Konten dari Pengguna

Kerumitan Penjara

Andi Wijaya Rivai
Doctor of criminology, University of Indonesia. Berbisik ke bumi, langit kan mendengar.
22 Mei 2023 17:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Wijaya Rivai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penjara. Foto: Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penjara. Foto: Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari terakhir ini sorotan mata masyarakat tertuju pada penjara, pada kehidupan narapidana yang ada di dalamnya. Masyarakat menyangka jika penjara telah berubah menjadi "surga".
ADVERTISEMENT
Sangkaan ini didasarkan pada kabar berita jika beberapa narapidana masih bebas menjalankan aksi jahat mereka dari dalam penjara. Penipuan, pemerasan, dan pengancaman melalui platform media massa menjadi jenis kejahatan yang dianggap banyak dilakukan dari balik tembok penjara.
Juga, ada perdagangan narkoba yang melibatkan narapidana. Menelusuri pemberitaan beberapa media, aksi kejahatan oleh narapidana memang benar adanya.
Pertanyaannya adalah mengapa narapidana masih bisa melakukan kejahatan sementara mereka sesungguhnya sedang dibatasi kebebasannya? Apakah penjara telah menjadi surga bagi narapidana untuk kembali melakukan aksi kejahatannya?
Prinsip umumnya adalah bahwa kejahatan, siapapun pelakunya, bukanlah tindakan yang legal. Tidak seharusnya ada yang dapat memberikannya perlindungan, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh narapidana dari balik tembok penjara.
ADVERTISEMENT
Maka tidak mengherankan jika tidak sedikit narapidana yang harus memperpanjang "masa baktinya" di dalam penjara, mereka harus menunda waktu pembebasan karena terlibat kembali dalam aksi kejahatan. Bahkan beberapa narapidana harus langsung berurusan dengan polisi ketika baru selangkah melewati pintu penjara.
Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Ini membuktikan jika penjara bukanlah, yang oleh Bennet Capers (1991) disebut sebagai lawless zones. Aturan hukum masih ada di sana dan harus ditegakkan meski pelakunya bersembunyi di balik kokohnya dinding penjara. Jadi sesungguhnya, penjara tidak pernah menjadi surga bagi siapapun, termasuk bagi narapidana yang kembali tertarik pada syahwat jahatnya.
Penjara, bagi sebagian orang yang berada di dalamnya adalah tempat untuk melakukan koreksi dan perbaikan diri. Maka menjadi pemandangan umum di dalam penjara jika para narapidana juga sibuk dalam aneka ragam kegiatan pembinaan.
ADVERTISEMENT
Mereka menghabiskan waktu siangnya dalam aneka aktivitas kegiatan, sibuk dalam pekerjaan. Beberapa di antaranya khusyuk mengaji; menjadi santri. Bagi mereka, selalu ada kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Stephen P. Garvey (1998) mengatakan jika setiap program pembinaan yang dijalankan adalah untuk melakukan reformasi moral narapidana. Tapi bagi sebagian yang lain, kehidupan penjara yang dialami seperti tidak membawa arti.
Penjara yang dalam pandangan Duffe dan Ritti (1997) seharusnya menjadi tempat untuk merehabilitasi diri, nyatanya tidak membawanya pada kesadaran diri. Justru, penjara telah menjadikan mereka terekspose pada kesempatan untuk mengembangkan karier kejahatan. Hasrat untuk melakukan kejahatan menemukan titik leluasanya karena mereka menganggap bahwa penjara adalah invisible zones.
Narapidana membuat kain batik di Lapas Cipinang. (Dokumen pribadi).
Bennet Capers (1991) mendefinisikan invisible zones ini sebagai zona yang tidak mudah terlihat, tidak semua orang mempunyai akses ke sana, dan tidak semua masyarakat mau memberikan perhatian ke dalamnya. Situasi inilah yang sepertinya dimanfaatkan oleh narapidana yang tidak mampu menundukkan keinginan untuk mengulang kejahatan.
ADVERTISEMENT
Dan pada saat bersamaan, otoritas penjara juga mengalami hambatan dalam pengelolaan penjara. Otoritas penjara menghadapi beragam permasalahan yang menjadikannya berada pada situasi yang rumit (complexity of prison).
Inilah situasi yang terbangun di dalam penjara yang pada akhirnya memberi ruang bagi mereka yang lebih condong pada hasrat kejahatan. Elena Ghanotakis (2007) memberikan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya complexity of prison, yaitu jumlah petugas yang kurang terlatih, adanya korupsi, kurangnya program rehabilitasi, dan over crowding.
Untuk itulah, menjadi hal yang dapat dipahami jika otoritas penjara (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) memberikan perhatian pada upaya untuk memperbaiki tata kelola penjara. Memindahkan para bandar narkoba, juga memindahkan narapidana yang terlibat penipuan online ke penjara di Nusakambangan adalah langkah penting untuk mengantisipasi kejahatan yang melibatkan narapidana.
ADVERTISEMENT
Namun hal yang tidak kalah penting yang harus dilakukan adalah mengurai secara tuntas penyebab kerumitan penjara. Yang dengan demikian diharapkan apa yang menjadi harapan tentang rehabilitasi atau reformasi narapidana dapat diwujudkan. Karena sesungguhnya, negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih jahat.