Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Peringatan Hari Bumi Sedunia dan Warisan Hijau Paus Fransiskus
22 April 2025 13:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aura Barerotul Candra Kirana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tepat satu hari sebelum dunia merayakan Hari Bumi pada 22 April 2025, Paus Fransiskus menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergian Paus seolah penanda simbolik bahwa bumi telah kehilangan salah satu pembelanya yang paling tulus.
ADVERTISEMENT
Meskipun Paus Fransiskus bukan seorang aktivis lingkungan dalam arti teknis, tapi seruan moralnya jauh lebih luas dibandingkan para ilmuwan, aktivis maupun selebritis. Paus menulis ensiklik berjudul Laudato Si’ yang mengguncang seluruh dunia karena dengan tegas menyatakan bahwa krisis iklim adalah akibat dari dosa kolektif umat manusia terhadap bumi dan juga pada sesamanya.
Pada titik ini pemikiran Paus menemukan relevansinya. Hari ini dunia memperingati Hari Bumi yang ke-55 dengan judul "Our Power, Our Planet", tema ini menyerukan kepada semua orang untuk bersatu dalam energi terbarukan agar dapat ditingkatkan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.
Sejarah Hari Bumi Sedunia
Peringatan Hari Bumi pertama kali berlangsung di Amerika Serikat pada tahun 1970 sebagai respon atas meningkatnya kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri yang tak terkendali. Gagasan ini muncul setelah terinspirasi oleh gerakan mahasiswa yang menentang perang Vietnam serta insiden besar tumpahan minyak di Santa Barbara pada 1969. Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin menjadi tokoh utama dibalik inisiatif ini.
ADVERTISEMENT
Untuk merealisasikan idenya, Nelson menunjuk Dennis Hayes, seorang aktivis muda, guna mengorganisir aksi lingkungan skala besar yang berhasil melibatkan sekitar 20 juta orang di seluruh Amerika Serikat. Kesuksesan gerakan ini kemudian menjadi pendorong lahirnya sejumlah kebijakan lingkungan penting di AS, termasuk pembentukan Environmental Protection Agency (EPA) serta pengesahan undang-undang seperti Clean Air Act, Clean Water Act, dan perlindungan bagi spesies yang terancam punah.
Dua dekade kemudian, pada tahun 1990, Hari Bumi berkembang menjadi perayaan global, dirayakan oleh 141 negara dengan partisipasi lebih dari 200 juta orang. Momentum ini terus bergulir hingga Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (Earth Summit) diselenggarakan di Rio de Janeiro pada 1992, menandai peran penting Hari Bumi dalam agenda internasional.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2025, Hari Bumi mengusung tema “Our Power, Our Planet”, yang menekankan pentingnya kolaborasi seluruh pihak dalam menghadapi krisis lingkungan global. Tema ini mengajak setiap individu, komunitas, lembaga, hingga pemerintahan untuk beralih ke energi terbarukan dan berkontribusi membangun masa depan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Fokus utama dari tema ini ialah mendorong peningkatan produksi energi bersih, seperti tenaga surya, angin, air, panas bumi, dan pasang surut laut, dengan target melipatgandakan kapasitas energi terbarukan secara global hingga tahun 2030.
Refleksi Hari Bumi dalam Pandangan Paus Fransiskus
Dalam Laudato Si’ Paus menyatakan bahwa bumi adalah “rumah bersama” yang sedang menangis. Ia mengkritik gaya hidup konsumtif, sistem ekonomi yang eksploitatif, dan kebijakan negara yang abai terhadap lingkungan. Oleh karena itu, dalam rangka merayakan Hari Bumi penting rasanya untuk mengenang kontribusi Paus Fransiskus.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, pesan Paus Fransiskus sangat relevan. Kita punya kekayaan alam yang luar biasa, tapi juga tingkat kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan. Hutan-hutan tropis di Kalimantan dan Papua terus menyusut. Polusi udara di kota-kota besar mengancam kesehatan jutaan orang. Penggunaan energi fosil yang semakin tak terelakkan.
Sayangnya, wacana tentang lingkungan masih dianggap isu pinggiran. Padahal, seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, ini adalah soal hidup dan mati umat manusia. Ini soal warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Ini soal spiritualitas, etika, bahkan iman.
Di tengah dunia yang makin panas secara harfiah dan metaforis, suara seperti Paus Fransiskus sangat dibutuhkan. Ia membela bumi, tapi juga membela manusia—terutama mereka yang paling tak berdaya menghadapi bencana ekologis. Ia mengingatkan bahwa menyelamatkan lingkungan bukan pilihan, tapi keharusan moral.
ADVERTISEMENT
Hari Bumi tahun ini, mari kita mengenang Paus Fransiskus bukan sekadar sebagai tokoh agama, tetapi sebagai pemimpin dunia yang berani bersuara untuk yang tak bersuara: bumi itu sendiri. Mari kita lanjutkan warisannya, bukan hanya dengan mengutipnya, tapi dengan bertindak.
Kurangi plastik. Jaga energi. Tanam pohon. Tapi lebih dari itu—pertanyakan sistem yang membuat kita terus-menerus merusak bumi atas nama pertumbuhan. Lawan kebijakan yang abai pada dampak lingkungan. Dukung pemimpin yang berpihak pada keadilan ekologis.
Karena pada akhirnya, seperti kata Paus Fransiskus, “Kita semua bisa bekerjasama sebagai alat Allah untuk merawat ciptaan, masing-masing sesuai dengan budaya, pengalaman, dan bakatnya sendiri.”
Selamat Hari Bumi. Selamat jalan, Paus Fransiskus. Suaramu akan terus bergema di antara gemerisik daun, riak air, dan napas bumi yang terus berjuang untuk hidup.
ADVERTISEMENT