Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Kartini Hari Ini: Potret Buram Pekerja Perempuan
20 April 2025 11:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aura Barerotul Candra Kirana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Raden Ajeng Kartini adalah simbol kembangkitan perempuan dan perjuangan untuk kesetaraan gender. Lewat pikiran dan gagasannya yang bernas Kartini melawan sistem patriarki yang terus menindas perempuan. Untuk mengenang jasa dan perjuangannya setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati dan merayakannya sebagai Hari Kartini.
ADVERTISEMENT
Namun, di tengah gemerlapnya berbagai perayaan tersebut, terkuak sebuah realitas yang terabaikan terkait dengan hak-hak pekerja perempuan. Meskipun semangat emansipasi dan keadilan gender terus digaungkan, dalam praktiknya, tidak sedikit perempuan yang justru mengalami bentuk-bentuk ketertindasan dan marginalisasi, terutama dalam konteks dunia kerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional pada Februari 2024 menunjukan dari 281 juta penduduk, terdapat 142,18 juta orang bekerja. Sementara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan mencapai 55,41 persen. Namun, hampir 60 persen perempuan bekerja di sektor informal dan di beberapa negara yang berpendapatan rendah jumlah tersebut meningkat secara signifikan mencapai 90 persen (Harian Kompas 21/4/2024).
Hingga hari ini perempuan di pasar kerja terutama di sektor informal masih menghadapi ketimpangan upah. Padahal, secara waktu dan kontribusi, mereka bekerja dalam durasi yang sama. Namun, imbalan finansial yang diterima masih belum sebanding. Selama lebih dari dua abad, menurut riset peraih Nobel Ekonomi 2023, Claudia Goldin, diskriminasi terus terjadi terhadap perempuan. Dalam bukunya Understanding the Gender Gap: An Economic History of American Women (1990) Claudia menunjukan pasca tahun 1980-an ketimpangan upah berbasis gender terus meningkat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Senada dengan analisis Claudia, Laporan World Economic Forum (2019) menunjukkan ketimpangan signifikan dalam pendapatan berbasis gender, di mana perempuan hanya menerima 54 sen untuk setiap 1 dolar AS yang diperoleh laki-laki. WEF juga memperkirakan bahwa dibutuhkan waktu hingga 202 tahun untuk mencapai kesetaraan upah secara global—sebuah indikator serius akan lambatnya kemajuan menuju keadilan ekonomi gender.
Berdasarkan laporan BPS “Keadaan Perempuan Indonesia Februari 2019”, terlihat pola yang konsisten di berbagai wilayah: sektor-sektor dengan upah rendah cenderung lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Upah rata-rata bulanan yang diterima perempuan tercatat lebih rendah dibandingkan laki-laki, yakni sebesar Rp2.451.057, sementara laki-laki memperoleh rata-rata Rp3.167.092 per bulan. Perbedaan ini jelas mencerminkan adanya kesenjangan upah berdasarkan gender di pasar tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan upah yang dialami perempuan menyebabkan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan ekstrem. Data UN Women menunjukan tidak kurang dari 10 persen perempuan di seluruh dunia terjebak pada kemiskinan akut dan berpendapatan kurang dari 2,15 dollar AS per hari. lembaga ini memperkirakan pada 2030 terdapat 342 juta perempuan yang masih akan hidup dalam kemiskinan ekstrem
Selain itu, pekerja perempuan di sektor informal umumnya tidak memiliki jam kerja yang pasti. Di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, perempuan seringkali mengurus rumah tangga yang mencakup merawat anak-anak kecil dan orang lanjut usia. Mereka juga terkadang bekerja merawat keluarga orang lain, membuka warung makan, toko kelontong, atau menawarkan jasa cuci pakaian untuk mendapatkan tambahan penghasilan, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Semua pekerjaan informal ini seringkali tidak mengenal jam kerja yang jelas. Tidak jelasnya jam kerja membuat perempuan mengalami eksploitasi lebih besar dibandingkan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, perempuan pekerja juga seringkali mengalami kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perempuan, ada 500 kasus kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja yang masuk ke pengaduan sepanjang tahun 2023. Kekerasan ini dapat berupa berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual, psikis, fisik, dan ekonomi. Survei Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) 2023 menunjukan lebih dari 80% responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Pelecehan seksual banyak dilakukan oleh atasan kerja atau rekan senior. Hal ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang kuat dari atasan untuk menekan bawahan, dan memanfaatkan jabatan serta posisinya untuk melecehkan bawahannya khususnya perempuan. Perempuan yang dianggap lemah secara posisi mudah dijadikan korban karena adanya stigma negatif bahwa perempuan yang dilecehkan adalah akibat dari perempuan itu sendiri dan muncul rasa terancam serta takut akan kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perjuangan Kartini untuk emansipasi dan keadilan gender belum sepenuhnya terwujud, khususnya dalam dunia kerja yang masih timpang bagi perempuan. Data dan temuan mutakhir menunjukkan bahwa perempuan, terutama di sektor informal, masih menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan: mulai dari kesenjangan upah, beban kerja yang tak terukur, minimnya perlindungan sosial, hingga kekerasan berbasis gender di tempat kerja.
Realitas ini menunjukkan bahwa semangat Kartini harus dihidupkan kembali bukan hanya dalam bentuk seremoni tahunan, tetapi juga melalui langkah-langkah nyata yang mendorong kesetaraan struktural di dunia kerja. Negara, dunia usaha, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama merumuskan kebijakan yang lebih berkeadilan bagi pekerja perempuan, agar cita-cita Kartini tentang perempuan yang merdeka dan berdaya tidak hanya tinggal dalam buku sejarah, tetapi benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT