news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Trump Harus Belajar dari Theodore Roosevelt

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Politik, Sastra, dan Sejarah
2 Maret 2025 9:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Theodore Roosevelt sebagai mediator Konflik Rusia-Jepang. Sumber: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Theodore Roosevelt sebagai mediator Konflik Rusia-Jepang. Sumber: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Donald Trump mengembalikan patung dada Winston Churchill menjadi dekorasi Gedung Putih. Barangkali Perdana Menteri Inggris itu menjadi salah satu tokoh favoritnya selain Andrew Jackson. Namun rasa-rasanya Trump tak mengikuti apa yang Churchill sarankan kepada seorang mahasiswa tahun 1953: pelajarilah sejarah, karena dalam sejarah terletak semua rahasia kenegaraan. Donald Trump tidak belajar dari sejarah.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Donald Trump kembali mengguncang dunia. Kali ini membuat para pemimpin Uni Eropa menghela nafas marah sekaligus jengkel atas langkah sang presiden. Trump memulai perundingan dengan Rusia untuk mengakhiri Perang Rusia-Ukraina, yang ironisnya tanpa melibatkan Ukraina. Pertemuan diadakan di Riyadh, Arab Saudi pada 18 Februari lalu dengan diwakili oleh menteri luar negeri kedua negara. Marco Rubio memimpin delegasi Amerika Serikat dan Sergei Lavrov memimpin delegasi Rusia.
Langkah yang sukar dipahami. Bagaimana mungkin ada kedua negara yang berkonflik, tapi perundingan untuk perdamaian hanya melibatkan satu negara tanpa menyertakan yang lain. Ukraina yang direpresentasikan oleh Presiden Zelensky sudah barang tentu tak setuju, dan menyatakan tidak akan menerima hasil pertemuan Rubio-Lavrov di Arab Saudi. Ini menjadi sinyal awal bahwa perdamaian akan sukar dicapai, kesepakatan mengakhiri konflik akan sulit diwujudkan tanpa melibatkan Ukraina.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini Donald Trump harus lebih banyak belajar sejarah. Trump harus melihat langkah dan keberhasilan AS menjadi juru damai bagi negara yang sedang berkonflik. Salah satu momen historis yang menjadi monumental dalam sejarah AS, dimana Washington berperan sebagai negara penengah konflik, adalah keberhasilan Presiden Theodore Roosevelt dalam mendamaikan konflik Rusia dan Jepang tahun 1905. Trump harus belajar dari pendahulunya itu.
Theodore Roosevelt dan Konflik Dua Kaisar
Seorang perwira Angkatan laut Amerika Serikat, sekaligus ahli strategi terkemuka, Alfred Thayer Mahan, pada 1900 menulis buku berjudul The Problem of Asia. Dalam bukunya itu, Mahan menjelaskan mengenai persaingan antara kekuatan darat seperti Rusia dan kekuatan laut seperti Jepang, AS, dan Inggris. Pada tahun 1902, dua kekuatan laut besar yaitu Inggris dan Jepang, menandatangani Perjanjian Aliansi Britania Raya-Jepang (Anglo-Japanese Alliance). Perjanjian ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Inggris Lord Lansdowne dengan Duta Besar Jepang di London, Hayashi Tadasu di Lansdowne Club pada 30 Januari 1902. Kerajaan dengan kekuatan laut terbesar di Barat dan Timur sedang mengonsolidasikan kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Jepang menjadi negara adidaya di Timur Jauh. Pada 8 Januari 1904 Jepang menyerang Rusia di Port Arthur, dan mendeklarasikan perang pada 10 Februari 1904. Serangan Jepang ini tidak hanya mengagetkan Tsar Nicholas II di istananya, tetapi seluruh dunia, termasuk Presiden Theodore Roosevelt di Gedung Putih. Roosevelt, sebagaimana dicatat Henry Kissinger dalam bukunya Diplomacy, cenderung mendukung Jepang daripada Rusia. Menurut Roosevelt, kemenangan Rusia akan menjadi pukulan bagi peradaban.
