasional dengan visi yang idealis dan orientasi kepentingan nasional. Alexander Hamilton dan Thomas Jefferson telah mengawali perdebatan ini. Keterlibatan global AS sering dimotivasi oleh visi moralis yang membawa kemegahan ide-ide, terutama tentang kebebasan dan demokrasi. Sedangkan orientasi kepentingan nasionalnya lebih mendasarkan pada pragmatisme politik dan lebih jauh lagi pengejawantahan realpolitik. Inilah ambivalensi politik luar negeri Amerika Serikat.
Kepentingan nasional (national interest) menemukan definisi pertamanya setelah entitas negara-bangsa muncul dalam percaturan politik dunia. Akhir Perang Tiga Puluh Tahun pada 1648 yang ditandai dengan Perjanjian Damai Westphalia menjadi titik tolak sejarah munculnya negara-bangsa. Perjanjian Westphalia telah meredupkan cita-cita universalisme Christendom yang dikobarkan Kekaisaran Romawi Suci terutama saat kepemimpinan Ferdinand II. Oposisi terhadap narasi universalisme Kristen saat Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa Tengah, muncul dari seorang negarawan tangguh Prancis yakni Kardinal Richelieu. Sebagai tangan kanan Raja Louis XIII, Richelieu berhasil mendefinisikan -dan mewujudkan- kepentingan nasional Prancis untuk mencegah dominasi dan sentralisasi kekuasaan di Kekaisaran Romawi Suci. Richelieu menjalankan kebijakan pragmatis dengan keluhuran strategi yang tanpa tanding. Darinya muncul istilah Raison d’Etat, dimana kepentingan nasional menjadi legitimasi setiap kebijakan negara.
ADVERTISEMENT
Logika Raison d’Etat Richelieu menjadi cikal bakal paradigma realisme dalam politik global, yang kemudian berlanjut hingga terbentuknya Metternich System dan kebijakan realpolitik Kanselir Otto von Bismarck di abad 19. Namun logika Raison d’Etat Richelieu sering dikritik karena menihilkan nilai-nilai moral dalam politik dunia. Maka munculah paradigma lain dalam politik dunia, yang lebih menekankan pada nilai-nilai luhur yang idealis seperti liberalisme dan demokrasi. Ide awalnya bisa dilacak sejak Immanuel Kant yang mencetuskan ide Liga Republik. Kemudian di abad 19, Perdana Menteri Inggris, William Ewart Gladstone, mengorientasikan kebijakan luar negerinya pada promosi dan penyebaran nilai-nilai luhur liberalisme. Gladstone dengan keyakinan liberalnya percaya bahwa perlu ada semacam kampanye nilai-nilai luhur kebebasan di dunia, yang mana hal ini membuatnya menjadi oposan dan rival tangguh bagi seorang praktisi politik kekuasaan terhebat di Inggris abad 19 yakni Benjamin Disraeli. Inilah paradoksi yang selalu tarik menarik dalam paradigma politik dunia: mendasarkan kebijakan pada politik kekuasaan utuh atau orientasi pada nilai-nilai ideal dan universal.
ADVERTISEMENT
Di Amerika, pertentangan paradigma ini berwujud menjadi ambivalensi dalam kebijakan luar negeri. Kissinger menggambarkan ambivalensi ini dalam kebijakan dua presiden terbesar awal abad 20, yakni Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson. Theodore Roosevelt adalah seorang praktisi politik kekuasaan yang handal dengan keluhuran strategi yang tanpa tanding. Roosevelt berhasil mendefinisikan kepentingan Amerika di kancah politik dunia, dan dalam batasan tertentu berhasil mencapainya dengan brilian.
