Konten dari Pengguna

Universitas Kejahatan vs Laboratorium Kebajikan

Andi Wijaya Rivai
Doctor of criminology, University of Indonesia. Berbisik ke bumi, langit kan mendengar.
24 Mei 2023 14:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andi Wijaya Rivai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Ian O’Donnell (2001) menyebutkan jika penjara adalah cara mahal untuk membuat orang yang divonis "jahat" menjadi lebih buruk. Apa yang sebutkan ini seakan memperkuat dugaan jika pemenjaraan lebih banyak memberikan dampak yang buruk bagi orang yang terpenjara.
ADVERTISEMENT
Bahwa keberadaan secara bersama pada kamar/sel hunian yang sama dalam kurun waktu yang tidak sebentar telah membangun relasi yang memungkinkan bagi mereka untuk saling berbagi cerita. Cerita tentang keluarga, kisah cinta, luka sayatan dan tembakan, juga cerita tentang karier kejahatan.
Saling berbagi cerita dalam nada bangga, meski mungkin sesungguhnya menyisakan banyak luka yang tidak bisa diraba inilah yang membangun kedekatan di antara para narapidana. Kedekatan demikian, yang menurut Edwin Sutherand (1934), dapat mendorong adanya pembelajaran kejahatan.
Menurut Sutherland, perilaku kejahatan itu dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam kelompok personal yang dekat dan akrab. Dan seseorang condong menjadi jahat karena ada akses kontak yang mendukung perilaku jahat.
Karena kontak-kontak inilah seseorang akan cenderung mempelajari dan menerima nilai-nilai dan sikap yang terlihat lebih mendukung kejahatan. Dan kecondongan ini akan semakin lekat ketika kontak-kontak yang terjadi berlangsung dalam intensitas yang penuh kedekatan dan keakraban.
Ilustrasi. Foto: Dokumen pribadi
Maka, jika ada cerita tentang narapidana yang kembali terjerembab dalam laku kejahatan—baik ketika mereka masih ada di dalam sana atau saat mereka sudah keluar dari penjara—bisa jadi itulah buah yang dia petik dari relasi kehidupan penjara. Mereka saling belajar karena ada interaksi dan komunikasi dalam kurun waktu yang begitu leluasa.
ADVERTISEMENT
Namun perlu juga dipahami bahwa Sutherland tidak melahirkan teori pembelajaran kejahatan ini dari dalam penjara. Tetapi dia menarik kesimpulan tentang teorinya tersebut dari lingkup pergaulan masyarakat urban di sudut-sudut kota. Bahwa mereka yang terekspose pada lingkungan pergaulan yang buruk telah menjadikan mereka mengadopsi nilai-nilai tersebut.
Artinya, proses belajar kejahatan itu dapat terjadi dimanapun dalam setiap kelompok masyarakat yang didalamnya ada jalinan relasi, ada proses interaksi dan komunikasi. Jadi, pembelajaran kejahatan bukan hanya menyangkut orang-orang dalam penjara!
Ilustrasi. Foto: Dokumen pribadi
Sesungguhnya, tidak semua orang yang berada pada lingkup pergaulan yang buruk, juga akan menjadi buruk. Preferensi seseorang juga akan berpengaruh terhadap sikap yang akan dia tunjukkan. Seseorang yang mempunyai preferensi tentang nilai-nilai kebaikan ternyata tetap kokoh menempatkan nilai-nilai tersebut meski mereka terekspose pada lingkungan yang penuh nilai yang sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Maka akan dapat dipahami jika di dalam penjara pun tidak sedikit narapidana yang tetap mempertahankan sisi baiknya atau mau berubah menjadi baik. Sempatkanlah waktu sejenak untuk menengok kedalam penjara.
Kita akan dapat melihat bahwa masjid, gereja, dan wihara yang ada di dalam sana tidak akan pernah sepi dari para narapidana yang melewatkan harinya dengan mengaji. Bengkel-bengkel kerja juga demikian, dipenuhi oleh mereka yang ingin menggali dan mengembangkan potensi diri. Itulah cara mereka untuk untuk memperbaiki diri, mencoba bertahan untuk tetap bisa menjadi orang baik.
Ilustrasi. Foto: Dokumen pribadi
Keinginan orang-orang terpenjara untuk menjadi lebih baik selalu berhadapan dengan ingatan masyarakat tentang penjara yang sering dicirikan sebagai "universitas kejahatan". Stigma masyarakat begitu lekat tentang sisi buruk penjara.
ADVERTISEMENT
Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh Stephen P. Garvey (1998), secara idealis penjara merupakan "laboratorium kebajikan" yang pada awal didirikan di atas harapan adanya reformasi moral. Penjara adalah tempat yang diharapkan dapat mempertahankan nilai-nilai kebaikan. Menjadikan mereka yang di dalam sana menjadi lebih baik. Inilah yang sepertinya harus ditanamkan dalam ingatan kolektif kita yang ada di luar penjara.
Maka sesungguhnya menjadi tugas kita bersama, petugas penjara (lapas) khususnya, dan masyarakat pada umumnya, untuk benar-benar mendorong agar lebih banyak nilai dan perilaku kebaikan yang tumbuh di dalam sana—dan terus berjuang untuk mengaburkan nilai dan perilaku keburukan yang dicoba untuk ditularkan.
Yang hanya dengan cara demikian maka diharapkan penjara akan benar-benar mampu menjadi laboratoriun kebajikan. Semoga!
ADVERTISEMENT