Presiden Theodore Roosevelt (Underwood Archives/Getty Images) Sumber: Library of America
Antipati Roosevelt kepada Rusia, sebagaimana dituliskan Robert Zoellick dalam bukunya, America in the World, adalah karena Moskow tidak bisa menjaga Pelabuhan Manchuria tetap terbuka seperti kebijakan John Hay tentang pintu terbuka (open door policy). Karenanya ia cenderung mendukung Jepang dalam perang Rusia-Jepang. Jepang menunjukkan keunggulannya, dan awan gelap kekalahan membayangi Rusia, terutama setelah Jepang berhasil menenggelamkan empat kapal Rusia pada 27-28 Mei 1904.
ADVERTISEMENT
Kendati kemenangan semakin menjauh dari jangkauan, Tsar tetap melanjutkan perang. Roosevelt berusaha muncul sebagai penengah konflik dua kekaisaran Timur itu. Pada 2 Juni, Presiden Roosevelt bertemu dengan Duta Besar Rusia di AS, Arthur Cassini. Melalui Cassini, Roosevelt membujuk Tsar untuk melakukan perdamaian. Bahkan Roosevelt pernah berujar, Tsar adalah makhluk kecil yang tak bisa berperang, dan sekarang tak bisa berdamai. Sang Presiden melobi ‘makhluk kecil’ itu agar mau mengakhiri perang.
Jepang dan Rusia sepakat melakukan pertemuan di Amerika Serikat dengan Roosevelt sebagai mediator. Pertemuan untuk negosiasi dimulai di kapal pesiar Mayflower di Oyster Bay pada 5 Agustus 1905 dan selanjutnya dilaksanakan di Portsmouth, New Hampshire. Perdana Menteri Katsura Taro di Tokyo menunjuk Menteri Luar Negerinya, Komura, memimpin delegasi Jepang. Sedangkan Tsar memilih Sergei Witte, mantan penasihat Tsar Alexander III, memimpin delegasi Rusia.
ADVERTISEMENT
Negosiasi sempat mengalami kemacetan saat terjadi perbedaan tajam mengenai status kepemilikan Pulau Sakhalin. Kedua pihak sama-sama berpegang pada klaim kepemilikan. Mengetahui kemacetan negosiasi dan kemungkinan gagal mewujudkan tuntutan, PM Katsura Taro berencana menarik pulang Menlu Komura, namun untungnya tidak terjadi. Sebagai mediator, untuk menembus kemacetan negosiasi, Roosevelt menyarankan Pulau Sakhalin diserahkan kepada Jepang. Gagasan Roosevelt didukung oleh Kaiser Wilhelm di Jerman dan Perdana Menteri Maurice Rouvier di Prancis. Akhirnya pada 29 Agustus, Witte dan Komura berhasil sepakat tentang kepemilikan Jepang atas Sakhalin. Kesepakatan ini disahkan dalam Perjanjian Portsmouth pada 5 September 1905. Roosevelt dengan pandangannya yang kuat tentang balance of power, berhasil menjaga keseimbangan di Timur Jauh dengan membatasi kemenangan Jepang tanpa memperlemah Rusia. Selain mediator hebat, ia adalah balancer of power (penyeimbang kekuatan) yang canggih. Atas jasanya sebagai juru damai konflik Rusia-Jepang, Presiden Theodore Roosevelt mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.
ADVERTISEMENT
Trump dan Jejak Roosevelt
Pertanyaan mendasar adalah, dalam konflik Rusia-Ukraina, apakah Trump akan dan bisa berperan sebagai Theodore Roosevelt dalam konflik Rusia-Jepang? Dengan tidak dilibatkannya Ukraina dalam perundingan baru-baru ini di Riyadh maka jawabannya adalah: tidak. Trump sama sekali tidak berusaha mengikuti langkah Presiden Roosevelt satu abad sebelumnya sebagai mediator konflik Rusia-Jepang.