Orientasi Roosevelt adalah perimbangan kekuatan yang bisa menjamin kepentingan nasional Amerika. Robert B. Zoellick dalam bukunya America in the World, menyebut Roosevelt sebagai seorang balancer of power (penyeimbang kekuatan). Petualangan internasional Roosevelt untuk menciptakan perimbangan kekuatan terlihat dari perannya dalam konflik Rusia-Jepang (Russo-Japanese War), yang berhasil menengahi konflik Timur Jauh tersebut dalam Perjanjian Portsmouth pada 1905. Konflik internasional lain yang melibatkan Roosevelt adalah persengketaan Maroko antara Prancis-Jerman, yang berhasil diatasi dengan Perjanjian Algeciras 1906. Roosevelt juga semakin intervensionis di West Hemisphere sebagai pengejawantahan Doktrin Monroe. Semua kebijakannya ini didasarkan pada kepentingan nasional Amerika dengan perimbangan kekuatan sebagai metodenya. Tak heran apabila Kissinger menyebut Roosevelt sebagai seorang analis keseimbangan kekuasaan yang canggih.
ADVERTISEMENT
Beda dengan Roosevelt yang menjadi praktisi Raison d’Etat Amerika yang canggih, Woodrow Wilson adalah wujud dari idealisme dalam politik luar negeri AS. Di masa jabatannya, Wilson menghadapi tantangan internasional yang pelik terkait dengan pecahnya perimbangan kekuatan di Eropa yang berwujud menjadi perang besar (Great War) pada 1914. Walaupun sejak awal menempuh kebijakan netral, pada 2 April 1917 Wilson menyerukan kepada Kongres untuk mendeklarasikan perang kepada Jerman karena berbagai insiden pengeboman kapal di laut yang merugikan AS. Selagi perang berkecamuk di Eropa, Wilson mulai merumuskan tatanan dunia yang harus terbentuk di akhir perang untuk menghindari konflik serupa.
Wilson mengkritik tatanan balance of power Eropa yang menjadi sebab konflik. Karenanya, bagi Wilson tatanan internasional harus dilandasi fondasi hukum universal bukan keseimbangan. Dalam pidatonya 22 Januari 1917, Wilson mengkritik tatanan kesimbangan Eropa sebagai sistem persaingan terorganisir. Untuk menggantinya, Wilson mengajukan satu tatanan ideal yang didasarkan pada perdamaian universal dan keamanan bersama yang termaktub dalam Empat Belas Poin yang dicetuskannya. Wilson juga menegaskan bahwa dunia harus menjadi tempat yang aman bagi demokrasi. Inilah pemikiran idealis Wilsonian. Salah satu wujud Wilsonianisme adalah terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, yang ironisnya mendapatkan oposisi kuat di Senat yang membuat AS batal terlibat dalam keanggotaan LBB. Wilson juga banyak dikritik dan disebut naif karena cita-cita idealnya.
ADVERTISEMENT
Theodore Roosevelt yang tak lagi berkuasa mengkritik gagasan Wilson dan menteri luar negerinya, William Jennings Bryan, tentang perdamaian universal sebagai janji-janji mustahil yang menjijikan. Sebagai seorang realis yang menekankan perimbaangan kekuatan, Roosevelt sangat skeptis terhadap lembaga internasional yang menjanjikan perdamaian universal. Kendati dalam suratnya pada 1918 Roosevelt menulis mendukung lembaga internasional Wilsonian tersebut, namun menekankan untuk tidak terlalu berharap pada lembaga tersebut. Roosevelt mengutip dongeng Aesop tentang domba dan serigala yang melakukan pelucutan senjata, dan domba mengusir anjing penjaga, namun tak lama sang domba dimakan oleh serigala. Anjing penjaga tersebut dalam pandangan Roosevelt adalah kesimbangan kekuatan. Hal ini membuktikan bahwa Roosevelt tetap skeptis -bahkan sinis- terhadap gagasan ideal tentang perdamaian universal.
ADVERTISEMENT
Pertentangan Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson ini menjadi bukti ambivalensi kebijakan luar negeri AS yang selalu tarik menarik antara kepentingan nasional dan visi moralis ideal. Sebagai seorang realis yang menjadikan Theodore Roosevelt sebagai panutan, Kissinger menyebut Roosevelt sebagai seorang prajurit-negarawan sedangkan Wilson adalah seorang nabi-imam. Menurutnya, seorang negarawan fokus pada dunia tempat mereka tinggal (sebagaimana adanya), sedangkan para nabi berusaha mewujudkan dunia yang mereka inginkan.
Live Update