Konteks politik dunia saat ini dan satu abad sebelumnya, dimana Roosevelt memainkan perannya sebagai juru damai, sudah barang tentu sangat berbeda. Namun pola persaingan kekuatan dan perebutan dominasi tidak jauh berbeda. Kedua pihak -Rusia dan Ukraina- terjebak dalam lorong panjang konflik yang tak berujung, karena kedua belah pihak tidak ingin kehilangan muka dengan vonis historis sebagai pihak yang kalah. Rusia ingin jaminan keamanan di Barat, Ukraina ingin memulihkan kedaulatan wilayahnya.
Pertemuan Trump dan Putin di KTT APEC. Foto: Sputnik/Mikhail Klimentyev/Kremlin via REUTERS
Sayangnya, langkah yang diambil Trump dengan retorika yang digembar-gemborkannya untuk mengakhiri perang, salah langkah dan sulit dipahami. Bagaimana tidak, AS bernegosiasi dengan Rusia tanpa melibatkan Ukraina sebagai negara yang berkonflik. Tidak bisa dibayangkan apabila Roosevelt hanya mengajak Jepang -sebagai penyerang pertama tahun 1904 seperti Rusia tahun 2022- untuk bernegosiasi tanpa melibatkan St. Petersburg. Sudah jelas Tsar tidak akan sudi menerimanya dan akan merasa terhina. Betapapun terseok-seoknya perlawanan Rusia, Tsar pasti akan terus mengobarkan perang.
ADVERTISEMENT
Tidak disertakannya Ukraina dalam negosiasi akan berakibat pada sulit terwujudnya perdamaian. Trump gagal memainkan peran Theodore Roosevelt yang berhasil menjadi representasi kekuatan besar yang baru bangkit untuk menjadi penengah konflik dua kekaisaran besar di Timur Jauh. Trump memimpin Amerika yang kekuatan relatifnya jauh lebih besar dari masa kepresidenan Roosevelt, gagal memainkan peran itu. Antagonisme dari Ukraina akan tumbuh karena perasaan terhina atas kedaulatan yang dimilikinya. Trump tentu akan disenangi oleh Moskow tetapi akan dibenci oleh Kiev bahkan Uni Eropa.
Alasan lainnya mengapa Trump tak bisa mengikuti jejak Roosevelt adalah karena ia gagal merumuskan kepentingan Amerika Serikat dalam konflik Rusia-Ukraina. Roosevelt paham betul kepentingan bangsanya, karenanya ia berusaha untuk menciptakan perdamaian yang tidak melanggar keseimbangan kekuatan. Ia tidak membiarkan Jepang mengalami power surplus karena kemenangannya dan juga tidak membiarkan Rusia dalam jurang kenestapaan menjadi weak power (kekuatan lemah). Kedua kekaisaran Timur itu harus tetap seimbang secara kekuatan, untuk menciptakan stabilitas Timur Jauh, dengan begitu akses perdagangan Amerika di kawasan akan terbuka lebar dan ancaman geopolitik berhasil ditahan dengan terwujudnya . Trump menempuh jalan bermesra dengan satu kekuatan dengan mengabaikan pihak lain yang sudah sepatutnya dilibatkan dalam perundingan, yaitu Ukraina. AS akan kehilangan muka di depan sekutu-sekutunya dan koalisi Trans-Atlantik yang kokoh terbangun akan hancur tak bersisa.
ADVERTISEMENT
Trump tidak bisa menjadi penyeimbang kekuatan seperti Roosevelt. Trump tidak menjadi mediator handal seperti Roosevelt. Trump gagal merumuskan kepentingan nasional AS dalam konflik Rusia-Ukraina sebagaimana yang dengan sangat baik dilakukan oleh Roosevelt dalam konflik Rusia-Jepang. Gagasan Trump sulit diterima kedua belah pihak yang berkonflik. Trump juga tidak akan mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian sebagaimana Roosevelt memperolehnya. Trump gagal mengikuti jejak keberhasilan Roosevelt, karena Trump tak belajar dari sejarah.